Denting jam dinding di ruang rapat kediaman Adrian terdengar seperti gema yang menghujam. Pukul tiga pagi, namun ruang itu penuh oleh tatapan tegang.Adrian berdiri di dekat jendela besar, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Cahaya lampu jalan yang temaram menyinari garis wajahnya yang keras, matanya tajam menatap peta digital di layar holografik. Keira, yang duduk dengan ekspresi resah di kursi di tengah ruangan, memperhatikan setiap langkahnya dengan gugup.“Ini terlalu berisiko,” gumam Keira, suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk memecah keheningan. “Jika kita menyerang sekarang tanpa tahu apa yang ada di balik strategi mereka, kita sama saja menggali lubang untuk diri sendiri.”“Kalau kita menunggu lebih lama, mereka yang akan menyerang lebih dulu,” balas Adrian, nadanya rendah tapi penuh ketegasan. “Dan saat itu, kita mungkin tidak punya pilihan lain selain menyerah.”Keira menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu kau sel
Setelah keputusan untuk mempertahankan persahabatan dengan Raka dan Dean, Lia merasa beban di hatinya berkurang. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang menenangkan, namun di sudut hatinya, ia masih merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan.Suatu sore, saat Lia sedang duduk di kafe favoritnya sambil membaca buku, seorang pria tak dikenal menghampirinya."Maaf, apakah Anda Lia?" tanya pria itu dengan senyum ramah."Iya, saya Lia. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Lia dengan sedikit bingung."Perkenalkan, saya Andi. Saya teman lama Raka dan Dean. Mereka sering bercerita tentang Anda."Lia terkejut mendengar nama Raka dan Dean disebut."Oh, senang bertemu dengan Anda, Andi. Apa kabar mereka?""Mereka baik. Sebenarnya, saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda tentang mereka."Lia merasa penasaran dan mengangguk, mengisyaratkan Andi untuk duduk."Begini, Lia. Saya tahu Anda telah memutuskan untuk mempertahankan persahabatan dengan Raka dan Dean tanpa memilih salah satu dari mereka. Nam
Langit pagi di atas kompleks masih kelabu. Aroma mesiu dan darah bercampur menjadi satu, mengiringi suasana yang tetap tegang meski pertempuran sementara mereda. Adrian berdiri di balkon pos komando, menatap sisa-sisa pertahanan yang masih berdiri. Ia tahu, apa yang baru saja terjadi hanyalah pembukaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.Keira memasuki ruang medis dengan langkah berat, membawa daftar korban luka dan kebutuhan tambahan. Wajahnya pucat, mencerminkan rasa lelah yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Di tengah ruangan, beberapa anggota tim medis bekerja tanpa henti, sementara pasien-pasien terbaring di atas tandu dengan perban melilit tubuh mereka.“Keira,” panggil Adrian dari pintu. Ia berdiri tegak, tapi mata gelapnya menunjukkan kelelahan yang sama.Keira menoleh, mencoba menyembunyikan gemetar di tangannya dengan meremas daftar yang ia pegang. “Ada apa?” tanyanya pelan.Adrian melangkah masuk, mendekatinya. “Aku tahu
Heningnya malam di markas utama menyimpan ketegangan yang tidak terucapkan. Para penjaga berjalan mondar-mandir di sekitar perimeter dengan senjata yang siap di tangan. Langit mendung menutupi bulan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Di dalam ruang komando, Adrian berdiri di depan meja besar yang dipenuhi peta, diagram, dan laporan-laporan terbaru.Adrian mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa penat yang mulai menyerang pikirannya. Jonas duduk di kursi di sebelahnya, menatap layar monitor yang menampilkan laporan dari tim pengintai.“Mereka sedang bersiap. Lokasi bunker itu benar-benar menjadi pusat operasi mereka,” ujar Jonas tanpa menoleh.“Berapa banyak orang yang mereka miliki?” tanya Adrian.“Setidaknya dua kali lipat dari tim kita,” jawab Jonas sambil mengetik di tablet. “Dan mereka punya senjata berat.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja. Pikirannya berputar, mencari solusi. Keputusan apa pun yang ia ambil, t
Hari itu, suara burung di taman keluarga Hartono terdengar seperti biasa, tetapi di dalam rumah megah itu, suasana jauh dari tenang. Keira duduk di sofa ruang tamu dengan kaki disilangkan, memelototi ayahnya yang duduk berhadapan dengannya. Di tangannya, sebuah cangkir kopi hampir tumpah karena tangannya yang bergerak-gerak gelisah. “Kenapa sih, Ayah selalu memaksakan kehendak?” sergah Keira dengan nada tinggi. “Aku bukan anak kecil lagi!” Tuan William Hartono, pengusaha dengan reputasi keras dan disiplin, tetap tenang menghadapi protes putrinya. Dengan rambut mulai memutih dan wajah tegasnya, ia menyampaikan pendapatnya dengan nada dingin. “Keira, sudah berapa kali aku bilang, ini soal keamanan. Kau mungkin merasa bisa menjaga dirimu sendiri, tapi nyatanya kau ceroboh. Sudah dua kali kau hampir terlibat kecelakaan dalam satu bulan terakhir,” katanya “Kalau soal itu, aku bisa lebih hati-hati! Tidak perlu menyewa orang asing untuk mengikuti aku ke mana-mana.” Tuan William m
Pagi itu, Keira terbangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, pikirannya dipenuhi oleh Adrian. Refleks pria itu saat menyelamatkannya dari truk hari sebelumnya membuatnya penasaran. Namun, rasa penasaran itu bercampur dengan amarah kecil yang masih ia simpan. Dia tidak suka merasa seperti gadis lemah yang butuh perlindungan. Dan Adrian, dengan sikap tenang dan hampir sempurnanya, membuat Keira merasa seperti itu. “Apa dia benar-benar hanya seorang sopir?” Keira bergumam pelan sambil menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, dan ia memilih pakaian kasual—sesuatu yang jarang ia lakukan. Saat ia melangkah keluar rumah, mobil sudah menunggunya. Adrian berdiri di samping mobil, membungkukkan sedikit badan sebagai tanda hormat. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang tampak tanpa beban. “Selamat pagi, Nona Keira,” sapanya lembut. Keira meliriknya sekilas, lalu masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa. Namun, ketika Adrian menutup pintu dengan hati-hati, Keir
Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik. “Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya. Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain. Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya. “Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya. Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat
Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin
Heningnya malam di markas utama menyimpan ketegangan yang tidak terucapkan. Para penjaga berjalan mondar-mandir di sekitar perimeter dengan senjata yang siap di tangan. Langit mendung menutupi bulan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Di dalam ruang komando, Adrian berdiri di depan meja besar yang dipenuhi peta, diagram, dan laporan-laporan terbaru.Adrian mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa penat yang mulai menyerang pikirannya. Jonas duduk di kursi di sebelahnya, menatap layar monitor yang menampilkan laporan dari tim pengintai.“Mereka sedang bersiap. Lokasi bunker itu benar-benar menjadi pusat operasi mereka,” ujar Jonas tanpa menoleh.“Berapa banyak orang yang mereka miliki?” tanya Adrian.“Setidaknya dua kali lipat dari tim kita,” jawab Jonas sambil mengetik di tablet. “Dan mereka punya senjata berat.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja. Pikirannya berputar, mencari solusi. Keputusan apa pun yang ia ambil, t
Langit pagi di atas kompleks masih kelabu. Aroma mesiu dan darah bercampur menjadi satu, mengiringi suasana yang tetap tegang meski pertempuran sementara mereda. Adrian berdiri di balkon pos komando, menatap sisa-sisa pertahanan yang masih berdiri. Ia tahu, apa yang baru saja terjadi hanyalah pembukaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.Keira memasuki ruang medis dengan langkah berat, membawa daftar korban luka dan kebutuhan tambahan. Wajahnya pucat, mencerminkan rasa lelah yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Di tengah ruangan, beberapa anggota tim medis bekerja tanpa henti, sementara pasien-pasien terbaring di atas tandu dengan perban melilit tubuh mereka.“Keira,” panggil Adrian dari pintu. Ia berdiri tegak, tapi mata gelapnya menunjukkan kelelahan yang sama.Keira menoleh, mencoba menyembunyikan gemetar di tangannya dengan meremas daftar yang ia pegang. “Ada apa?” tanyanya pelan.Adrian melangkah masuk, mendekatinya. “Aku tahu
Setelah keputusan untuk mempertahankan persahabatan dengan Raka dan Dean, Lia merasa beban di hatinya berkurang. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang menenangkan, namun di sudut hatinya, ia masih merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan.Suatu sore, saat Lia sedang duduk di kafe favoritnya sambil membaca buku, seorang pria tak dikenal menghampirinya."Maaf, apakah Anda Lia?" tanya pria itu dengan senyum ramah."Iya, saya Lia. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Lia dengan sedikit bingung."Perkenalkan, saya Andi. Saya teman lama Raka dan Dean. Mereka sering bercerita tentang Anda."Lia terkejut mendengar nama Raka dan Dean disebut."Oh, senang bertemu dengan Anda, Andi. Apa kabar mereka?""Mereka baik. Sebenarnya, saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda tentang mereka."Lia merasa penasaran dan mengangguk, mengisyaratkan Andi untuk duduk."Begini, Lia. Saya tahu Anda telah memutuskan untuk mempertahankan persahabatan dengan Raka dan Dean tanpa memilih salah satu dari mereka. Nam
Denting jam dinding di ruang rapat kediaman Adrian terdengar seperti gema yang menghujam. Pukul tiga pagi, namun ruang itu penuh oleh tatapan tegang.Adrian berdiri di dekat jendela besar, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Cahaya lampu jalan yang temaram menyinari garis wajahnya yang keras, matanya tajam menatap peta digital di layar holografik. Keira, yang duduk dengan ekspresi resah di kursi di tengah ruangan, memperhatikan setiap langkahnya dengan gugup.“Ini terlalu berisiko,” gumam Keira, suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk memecah keheningan. “Jika kita menyerang sekarang tanpa tahu apa yang ada di balik strategi mereka, kita sama saja menggali lubang untuk diri sendiri.”“Kalau kita menunggu lebih lama, mereka yang akan menyerang lebih dulu,” balas Adrian, nadanya rendah tapi penuh ketegasan. “Dan saat itu, kita mungkin tidak punya pilihan lain selain menyerah.”Keira menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu kau sel
Langit di luar gedung semakin gelap, menambah suasana mencekam yang menyelimuti ruangan besar itu. Cahaya biru dari perangkat besar di tengah ruangan memantul di dinding logam, menciptakan bayangan yang bergerak liar setiap kali Victor melangkah mendekat.Keira berdiri diam, tubuhnya tegang, otaknya bekerja keras mencari celah dalam situasi yang tampaknya mustahil ini. Di sampingnya, Adrian memegang perangkat kecil di tangannya, jemarinya bergerak cepat di atas layar. Ia tampak tenang, tetapi Keira bisa merasakan ketegangan dalam setiap tarikan napasnya."Jangan terburu-buru," bisik Adrian pelan. "Victor ingin memancingmu. Dia akan memanfaatkan emosi kita."Keira tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya untuk menahan desakan rasa marah yang terus menggulung di dadanya. Sorot matanya terpaku pada Victor, pria yang kini tampak begitu percaya diri dengan posisi dominannya.Victor tersenyum, menatap mereka seperti seorang dalang yang meliha
Pagi itu terasa hampa. Langit tampak berawan, seolah-olah menahan cahaya matahari untuk menyentuh permukaan bumi. Keira duduk di sudut ruangan kecil yang penuh dengan perangkat komputer dan peta-peta digital. Suara kipas pendingin dari laptop di meja kerja menjadi satu-satunya pengisi keheningan. Ia menggerakkan kursor dengan lambat, memindai data yang berhasil ia ambil dari terminal sebelum ledakan terjadi. Ada peta, catatan kode, dan beberapa dokumen yang terenkripsi dengan baik. Tapi semua itu seperti teka-teki besar yang belum terpecahkan. Wajahnya tegang, matanya tampak sayu. Ia belum tidur sejak semalam, dan beban mental yang terus menghantui pikirannya mulai merayap ke tubuhnya. "Keira, kau harus makan sesuatu," suara Maya, salah satu anggota tim bantuan, terdengar lembut namun tegas. Keira menoleh, melihat Maya berdiri di pintu dengan sepiring sandwich di tangannya. "Aku tak lapar," jawabnya singkat. Maya menghela napas panjang, lalu mendekat. Ia meletakkan piring itu di
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menusuk. Keira duduk di lantai, tubuhnya gemetar, memeluk lutut sambil menatap kosong tubuh Adrian yang terkulai di sudut ruangan. Wajahnya yang biasanya penuh kehidupan kini beku, kehilangan kilau yang biasa membuatnya terlihat penuh semangat. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Namun, Keira tahu ia tidak bisa terpuruk terlalu lama. Adrian, dengan segala optimisme dan keyakinannya, tidak akan menginginkan itu. Dengan napas yang tersengal, Keira berdiri, tubuhnya terasa berat. Matanya menatap layar terminal di depannya, memantulkan wajahnya yang tampak lelah tetapi bertekad. Di tengah gelombang kesedihan, ia menguatkan dirinya. Tangannya yang gemetar menyentuh layar, mencoba menavigasi sistem yang terlihat rumit. Layar itu dingin di bawah jarinya, seperti cermin hatinya yang kini terasa kosong. “Aku harus melanjutkan ini,” gumamnya, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Namun, layar terminal tiba-tiba memunculkan pesan: "Akse
Suasana semakin tegang saat Keira dan Adrian menyusuri lorong yang tampak gelap dan sempit. Suara langkah kaki mereka terasa nyaris tertelan oleh dinding-dinding beton yang dingin, namun di setiap sudut, Keira bisa merasakan betapa besar ancaman yang menyertai mereka. Mungkin inilah saatnya, saat segalanya akan berakhir. Namun, Keira mencoba menepis semua kecemasan itu. Ia tahu, meskipun ketakutan menyelimuti, mereka masih punya kesempatan.Adrian berjalan di depannya, langkahnya mantap meskipun tubuhnya tampak lelah. Wajahnya serius, tak ada sedikit pun ekspresi yang menunjukkan keraguan. Keira tahu, Adrian adalah orang yang selalu berpikir cepat dalam situasi genting. Namun, kali ini, bahkan dia pun tampak tidak begitu yakin.Keira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Harapannya kini terpusat pada keputusan yang mereka buat dalam beberapa detik ke depan. Mereka hanya punya satu kesempatan. Jika mereka gagal, mereka akan terjebak dalam kegelapan ini selamanya."Adrian," Keir
Keira merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya, semakin cepat, semakin tak terkendali. Tubuhnya terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang terus menariknya ke dalam kegelapan. Ia berusaha membuka matanya, namun dunia di sekitarnya masih kabur, bercampur dengan cahaya yang bergerak-gerak, seakan membingungkannya. Keira tahu, ia harus segera bangkit. Ini bukan waktunya untuk terjebak dalam ketakutan. Tetapi dalam kekacauan ini, ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu.Tangan Keira terulur ke arah Adrian, yang juga tampak tergeletak di lantai, punggungnya tertutup oleh bayangan gelap yang semakin mendekat. Dengan suara serak, ia mencoba memanggil namanya."Adrian... bangun... kita... harus... keluar..." suaranya terputus-putus, napasnya tersengal. Kepalanya berputar, namun ia berusaha menguatkan diri.Namun, Adrian tidak bergerak. Keira mulai merasakan keputusasaan merayap. Rencana mereka, yang semula begitu terencana, kini terasa seperti ilusi. Mereka terjebak dalam se