Langit malam di atas markas utama tampak suram, dengan awan gelap menggantung seperti bayangan ancaman yang belum terselesaikan. Di dalam ruang briefing, Adrian berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta digital. Garis-garis merah menyilang di beberapa lokasi penting, menunjukkan area yang telah diserang oleh musuh. "Ini bukan lagi sekadar serangan acak," kata Adrian, suaranya terdengar tegas. "Mereka memiliki rencana besar, dan kita harus menghentikannya sebelum terlambat." Keira, yang duduk di kursi dengan perban membalut lengannya, menatap layar itu dengan ekspresi serius. "Tapi kita bahkan belum tahu siapa dalang di balik semua ini. Bagaimana kita bisa melawan mereka?" Jonas, yang berdiri di sudut ruangan dengan tablet di tangannya, mengangguk pelan. "Itulah masalahnya. Data dari bunker hanya memberi kita potongan kecil dari teka-teki besar ini. Ada satu nama yang muncul berulang kali: 'Proyek Orion.' Tapi aku belum menemukan informasi lebih lanjut tentan
Suasana di markas Adrian terasa berbeda setelah kejadian di pabrik tua. Meski Marcus kini dalam tahanan, ancaman dari Proyek Orion masih menggantung seperti bayangan gelap di atas kepala mereka. Setiap orang di tim menyadari bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang lebih besar. Adrian duduk di ruang interrogasi, matanya tajam mengamati Marcus yang kini terikat di kursi logam. Luka-luka di wajah Marcus mengingatkan pada betapa kerasnya perlawanan yang baru saja terjadi, tetapi tatapan pria itu masih dipenuhi kebencian. “Berapa lama kau akan menatapku seperti itu, Adrian?” ejek Marcus. “Apa kau ingin menebus dosa-dosamu dengan tatapan penuh rasa bersalah?” Adrian tetap diam, menggenggam pena di tangannya dengan erat. Keheningan terasa begitu mencekam di antara mereka, seperti badai yang siap meledak kapan saja. “Katakan saja, Marcus,” suara Adrian akhirnya pecah. Suaranya terdengar berat dan penuh emosi yang terpendam. “Apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa kau mengkhianati
Marcus berdiri tegap, tubuhnya seperti patung yang memancarkan kekuatan. Sorot matanya tajam, menyiratkan keinginan untuk mengakhiri segalanya. Di belakangnya, bayangan para penjaga berseragam hitam memenuhi lorong sempit itu. “Adrian,” suara Marcus memecah kesunyian, dingin seperti malam tanpa bintang. “Kau selalu mencoba menjadi pahlawan. Tapi lihatlah sekitarmu. Dunia ini tidak peduli pada orang-orang seperti kita.” Adrian tidak bergeming. Rahangnya mengeras, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku tidak melakukannya untuk dunia, Marcus. Aku melakukannya karena aku tahu apa yang benar.” Marcus mengangkat alis, seolah terhibur dengan jawaban itu. “Benar? Kau berbicara seolah-olah kebenaran itu mutlak. Padahal, Adrian, kebenaran hanyalah versi cerita yang menang.” Jonas, yang berdiri di belakang Adrian, menggenggam senjata dengan tangan bergetar. “Kita harus pergi sekarang,” bisiknya dengan nada cemas. Namun Adrian tidak menjawab. Pandangannya tetap terkunci p
Ruangan operasi darurat yang mereka bangun di dalam fasilitas lama itu dipenuhi oleh ketegangan yang hampir tak tertahankan. Suara desis perangkat komputer berpadu dengan napas tertahan setiap orang di sana, menciptakan suasana yang penuh tekanan. Adrian berdiri di tengah, sorot matanya terpaku pada layar besar yang memancarkan tampilan sistem kompleks. “Kita akan meluncurkan operasi ini tepat pukul tiga pagi,” kata Adrian dengan nada datar, tapi penuh otoritas. “Waktu kita tidak banyak, dan setiap detik akan menentukan.” Keira berdiri di sampingnya, melipat tangan di depan dada. Matanya bergerak cepat membaca peta digital yang diproyeksikan di layar lain. “Sistem ini lebih rumit dari yang kita perkirakan. Aku butuh waktu tambahan untuk menembus firewall-nya.” Jonas, yang tengah memeriksa perlengkapan komunikasi, menoleh dengan cemas. “Berapa lama tambahan waktu yang kau perlukan?” Keira menggelengkan kepala, ekspresinya penuh ketegangan. “Tidak tahu. Tapi ini akan suli
Keheningan menyelimuti malam itu, hanya diiringi oleh bunyi tetesan hujan yang mengguyur atap bangunan tempat Adrian kini terjebak. Pintu pusat data berdentum untuk kedua kalinya, para penjaga yang bersenjata lengkap bergerak masuk dengan langkah sigap. Wajah mereka mencerminkan kewaspadaan, senjata di tangan mereka mengarah ke Adrian. Adrian berdiri tegak di depan konsol utama, tubuhnya sedikit condong ke depan, melindungi perangkat Keira yang masih menyala di meja. Matanya penuh determinasi, meskipun ia tahu dirinya berada di posisi yang genting. "Siapa kau?!" teriak salah satu penjaga, suaranya menggema di ruangan sempit itu. "Angkat tanganmu sekarang!" Alih-alih menjawab, Adrian melirik jam kecil di pergelangan tangannya. Detik berlalu dengan cepat, tetapi di benaknya, setiap detik terasa seperti selamanya. Dia tahu Keira dan tim lainnya membutuhkan waktu untuk melarikan diri dengan aman. Adrian menarik napas panjang, melangkah satu langkah maju dengan gerakan pe
Kilauan matahari pagi menembus kaca jendela markas kecil mereka, menghangatkan udara yang dingin setelah malam penuh hujan. Adrian duduk di kursi kayu dekat meja kerja. Jemarinya mengetuk permukaan meja, tanda pikirannya masih sibuk mencerna data yang baru saja mereka selamatkan. Di depannya, Keira sibuk dengan laptop, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, meskipun ada bayangan kelelahan di bawah matanya. Sementara itu, Jonas berdiri di dekat pintu, menyilangkan tangan di dada, seolah mengawasi setiap suara kecil yang mungkin mengancam. “Kau yakin data ini cukup untuk menjatuhkan Marcus?” tanya Jonas, memecah keheningan. Adrian mengangkat pandangannya, menatap Jonas dengan mata yang tajam namun lelah. “Data ini bukan hanya cukup. Ini adalah bukti utama. Marcus telah menyembunyikan rencana gelapnya selama bertahun-tahun, dan sekarang kita punya kunci untuk membuka semuanya.” Keira menghentikan gerakannya sejenak, menoleh ke arah
Malam itu, mereka berlindung di sebuah rumah persembunyian kecil di pinggiran kota. Suara jangkrik di luar terdengar nyaring, mengisi keheningan yang mencekam di dalam ruangan. Adrian duduk di kursi tua di sudut ruangan, menatap peta digital di tablet kecilnya. Wajahnya serius, setiap guratannya mencerminkan ketegangan yang ia coba sembunyikan. Keira duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu yang dingin. Tangannya gemetar saat ia memeriksa alat pemindai yang rusak akibat pelarian tadi. Jonas berdiri di dekat jendela, mengawasi jalanan gelap dengan pistol di tangan. “Data itu... kita tidak boleh kehilangannya, Adrian,” kata Keira pelan, suaranya penuh emosi. “Semua kerja keras kita, semua yang kita lalui... itu adalah kunci untuk menghancurkan Marcus.” Adrian mengangkat pandangannya, menatap Keira yang terlihat rapuh namun penuh tekad. “Aku tahu, Keira. Tapi kita harus sabar. Kita tidak bisa gegabah. Kalau kita kembali ke sana tanpa rencana matang, kit
Kegelapan malam menyelimuti kota saat Adrian dan timnya memulai misi baru. Udara terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Keira duduk di dalam van kecil yang diparkir beberapa blok dari lokasi target. Di depannya, layar-layar monitor memancarkan cahaya redup. Jemarinya dengan cekatan mengetik di keyboard, mencoba meretas sistem keamanan gudang yang menjadi tujuan mereka. Sementara itu, Adrian dan Jonas menyelinap di antara bayang-bayang gedung. Gudang yang dimaksud berada di area padat dengan penjagaan ketat. Lampu sorot bergantian menyapu halaman, membuat setiap langkah mereka terasa seperti perjudian besar. "Adrian, aku sudah menemukan jalur masuknya," suara Keira terdengar melalui earpiece mereka. "Tapi kalian harus cepat. Sistem ini punya firewall otomatis. Aku cuma bisa menjaganya tetap terbuka selama sepuluh menit." "Dimengerti," jawab Adrian singkat. Ia memberi isyarat pada Jonas, dan mereka segera bergerak ke arah pintu samping gudang. Saat mereka mendekati pi
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m
Mobil mereka melaju melewati jalanan berbatu yang semakin jauh dari kota. Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan yang pekat. Keira bersandar di kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian di jembatan.Samantha duduk diam di sebelahnya, kedua tangannya masih menggenggam erat sabuk pengaman seolah takut melepaskannya. Sementara itu, Adrian dan Dylan tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka benar-benar telah lolos dari pengejaran."Tidak ada tanda-tanda mobil lain," kata Dylan akhirnya. "Setidaknya untuk sekarang, kita aman."Adrian mengangguk, tapi ekspresinya tetap dingin dan penuh kehati-hatian. "Jangan lengah dulu. Mereka pasti akan mencari kita lagi."Keira menelan ludah. "Ke mana tujuan kita sekarang?"Samantha yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. "Kita harus keluar dari negara ini secepat mungkin."Dylan mengangkat alis. "Dan bagaimana caranya? Semua jalur utama pasti sudah mer
Malam semakin pekat saat Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan menyusuri jalanan gelap menuju titik pertemuan. Hanya suara angin dan derap langkah mereka yang terdengar.Keira merapatkan jaket yang diberikan Dylan, berusaha menghalau dingin sekaligus menutupi identitasnya. Mereka harus bergerak cepat sebelum orang-orang Victor menyadari keberadaan mereka.Adrian berjalan di sampingnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Samantha masih mengikuti. Gadis itu tampak pucat, tetapi tetap berusaha tegar."Kita hampir sampai," bisik Dylan, mempercepat langkahnya.Di depan, samar-samar terlihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah jembatan kecil. Lampunya dimatikan, dan hanya suara mesin yang terdengar pelan."Siapa yang menunggu di sana?" tanya Adrian waspada."Orang kepercayaanku," jawab Dylan. "Dia bisa membawa kita keluar dari kota tanpa terdeteksi."Mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai mobil itu. Seorang pria berkacamata hitam turun dari kursi kemudi, meskipun mala
Udara pagi masih dingin saat Keira, Adrian, dan Samantha melangkah keluar dari rumah persembunyian mereka. Langit berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati mereka yang dipenuhi kewaspadaan. Adrian berjalan paling depan, matanya tajam menyapu lingkungan sekitar. Keira dan Samantha mengikutinya dengan hati-hati, tas kecil berisi barang-barang penting menggantung di punggung mereka. “Kita ke mana sekarang?” bisik Keira. Adrian melirik arlojinya sebelum menjawab. “Ada tempat yang aman di pinggiran kota. Aku punya kontak di sana yang bisa membantu kita keluar dari negara ini dengan aman.” Samantha mendesah pelan. “Keluar dari negara ini? Apa itu satu-satunya pilihan kita?” Adrian menatapnya serius. “Victor tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kita harus berada di luar jangkauannya.” Keira menelan ludah. Membayangkan meninggalkan semua yang ia kenal terasa berat, tetapi ia tahu ini bukan tentang dirinya saja. Ini tentang berta
Malam mulai menyelimuti langit saat Keira, Adrian, dan Samantha akhirnya mencapai pinggiran hutan. Napas mereka masih terengah-engah setelah pelarian panjang yang hampir membuat mereka tertangkap.Keira menatap Adrian dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka masih mencari kita.”Adrian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Hutan mulai beralih ke tanah lapang dengan beberapa gudang tua yang tampak terlantar. Ia menunjuk ke salah satu bangunan yang terlihat lebih kokoh. “Kita bersembunyi di sana dulu. Kita butuh tempat untuk menyusun rencana sebelum melanjutkan perjalanan.”Samantha tampak ragu. “Bagaimana kalau tempat itu tidak aman?”Adrian menatapnya tajam. “Saat ini, kita tidak punya pilihan lain.”Mereka bertiga bergerak dengan hati-hati, menyelinap ke dalam gudang tua yang pintunya setengah terbuka. Begitu masuk, mereka mendapati ruangan luas dengan beberapa tumpukan kayu dan alat-alat pertanian berkarat. Bau tanah lembap bercampur debu memenuhi udara.Ke
Malam semakin larut, dan udara dingin mulai merayapi rumah kecil itu. Keira duduk di dekat perapian, tangannya memeluk lutut, mencoba mencari kehangatan. Samantha beristirahat di sofa, sementara Adrian sibuk memeriksa peta digital di ponselnya.Suasana hening, tetapi bukan ketenangan yang nyaman—melainkan ketegangan yang menggantung di udara.Keira mengangkat wajahnya. “Adrian, menurutmu Victor akan menemukan kita secepat itu?”Adrian menghela napas panjang. “Victor bukan orang yang mudah menyerah. Tapi sejauh ini, kita masih memiliki sedikit keunggulan.”Samantha menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, matanya menatap langit-langit. “Masalahnya, kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Kita harus berpikir bagaimana mengakhiri ini.”Keira menatap Samantha. Ia tahu perempuan itu benar. Mereka tidak bisa terus-menerus melarikan diri.“Lalu, apa rencanamu?” tanya Keira akhirnya.Adrian menatap Samantha sejenak sebelum menjawab. “Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita. Tapi k
Mobil melaju kencang di jalan berbatu, meninggalkan villa Victor yang kini sudah jauh di belakang mereka. Di dalam mobil, suasana terasa tegang.Keira duduk di kursi penumpang, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan Samantha yang masih menekan lukanya."Kau yakin baik-baik saja?" tanya Keira dengan nada khawatir.Samantha mengangguk pelan, meskipun wajahnya sedikit pucat. "Ini hanya luka ringan. Aku pernah mengalami yang lebih buruk," jawabnya, berusaha tetap tenang.Adrian tetap fokus pada jalan di depan. Tangannya erat menggenggam setir, memastikan mereka tidak tersesat atau masuk ke dalam perangkap."Kita harus segera menemukan tempat aman untuk bersembunyi," kata Adrian. "Victor pasti sudah menyebar anak buahnya untuk mencari kita."Keira menelan ludah. "Kau ada ide ke mana kita harus pergi?"Adrian terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku punya tempat di luar kota. Rumah kecil yang jarang dipakai. Itu cukup jauh dari sini dan aman."Keira mengangguk, mempercayai pen
Alarm terus berbunyi, memecah keheningan malam di villa Victor. Lampu merah berkedip-kedip di sepanjang koridor, menandakan bahwa mereka telah terdeteksi.Keira merasakan jantungnya berdetak begitu cepat saat ia, Adrian, dan Samantha berlari melewati lorong sempit, berusaha mencari jalan keluar."Ke arah sini!" bisik Samantha, menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong.Adrian menarik Keira, memastikan ia tetap dekat dengannya. "Jangan lepas tanganku," katanya tegas.Keira mengangguk, meskipun ketakutan mulai menyelimutinya.Begitu mereka mencapai pintu itu, Samantha dengan cepat mengeluarkan alat kecil dari sakunya dan mengutak-atik panel kunci elektronik di sebelahnya."Ayo cepat, Sam," bisik Keira, merasa waktu mereka semakin menipis.Langkah kaki para penjaga semakin mendekat. Mereka bisa mendengar suara perintah tegas melalui radio yang dibawa para penjaga.Klik.Pintu terbuka tepat pada waktunya.Mereka bertiga segera masuk dan menutup pintunya kembali dengan cepat. Ruangan y