Hari itu, angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma segar dari taman yang masih segar setelah hujan semalam. Keira melangkah dengan langkah tenang, matanya menyapu sekitar taman yang luas. Ia merasa ringan, seperti ada beban yang akhirnya terangkat dari pundaknya. Semalam adalah malam yang penuh pengertian, dan meskipun mereka berdua masih harus banyak belajar, Keira merasa seolah-olah sebuah babak baru dalam hidup mereka dimulai. Adrian berjalan di sampingnya, tidak terlalu dekat, namun cukup dekat untuk saling berbagi kedamaian yang kini mengisi ruang di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan saat itu. Keira tahu, begitu juga Adrian, bahwa kata-kata tidak selalu diperlukan ketika perasaan sudah berbicara dengan jujur. Keira berhenti sejenak, menatap ke arah langit biru yang cerah. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Aku merasa kita bisa melalui ini, Adrian. Aku merasa lebih percaya diri tentang kita,” katanya dengan suara lembut. Adrian m
Keira berdiri di depan jendela kaca besar apartemennya, memandangi gemerlap lampu kota yang berkedip di kejauhan. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah angin pun enggan berbisik. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang Adrian, tentang semua kejadian yang mereka alami belakangan ini. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang belum bisa ia pecahkan. Adrian, di sisi lain, tengah duduk di meja kerjanya, tangannya sibuk mengetik di layar holografis. Informasi mengenai proyek rahasia yang ia selidiki terus bermunculan, membentuk pola yang semakin jelas. Namun, ada satu celah yang masih belum ia temukan. Sesuatu yang membuatnya merasa ada ancaman yang lebih besar dari yang ia duga. Telepon Keira bergetar di meja, mengusik lamunannya. Ia meraih perangkat itu dan melihat nama Adrian terpampang di layar. Dengan sedikit ragu, ia menggeser ikon hijau. "Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. "Aku menemukan sesuatu, tapi
Ruangan itu masih dipenuhi suara ketikan cepat Zane di keyboardnya. Monitor-monitor di depannya menampilkan barisan kode yang semakin lama semakin jelas. Keira duduk di tepi meja, matanya terpaku pada layar, sementara Adrian berdiri dengan tangan terlipat, berpikir cepat. Zane menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu bersiul pelan. "Wow... kalian tidak akan percaya ini." Keira dan Adrian menoleh bersamaan. "Apa yang kau temukan?" tanya Adrian dengan nada serius. Zane menunjuk layar utama. "Enkripsi ini berasal dari sistem yang digunakan oleh kelompok rahasia. Biasanya, kode semacam ini digunakan dalam operasi militer atau jaringan bawah tanah yang sangat eksklusif. Dan yang lebih mengejutkan... ada jejak digital yang mengarah ke organisasi yang selama ini kita curigai." Keira mendekat, membaca barisan informasi yang tertera di layar. "Organisasi ini... mereka yang selama ini menarik benang di balik semua kejadian?" Adrian menarik napas dalam. "Bisa jadi. Tapi ki
Mobil hitam itu melaju kencang melewati jalanan kota yang masih basah setelah hujan. Keira melirik ke luar jendela, memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang mengikuti mereka. Zane, yang duduk di kursi belakang, masih berusaha mengatur napasnya setelah aksi penyelamatan barusan. Adrian tetap fokus pada layar kecil di lengannya, memperhatikan data yang baru saja mereka peroleh. "Aretha, periksa jalur belakang. Pastikan tidak ada yang membuntuti," perintahnya. Suara asisten virtual itu terdengar di sistem komunikasi mereka. "Memindai... Tidak ada kendaraan yang terdeteksi dalam radius dua kilometer. Namun, aku mendeteksi aktivitas mencurigakan di persimpangan berikutnya. Ada kemungkinan mereka sedang mengatur blokade." Keira langsung menoleh ke Adrian. "Kalau begitu, kita harus keluar sebelum terlambat." Adrian berpikir cepat. "Kita ambil jalur alternatif. Aretha, arahkan kita ke rute yang lebih aman." "Menghitung ulang... Belok kanan di 300 meter, lalu gunakan
Kilatan cahaya dari lampu jalan berpendar di genangan air hujan yang masih tersisa di trotoar. Malam ini, udara dingin menggigit, tapi bagi Adrian, Keira, dan Zane, ini adalah waktu yang tepat untuk bergerak. Mereka berdiri di seberang gedung target—pusat keuangan organisasi bayangan yang selama ini mereka buru. Bangunan itu tinggi dengan kaca hitam mengilap, dikelilingi pengamanan ketat. Zane mengetik sesuatu di tablet kecilnya, lalu menoleh ke Adrian. "Sistem keamanan utama ada di lantai 15. Kita harus masuk dari sisi utara, ada jalur ventilasi yang bisa kita manfaatkan." Adrian mengangguk. "Keira, kau tetap di luar untuk memantau. Jika ada pergerakan mencurigakan, beri kami sinyal." Keira tidak langsung menjawab. Ia menatap gedung itu, lalu menoleh ke Adrian dengan ekspresi serius. "Kau yakin ini tidak terlalu berisiko? Jika kita ketahuan, kita bisa kehilangan semua yang sudah kita kumpulkan." Adrian tersenyum tipis. "Justru karena itu kita harus melakukannya
Langit sore mulai meredup saat Adrian berdiri di depan sebuah bangunan tua yang tertutup debu. Cahaya jingga matahari yang hampir tenggelam menyorot kaca jendela yang retak, memantulkan bayangan samar-samar wajahnya. Hatinya berdebar. Ini adalah tempat yang selama ini hanya ada dalam potongan-potongan ingatannya. Keira berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Adrian erat. Tatapannya tajam, penuh tanya. “Kau yakin ini tempatnya?” Adrian mengangguk perlahan. “Aku ingat setiap detailnya. Pintu kayu dengan ukiran ini… jendela yang sedikit miring… Bahkan bau tanah yang lembap ini. Tempat ini pernah menjadi saksi sesuatu yang penting.” Keira menghela napas panjang. “Kalau begitu, mari kita masuk.” Mereka mendorong pintu kayu yang berderit keras. Ruangan di dalamnya gelap dan berdebu. Cahaya matahari yang tersisa masuk melalui celah di atap, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak pelan di dinding. Adrian melangkah ke tengah ruangan, matanya menyapu setiap s
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Keheningan menyelimuti ruangan ketika Keira dan Adrian duduk di sofa, menikmati kehangatan yang terasa asing namun begitu dirindukan. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya detak jantung mereka yang terdengar lebih jelas dalam kedekatan ini.Keira menatap cangkir teh di tangannya, uapnya mengepul tipis di udara. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa begitu sulit keluar.Adrian menoleh ke arahnya. "Apa yang kau pikirkan?"Keira menggigit bibir bawahnya, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya… merasa canggung."Adrian tersenyum tipis. "Aku juga."Keira mendesah pelan. "Aku tidak ingin membuat segalanya jadi sulit, Adrian. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku mengambil keputusan yang tepat."Adrian mengangguk mengerti. "Aku tidak akan memaksamu untuk terburu-buru, Keira. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, menunggumu."Keira tersenyum kecil. "Terima kasih."Malam semakin larut, dan suasana mulai terasa lebih nyaman. Mereka berbicara tentang hal-hal r
Keira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan dari Adrian masih terbuka, hanya berisi satu kalimat singkat:"Kita perlu bicara. Aku akan menemuimu malam ini."Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara secara langsung tanpa ada orang lain di sekitar. Hubungan mereka akhir-akhir ini terasa seperti berada di ambang jurang, menggantung di antara kejelasan dan keraguan.Keira menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa sekuat apa pun ia mencoba menyibukkan diri, pikirannya selalu kembali pada Adrian.Saat malam tiba, Keira duduk di ruang tamu apartemennya, menunggu dengan gelisah. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan Adrian katakan. Apakah ini tentang mereka? Tentang Samantha? Atau… tentang sesuatu yang lebih besar?Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Dengan sedikit ragu, Keira bangkit dan membuka pintu.Di hadapannya, Adrian berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia mengenakan kemeja
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m
Mobil mereka melaju melewati jalanan berbatu yang semakin jauh dari kota. Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan yang pekat. Keira bersandar di kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian di jembatan.Samantha duduk diam di sebelahnya, kedua tangannya masih menggenggam erat sabuk pengaman seolah takut melepaskannya. Sementara itu, Adrian dan Dylan tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka benar-benar telah lolos dari pengejaran."Tidak ada tanda-tanda mobil lain," kata Dylan akhirnya. "Setidaknya untuk sekarang, kita aman."Adrian mengangguk, tapi ekspresinya tetap dingin dan penuh kehati-hatian. "Jangan lengah dulu. Mereka pasti akan mencari kita lagi."Keira menelan ludah. "Ke mana tujuan kita sekarang?"Samantha yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. "Kita harus keluar dari negara ini secepat mungkin."Dylan mengangkat alis. "Dan bagaimana caranya? Semua jalur utama pasti sudah mer
Malam semakin pekat saat Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan menyusuri jalanan gelap menuju titik pertemuan. Hanya suara angin dan derap langkah mereka yang terdengar.Keira merapatkan jaket yang diberikan Dylan, berusaha menghalau dingin sekaligus menutupi identitasnya. Mereka harus bergerak cepat sebelum orang-orang Victor menyadari keberadaan mereka.Adrian berjalan di sampingnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Samantha masih mengikuti. Gadis itu tampak pucat, tetapi tetap berusaha tegar."Kita hampir sampai," bisik Dylan, mempercepat langkahnya.Di depan, samar-samar terlihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah jembatan kecil. Lampunya dimatikan, dan hanya suara mesin yang terdengar pelan."Siapa yang menunggu di sana?" tanya Adrian waspada."Orang kepercayaanku," jawab Dylan. "Dia bisa membawa kita keluar dari kota tanpa terdeteksi."Mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai mobil itu. Seorang pria berkacamata hitam turun dari kursi kemudi, meskipun mala
Udara pagi masih dingin saat Keira, Adrian, dan Samantha melangkah keluar dari rumah persembunyian mereka. Langit berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati mereka yang dipenuhi kewaspadaan. Adrian berjalan paling depan, matanya tajam menyapu lingkungan sekitar. Keira dan Samantha mengikutinya dengan hati-hati, tas kecil berisi barang-barang penting menggantung di punggung mereka. “Kita ke mana sekarang?” bisik Keira. Adrian melirik arlojinya sebelum menjawab. “Ada tempat yang aman di pinggiran kota. Aku punya kontak di sana yang bisa membantu kita keluar dari negara ini dengan aman.” Samantha mendesah pelan. “Keluar dari negara ini? Apa itu satu-satunya pilihan kita?” Adrian menatapnya serius. “Victor tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kita harus berada di luar jangkauannya.” Keira menelan ludah. Membayangkan meninggalkan semua yang ia kenal terasa berat, tetapi ia tahu ini bukan tentang dirinya saja. Ini tentang berta
Malam mulai menyelimuti langit saat Keira, Adrian, dan Samantha akhirnya mencapai pinggiran hutan. Napas mereka masih terengah-engah setelah pelarian panjang yang hampir membuat mereka tertangkap.Keira menatap Adrian dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka masih mencari kita.”Adrian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Hutan mulai beralih ke tanah lapang dengan beberapa gudang tua yang tampak terlantar. Ia menunjuk ke salah satu bangunan yang terlihat lebih kokoh. “Kita bersembunyi di sana dulu. Kita butuh tempat untuk menyusun rencana sebelum melanjutkan perjalanan.”Samantha tampak ragu. “Bagaimana kalau tempat itu tidak aman?”Adrian menatapnya tajam. “Saat ini, kita tidak punya pilihan lain.”Mereka bertiga bergerak dengan hati-hati, menyelinap ke dalam gudang tua yang pintunya setengah terbuka. Begitu masuk, mereka mendapati ruangan luas dengan beberapa tumpukan kayu dan alat-alat pertanian berkarat. Bau tanah lembap bercampur debu memenuhi udara.Ke
Malam semakin larut, dan udara dingin mulai merayapi rumah kecil itu. Keira duduk di dekat perapian, tangannya memeluk lutut, mencoba mencari kehangatan. Samantha beristirahat di sofa, sementara Adrian sibuk memeriksa peta digital di ponselnya.Suasana hening, tetapi bukan ketenangan yang nyaman—melainkan ketegangan yang menggantung di udara.Keira mengangkat wajahnya. “Adrian, menurutmu Victor akan menemukan kita secepat itu?”Adrian menghela napas panjang. “Victor bukan orang yang mudah menyerah. Tapi sejauh ini, kita masih memiliki sedikit keunggulan.”Samantha menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, matanya menatap langit-langit. “Masalahnya, kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Kita harus berpikir bagaimana mengakhiri ini.”Keira menatap Samantha. Ia tahu perempuan itu benar. Mereka tidak bisa terus-menerus melarikan diri.“Lalu, apa rencanamu?” tanya Keira akhirnya.Adrian menatap Samantha sejenak sebelum menjawab. “Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita. Tapi k