Sudut Pandang Nikita:"Otakku masih jalan, Nikita. Kamu tahu ‘kan kalau aku selalu bisa bayar orang buat cek akta kelahiran seseorang?" ujar Noah memperingatkan. Dia terdengar serius. Jantungku mulai berdebar saat ketakutan mulai merasuki tubuhku. Aku pun menenangkan diri dan mulai meremehkan kecurigaan Noah."Kamu nggak bakal menemukan apa-apa. Anak-anakku itu anaknya Feri," jawabku yang berpura-pura berani. Tatapan Noah tampak menyelidik, tetapi cengkeramannya pada tanganku mengendur. Aku pun mengambil kesempatan itu untuk pergi. Aku berbalik dan berjalan ke luar gedung menuju mobil kakakku yang sudah menunggu.Aku berjalan senormal mungkin. Meskipun begitu, lututku terasa lemas. Aku kesulitan membuang ancaman Noah dari pikiranku. Aku khawatir dengan hal yang akan dia lakukan seandainya dia tahu kalau si kembar tiga adalah anaknya. Begitu masuk ke mobil, tubuhku mulai gemetar."Mama, maafkan kami. Kami nggak bakal gitu lagi," ucap anak-anakku. Mereka sudah memakai sabuk pengaman saat
Sudut Pandang Noah:Aku menyaksikan Nikita pergi dengan perasaan curiga dan tidak bisa melupakan ekspresi wajahnya yang tampak waswas. Aku sangat yakin kalau Nikita tidak memberi tahu yang sebenarnya. Saat mobil SUV hitam itu pergi, aku mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi Bonar."Aku punya tugas baru buat kamu," ucapku ke Bonar begitu dia mengangkat telepon."Langsung katakan saja," jawab Bonar."Periksa data anak-anak Nikita. Mereka kembar tiga. Nikita bilang kalau mereka anak Feri, tapi aku sangat yakin kalau mereka anak-anakku," perintahku. Bonar terdiam beberapa saat."Apa yang membuatmu berpikir kalau mereka anak-anakmu?" tanya Bonar. Aku pun ragu untuk menjawab, lalu Bonar salah menangkap sikapku yang bungkam."Sebagai temanmu, aku akan memberimu peringatan. Jangan mencari sesuatu yang nggak ada supaya kamu nggak kecewa dan sakit hati di kemudian hari," ujar Bonar."Aku nggak melakukan itu," jawabku yang mengelak dengan kesal."Kalau begitu, kamu ngapain?" Bonar berta
Sudut Pandang Noah:Saat Randy pergi, aku memijat pelipisku perlahan. Kemudian, aku memejamkan mata sambil mengetukkan jari ke permukaan meja yang halus. Kepalaku sakit saat memikirkan bahwa orang yang kupercaya tidak pantas menerima kepercayaanku.Suara notifikasi email baru yang masuk berbunyi pada laptopku. Saat memeriksa pengirimnya, ternyata Randy. Aku membuka berkas itu dengan tangan gemetar, lalu mulai membaca isinya. Begitu selesai, dadaku terasa sesak. Ini adalah bukti dari tipu daya pamanku.Aku ingat lima tahun lalu, dia membujukku untuk cuti dari perusahaan agar berfokus pada diri sendiri. "Kamu perlu memulihkan diri setelah kehilangan orang tua, dari hal yang menimpa pernikahanmu, dan mengumpulkan kekuatan untuk bangkit kembali. Tidak usah khawatir soal perusahaan, aku akan mengurusnya untukmu," ucapnya saat itu.Aku tertawa getir dalam benakku karena sudah menerima sarannya dan memercayainya. Aku percaya kepada orang yang salah. Kemudian, aku menelepon Bonar."Kita punya
Sudut Pandang Noah:Dengan pandangan kabur, aku mengamati rumah di seberang jalan sambil menunggu. Fajar menyingsing ketika mobil-mobil berhenti di jalan masuk rumah itu, membuatku menegakkan badan untuk mengamati kembali dengan tatapan tajam seperti elang.Pintu-pintu mobil itu terbuka secara bersamaan untuk memberikan jalan kepada penumpangnya. Mataku melebar saat mengenal kesamaan di wajah mereka. Keluarga Feri ada di sana. Tangan mereka penuh dengan parsel dan tas belanja. Aku pun tersenyum. Tebakanku, mereka membawa semua itu untuk si kembar tiga.Aku merasa bahagia begitu tahu para pria itu menyayangi anak-anakku meskipun tidak punya hubungan darah."Seharusnya kamu bawa keranjang. Biar aku bantu," ujar wanita berambut keriting kepada salah satu pria dari keluarga Feri. Tas belanja itu berpindah tangan, lalu mereka masuk ke rumah itu. Begitu mereka hilang dari pandangan, aku mendengar suara lantang, seperti teriakan seseorang."Roni, Mori, Beni! Ayah datang!" Yang lain pun menyur
Sudut Pandang Nikita:Aku terbangun oleh suara bising dan langsung waspada. Suara ini pasti berasal dari rumah baru. Telingaku terangkat saat mengenal suara tidak asing dari kakakku yang memanggil anak-anak. Aku pun mengerang dan melihat si kembar tiga, bersyukur karena keributan itu tidak membangunkan mereka.Yah, tadinya aku berpikir begitu. Seperti kata pepatah, jangan menghitung anak ayam sebelum telurnya menetas. Aku seharusnya tidak terlalu percaya diri karena begitu aku bangkit dari tempat tidur, aku melihat si kembar tiga langsung terbangun begitu aku bergerak sedikit saja.Awalnya, mereka tampak setengah sadar. Kemudian, mereka mendengar suara itu, lalu wajah lucu mereka menyeringai perlahan."Ayah!" teriak Mori dengan girang. Dia lompat dari tempat tidur dan lari keluar kamar bersama dua kakaknya yang mengejar dari belakang. Begitu sampai di langkah terakhir, Mori langsung terjun ke pelukan Romi yang sudah menunggu."Aku kangen kalian, Nak!" ujar Romi yang memeluk Mori yang s
Sudut Pandang Noah:Saat memimpikan Nikita, ponselku mulai bergetar hingga membuatku terbangun. Aku pun mengangkat ponsel dengan kesal tanpa melihat siapa yang menelepon, lalu membentak, "Apa?""Noah?" balas seseorang yang menelepon.Aku menghela napas. "Iya, Paman Matthew?" balasku dengan nada bicara normal.Paman Matthew pun berdeham, lalu bertanya, "Apakah kamu akan datang ke pesta peluncuran Hotel Jati?" Aku pun terdiam beberapa saat dan hatiku terenyuh saat ingat kejadian yang sama dengan lima tahun lalu. Dia meneleponku untuk bertanya apakah aku akan cuti untuk hari ulang tahun pernikahan yang ketiga."Iya," balasku."Oke. Sampai jumpa di sana," ucapnya sambil menutup telepon. Aku pun menatap layar kosong pada ponsel untuk beberapa saat sebelum bangkit dari tempat tidur dan pergi menuju kamar mandi yang mewah. Dengan siraman air pancuran ke wajah dan kepala, aku berusaha melupakan soal Paman Matthew dan berkonsentrasi pada impianku.Saat memikirkan kemungkinan bertemu Nikita kemb
Sudut pandang Noah:Nikita menghindariku. Itu terlihat sangat jelas. Setiap kali kami berpapasan di pesta, dia akan langsung berbalik arah atau berpura-pura menelepon atau menerima pesan."Selamat sore, Pak Noah. Mau aku bawakan minuman?" Tatapanku tertuju pada Nikita, lalu berpindah pada Markus Feri yang melihatku dengan sinis."Nggak, terima kasih. Aku sudah minum," ucapku kepadanya sambil berusaha menenangkan diri. Aku akhirnya menyudutkan Nikita, tapi dia tetap sulit dipahami. Aku pun meregangkan leher karena dia sudah meninggalkan pasangan terakhir yang kulihat dia hampiri dari kejauhan, ingin tahu ke mana dia akan pergi selanjutnya."Mencari sesuatu atau seseorang, Pak Noah?" Kali ini, aku mendengar nada bicara penuh peringatan dari Markus. Aku pun menegakkan badan, tidak mau terlihat gentar. Dia memang anggota Keluarga Feri, tapi aku anggota Keluarga Adhitama. Aku bisa memungkinkan sesuatu terjadi."Aku mencari …," jawabku yang terpotong saat menyadari sesuatu. Aku hampir mengat
Sudut pandang Noah:"Kamu nggak apa-apa?" tanya Nikita.Perlahan, aku membuka mataku dan langsung melihat wajah Nikita. 'Nikita.' Aku memanggil namanya dalam hati. Diam-diam aku merasa puas karena dia tetap tinggal dan menungguku."Kirain kamu sudah pergi duluan sama mereka," kataku tanpa berusaha menyembunyikan binar di wajahku. Nikita masih peduli padaku. Aku bisa merasakannya setiap kami berdua berdekatan.Chemistry di antara kami masih ada. Bahkan mungkin lebih dari itu. Aku baru sadar kalau selama ini Nikita selalu baik terhadapku, bahkan saat aku bersikap kasar padanya beberapa tahun silam. Aku tidak pernah menyukainya, padahal dia tidak pernah berbuat salah terhadapku.Nikita mengangkat bahunya. "Aku cuma mau mastiin kamu nggak terluka gara-gara anak-anakku." "Mereka bukan cuma anak-anakmu. Mereka anak kita berdua." Keterkejutan mewarnai wajahnya. Dia serta merta berdiri dan aku yang tengah memegang tangannya juga ikut berdiri.Nikita menarik tangannya dari genggamanku. Aku t
Sudut pandang Nikita:Aku merasa bangga pada anakku yang terkecil. Mori yang pertama kali memperkenalkan dirinya pada ayah mereka tanpa ada batasan. Kupikir pertemuan ini akan sulit karena si kembar tiga memiliki kesan yang buruk terhadap Noah. Untungnya anak-anakku cerdas.Ketika Roni dan Beni mengikuti tindakan Mori, hatiku serasa mau meledak. Aku menggigit bibirku dan menundukkan kepalaku untuk melihat ke arah Noah yang juga sedang melihat ke arahku.Dia bersalaman dengan anak-anaknya. Telapak tangannya tampak sangat besar apabila dibandingkan dengan tangan-tangan mereka yang mungil.Mata kami bertatapan sejenak, dan aku bisa melihat emosinya yang campur aduk. Dia berdiri dan mengusap sedikit sudut matanya dengan ujung jari telunjuk. Lalu, dia mengucapkan terima kasih padaku tanpa bersuara.Aku mengangguk, dan air mata jatuh dari kedua pelupuk mataku.Aku merasakan tanganku ditarik lembut. Aku pun berjongkok supaya bisa berhadapan langsung dengan Mori.Tangan mungil Mori bergerak ke
Sudut pandang Noah:Aku memarkir mobilku di depan kediaman Keluarga Feri dan menghela napas. Lalu aku menarik cermin di atas kepalaku untuk mengecek penampilanku.Setelah itu, aku membuka jendela mobilku dan menghirup udara segar untuk menenangkan batinku sambil menunggu adanya aktivitas di dalam rumah tersebut. Aku tidak ingin tampak terlalu antusias meskipun sebenarnya aku sangat menanti-nantikan momen ini.Aku terus menggosokkan kedua tanganku dengan penuh antisipasi ketika aku mendengar suara anak-anak. Jantungku berdebar kencang.Setelah melihat jam, aku menghela napas. Kemudian, aku pun turun dari mobil.Sebelum berjalan menuju rumah di depanku, aku mengambil beberapa kantong dari kursi belakang mobilku.Aku memencet bel dan Markus sendiri yang menyambutku. "Pagi!" sapanya. Dia membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakanku masuk.Aku bisa mendengar suara anak-anak dari pintu masuk tempatku berdiri sekarang. Tampaknya mereka sedang bermain."Maaf kalau agak berantakan. Oh ya, s
Sudut pandang Noah:"Dia itu tunanganmu. Dia berhak menemanimu ke mana pun. Selain itu, dia terkenal. Kenapa kamu mempermalukannya? Media hendak menggoreng berita ini. Untung saja aku turun tangan dan membantunya menghapus skandal besar ini."Dalam hati aku tersenyum sinis, tetapi aku merespons omelan Matthew dengan nada datar."Paman nggak perlu melakukan itu dan nggak perlu memedulikan Bella. Dia yang cari gara-gara, jadi biarkan dia menanggung konsekuensinya sendiri."Dulu aku sudah sering memanjakan Bella. Sekarang, aku sudah tidak bersamanya lagi.Matthew menatapku tidak percaya. "Apa? Dia itu tunanganmu. Segala sesuatu yang menyangkut dirinya akan memengaruhimu juga.""Tidak lagi," jawabku dengan tenang. Aku mengabaikan ekspresi Matthew yang kacau."Maksudmu?"Aku membusungkan dadaku dan menatap wajah Matthew sebelum mengumumkan informasi yang dia belum ketahui. "Apa Bella sudah memberi tahu Paman kalau kami sudah putus?" tanyaku dengan tenang.Ledakan emosi di wajah Matthew begi
Sudut pandang Noah:"Dia sudah move on," kataku pada Bonar. Kami kembali ke Manik Beach Club, sebuah club VIP yang langsung menghadap ke samudera lepas. Aku mulai minum-minum secara berlebihan."Kamu mengharapkan apa sih? Dia 'kan udah kawin lagi. Markus Feri itu pria baik-baik. Dia mau bertanggung jawab atas anak-anakmu dan membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Bodoh sekali Nikita kalau menolak pria sepertinya." Aku menghela napas. Markus adalah pria yang lebih baik dariku, tetapi aku tetap yakin pada diriku sendiri. Andaikan saja Nikita mau memberiku kesempatan, aku akan membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi pria yang terbaik baginya dan si kembar tiga.Bonar menepuk bahuku. "Sudahlah, Bro. Setidaknya kamu masih bisa bersyukur karena dia mau mengenalkanmu pada anak-anaknya." Perkataannya menyadarkanku. Aku teringat kalau Nikita akan mengenalkanku pada anak-anak besok. Seharusnya hari ini, tetapi dia ada urusan mendadak dan harus melakukan rapat darurat.Aku tidak punya
Sudut pandang Nikita:Aku melangkah ke meja kerjaku dan mengambil tiga buah album foto berukuran besar. Kemudian, aku memberikannya pada Noah yang menerimanya tanpa mengatakan apa-apa.Aku memerhatikannya ketika dia membuka album foto paling atas dalam diam. Sepertinya dia keasyikan melihat isinya."Ini album foto bayi mereka dari lahir sampai ulang tahun terakhir mereka," jelasku.Dia mengangguk dengan linglung. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari halaman yang tengah dilihatnya. Tampaknya dia terhanyut dengan apa yang dia lihat sehingga melupakan kehadiranku. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. Aku merasa puas membiarkan Noah menjelajahi seluruh isi album. Sesekali dia akan membelai salah satu halaman album dengan jarinya. Sorot matanya dipenuhi kerinduan.Setiap kali dia membalikkan halaman, aku mendengarnya menghela napas keras. Di lain kesempatan, aku melihatnya tersenyum sedih."Mereka keriput sekali," komentar dia. Dia mendongak dari album foto yang tengah dilihatnya unt
Sudut pandang Nikita:Aku sangat gugup. Jantungku berdebar kencang setiap kali telepon kantor berdering untuk mengumumkan kedatangan tamu.Aku mencoba menyibukkan diri dengan membaca tumpukan proposal di mejaku, tetapi aku tidak dapat berkonsentrasi. Ekspektasiku semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.Setelah mencoba bekerja selama satu jam, aku berhenti berpura-pura. Lalu aku menelepon Marina. "Apakah ada tamu untukku?" tanyaku."Belum ada, Bu?" jawab Marina.Mendengar itu, aku meletakkan kembali teleponku dengan perasaan kecewa. Aku pun menyibukkan diri dengan menelepon anak-anak. Pada saat aku meninggalkan griya tawang pagi ini, mereka masih tidur.Sekolah baru akan dimulai satu minggu lagi, jadi aku membiarkan mereka tidur selama yang mereka inginkan. Saat ini mereka masih berada di jenjang prasekolah. Mereka akan memulai pendidikan formal mereka tahun depan."Ibu nggak cium aku tadi," ujar Mori, anak lelakiku yang termanis.Aku tersenyum. "Sudah dong. Tadi 'kan Mori m
Sudut pandang Nikita:Begitu melihat Noah, Bella semakin histeris. "Noah. Mantan istrimu melukaiku. Dia memelintir tanganku," teriaknya sambil merangkul tangan Noah.Aku menatap keduanya dengan kesal. Noah mengibaskan tangan Bella, dan aku menyeringai melihat ekspresi wajahnya. Air mata yang menggenangi bola matanya telah mengering. Kemudian, aku mengalihkan pandanganku pada Noah, menantangnya untuk membela wanita itu di hadapanku. Kami beradu pandang, dan aku mengerutkan alisku.Bella meratap dengan suara keras, berusaha untuk menarik perhatian Noah. Ratapannya memekakkan telingaku. 'Ini sudah cukup.'Aku memutuskan untuk tidak terlibat dalam urusan mereka. Hubunganku dan Noah sudah berakhir. Aku mengangkat bahu sambil menyeringai, menantangnya untuk memercayai ucapan Bella sebelum aku berbalik untuk keluar. Namun saat ini, kakak-kakakku menerobos masuk. Mereka menatap Bella, Noah, dan aku."Apa kamu terluka?" tanya Cahya, kakak tertuaku. Belum sempat aku menjawab, keempat kakakku
Sudut pandang Nikita:"Eh, ada si pelakor!" cibir Bella ketika melihat ekspresi terkejutku.Aku memutuskan untuk tidak terprovokasi dan mengabaikannya. Namun, saat aku hendak keluar dari toilet, Bella menghalangiku."Heh, jalang! Aku 'kan belum selesai bicara!" ujarnya ke wajahku.Tanpa sengaja aku menghirup napasnya yang berbau tak sedap, dan hampir muntah dibuatnya."Kamu mabuk, ya?" tanyaku khawatir."Sudahlah. Pelakor sepertimu nggak usah deh pura-pura baik!" bentaknya dengan ekspresi marah.Sekarang aku sudah tahu ke mana arah pembicaraannya. Aku pun menggelengkan kepalaku untuk membantah tuduhannya. "Aku nggak pernah merebut tunanganmu."Bella tertawa. Tawa yang terdengar sumbang di telingaku. Aku tahu rasa sakit yang menimpanya dan aku kasihan padanya. Ini semua bukanlah kesalahannya. Waktu itu, Noah yang menceraikanku. Mungkin dia memang penyebabnya, tetapi tetap saja semuanya salah Noah. Bella bukanlah musuhku."Pembohong! Kalau bukan gara-gara kamu, Noah nggak akan putus deng
Sudut pandang Nikita:Aku berjalan secepat mungkin ke dalam toilet hotel untuk bersembunyi.Noah telah berubah. Ini adalah kali ketiga aku berinteraksi dengannya dan aku sempat terhenyak melihat perubahan yang tidak biasa pada dirinya.'Ke mana perginya sosok Noah yang murka dan menuduhku membunuh orang tuanya 5 tahun yang lalu?'Aku mencuci mukaku dengan air dingin untuk membuat diriku kembali fokus."Markus, dia hanya berakting, 'kan?" tanyaku saat aku bertemu dengannya di lift.Aku sedang menuju griya tawangku untuk memeriksa keadaan anak-anak ketika Markus menyusulku.Markus menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tapi tidak mengatakan apa pun sampai kami masuk ke dalam lift pribadi khusus untuk keluarga kami.Lift tersebut menyediakan privasi bagi kami. Markus memang se-paranoid itu. Dia tidak mau orang lain menguping pembicaraan kami secara tidak sengaja untuk melindungi privasi kami."Kelihatannya dia bingung dan syok. Menurutku dia tulus mengasihi si kembar tiga dan ingin masu