Walaupun aku masih mencintainya, tapi tak dapat dipungkiri karenanya aku harus kehilangan kasih sayang dari ke dua orang tuaku.Aku harus kehilangan kepercayaan dari orang tuaku, bahkan mereka menganggapku seperti patung yang hidup.Keberadaanku seperti sudah tak lagi berarti untuk mereka."Oh iya, Tante, Eza ke sini ingin mengembalikan kunci rumah dan juga kunci toko butik yang sudah diberikan padanya sebagai hadiah pernikahan dulu." Ucapan Eza lebih membuatku semakin terkejut.Dikembalikan?Maksudnya bagaimana? Dia mengembalikan semua yang sudah diberikan oleh keluargaku begitukah.Wah, ternyata dia wanita yang tau diri juga rupanya. Tapi ... apakah ini semua dilakukannya hanya untuk bisa melupakanku, jika benar iya. Sungguh terlalu jauh dia melakukan ini semua. Padahal sejatinya tanpa melakukan itu pun, aku akan pelan-pelan menjauh dari kehidupannya. Sangat-sangat rajin sekali ia bersikap seperti itu, tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Mama ketika mengetahuinya. Padahal Ara selam
Aku mengikuti mobil Eza dari belakang, amarahku mulai naik hingga ke ubun-ubun. Karena kedatangan Eza Mama sampai harus merasakan sakitnya kembali.Andai saja dia tak datang membawa berita yang tidak mengenakkan mungkin Mama akan baik-baik saja hingga sekarang. Mereka harus menanggung semua akibatnya.Aku menyetir mobil dengan keadaan yang panik bercampur khawatir. Pandangan mataku tajam, ingin segera memberikan pelajaran kepada Eza.Emosi sekarang benar-benar sudah tak stabil dan mulai memuncak ingin segera diluapkan.Akhirnya mobil sudah sampai di rumah sakit terdekat. Aku buru-buru ke luar mobil dan bergegas menyusul mereka yang sudah masuk ke dalam rumah sakit.Mama langsung dibawa ke ruang UGD. Tanpa basa-basi aku langsung melayangkan bogem mentah ke pipi Eza.Eza yang tak sadar dengan pemberianku, langsung terhuyung begitu saja!"Kau dan adikmu benar-benar pembawa sial!" ucapku penuh penekanan, lalu duduk di atas badannya dan memukulnya berkali-kali.Bugh!Rupanya Eza melakukan
Dari jauh kulihat Papa berada dalam pelukan Eza, bahkan di sana kulihat Ara dan juga mantan mertuaku hadir.Dalam hati bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Kenapa mereka tiba-tiba datang, padahal jelas-jelas tak diundang.Aku mempercepat langkah, dari jauh kulihat Ara melihatku. Namun segera ia bersembunyi di belakang mantan mertuaku.Cih! Terlihat sangat polos, bukan?"Untuk apa kalian di sini?" tanyaku saat baru saja sampai di depan mereka semua. Aku melirik sinis kepada keluarga Ara dan juga dirinya.Plak!Tamparan keras mendarat di pipiku. Dan pelakunya adalah Papa sendiri. Dia menatapku dengan begitu tajam, bahkan setajam silet."Kau harusnya bersyukur mereka hadir di sini, jika mereka tidak ada. Kau akan habis di tanganku saat ini juga Jaka!" bentak Papa padaku."Papa kok nyalahin Jaka, jelas-jelas di sini Eza yang salah. Andai dia tidak datang dan memberitahu semua yang diinginkan adiknya itu, mungkin Mama akan baik-baik saja sekarang!"PLAK!Lagi, tamparan di daratkan oleh Pala.
"Bagaimana rasanya, apa kau sekarang sangat puas, Ra?" bisik Mas Jaka di telingaku, saat kami baru saja berjalan pulang setelah menghadiri pemakaman Mama.Aku terkejut bukan main mendapati ia berjalan di sampingku dengan tatapan mata yang tajam."Apa maksudmu?" tanyaku ketus. Tak mengerti dengan jalan pikiran Mas Jaka. Saat ini keluargaku sudah berada di mobil semua, jadi hanya aku yang tertinggal sendiri.Seingatku tadi, Mas Jaka tidak ada di saat pemakaman ibunya. Lalu, kenapa saat ini ia malah berdiri tepat di sampingku."Tak usah bersikap polos Ara, sikapmu yang seperti ini membuatku yakin bahwa kau adalah orang yang munafik!" Ucapannya membuatku terdiam sesaat dan langsung menatapnya dengan marah."Aku nggak ngerti ya, Mas, gimana jalan pikir kamu. Tiba-tiba datang nyamperin aku, maki-maki aku begini. Maumu apa sebenarnya, hah!" teriakku langsung di depan wajah Mas Jaka."Wow!" Mas Jaka bertepuk tangan, entah apa yang sedang ia beri tepukan."Sekarang kau sudah mulai lancang ya,
"Mas, apa-apaan kamu! Ngapain kamu halangin aku, hah! Kamu masih sayang sama dia? Iya!" geram Yose penuh dengan kemarahan."Nggak gitu, Sayang. Kamu lagi hamil anak aku, aku nggak mau kalo anak kita kenapa-napa. Kamu tau kan, anak ini begitu berarti, anak yang paling kutunggu untuk hadir ke dunia.""Romantis sekali kalian berdua! Kalo begitu, silakan lanjut saja kemesraan kalian. Lagipula aku juga sudah lelah menghadapi kalian berdua, cobalah untuk berhenti menggangguku!" tegasku penuh penekanan."Siapa yang mengganggumu, hah! Kamu yang gatel sama calon suami orang lain. Dasar janda, nggak laku ya sampai harus mengganggu mantan suaminya lagi. Nggak malu kamu, kan dulu kamu yang menceraikan Mas Jaka, kenapa sekarang malah nongol lagi. Sengaja cari perhatian, ya?" Ucapan Yose membuat dadaku berdebar karena menahan amarah yang hendak diluapkan."CALON SUAMIMU yang kegatelan, udah tua tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan dia. Kenapa dia masih saja menggangguku, kurang diberi perhatia
*"Jelaskan semuanya padaku, Yose!" bentak Jaka pada wanita yang sekarang menangis tak hentinya di depannya."Mas! Sudah kubilang, ini anakmu. Lagipula, kenapa kamu malah percaya pada wanita itu. Bukankah dia sama sekali tidak memberikan bukti, bahwa kamu mandul!" teriak Yose masih tak mau mengakui siapa yang telah menanamkan benih dalam rahimnya."Cukup Yose! Aku tau bagaimana sifatmu yang sebenarnya, sebelum kau menjelekkan Ara. Aku lebih mengetahui bagaimana Ara yang sebenarnya." Jaka tersulut emosi saat Yose mulai menjelekkan nama Ara. Bukan itu semua yang ia maksud, Jaka hanya ingin mendengar jawaban jujur yang ke luar dari dalam mulut Yose!"Mas! Apa-apaan kamu, udah dikasih apa kamu sama perempuan itu, hah! Kenapa sekarang kamu malah memojokkanku, padahal kamu tau aku sedang hamil besar. Tapi kamu malah mengajakku bertengkar tak ada habisnya!""Kamu nggak kasihan sama aku dan bayiku, Mas! Kalo kamu benci sama aku, setidaknya kamu berempati pada bayi yang saat ini kukandung!" Yo
Padahal semua itu hanyalah topeng belaka, ternyata benar yang selalu menciptakan tawa selalu memiliki luka mendalam yang terlalu besar."Berhenti untuk bersikap baik-baik saja, Dek. Jika ingin menangis, menangis lah sekarang. Sini pinjam pundak Abang buat jadi sandaran," ujar Eza menepuk bahunya sambil seolah-olah membersihkan takut ada debu.Ara yang melihat tingkah sang Abang, malah tertawa terbahak-bahak."Lho, kok malah ketawa. Abang serius lho, Dek, Abang siap pinjamin pundak Abang kalo kamu pengen nangis. Nanti kalo udah dapat tambatan hati. Kekasihmu yang akan menjagamu kemana dan dimana pun kamu berada," ujar Eza dengan wajah yang serius. Bukannya terharu, malah Ara semakin tertawa ngakak mendengar sekaligus melihat wajah abangnya yang terlalu menghayati peran."Apa sih, Bang? Ara kan udah janji nggak akan nangis lagi karena laki-laki itu. Kalo Ara nangis itu artinya Ara nggak nepatin janji Ara sama diri sendiri. Lagipula Ara capek kalo harus nangis, gara-gara luka yang sama,"
"Ara ...," panggil seorang pria, saat Ara baru saja ke luar dari tempat kerjanya.Ara yang merasa namanya dipanggil, langsung berbalik menghadap pria tersebut."Siapa ya?" tanya Ara sambil mengerutkan keningnya, karena ia merasa asing dengan lelaki yang sekarang berdiri tepat di depannya."Aku Nazmi, teman kecilmu," ujar pria tersebut yang membuat Ara semakin kebingungan."Maaf, sepertinya salah orang," ujar Ara pada Nazmi yang masih tersenyum hangat menatapnya."Tidak! Aku tidak salah orang. Umi baru saja memberikan gambar dirimu dan juga alamat rumahmu," kata Nazmi lagi mencoba meyakinkan bahwa Ara yang sekarang berada di depannya adalah teman masih kecilnya dahulu."Kalo begitu, coba sebutkan di mana alamat rumahku dan siapa nama ke dua orang tuaku!" tegas Ara sambil menatap tajam pria yang berada di depannya."Ayahmu Pak Faisal. Ibumu, Adinda dan Kakakmu Reza bukan? Oh ya, dan juga alamat rumahmu pasti di Jl.gagalmoveon, iya 'kan?" Langsung saja pernyataan tersebut membuat membula