Hawa dingin yang menyergap Bonita bukan berasal dari hantaran suhu di sekitarnya, tapi dari dalam dirinya sendiri. Hawa dingin menusuk itu muncul dari ketiadaan. Memenuhi rongga-rongga tubuhnya hingga hampir membuatnya beku. Lidahnya mati rasa, pikirannya terhenti, tapi perasaannya bergolak bagai topan di lautan. "Mea akan membuatmu bingung dengan berbagai saran seolah sedang mendukungmu. Siapa yang tahu apa yang sedang dia rencanakan saat bicara denganmu dengan wajah bersinar seperti peri?" tanya Zayna.Bonita menelan ludah yang terasa getir membayangkan bagaimana jika gadis seperti Mea menjadi sahabatnya. Satu-satunya sahabatnya —Velica, selalu mencoba memberi saran terbaik walau Bonita sering kali tidak menghiraukan."Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?" tanya Zayna dengan wajah pucat."Aku hanya akan menyapa dan sedikit berbasa-basi sebagai seorang wanita yang akan menjadi istri dari sahabatnya." Ujar Bonita dengan usaha sangat keras untuk tidak mengeluarkan suara y
"Aku akan pergi. Kamu tidak perlu merasa sungkan jika memang memiliki janji lain." Langkah Benjamin melesat untuk membuka pintu. Dia menggenggam tangan Bonita untuk menahan calon istri yang sudah jauh-jauh datang untuk menemuinya, "Tidak, Boo. Sungguh, aku tidak memiliki janji lain. Ayo, kita keluar untuk membeli makanan.""Maaf aku harus mengecewakanmu, tapi aku baru saja makan.""Bagaimana jika kita kencan saja?"Bonita tersenyum, "Apakah kamu ingin memajukan kencan kita akhir minggu nanti dan menggantinya dengan hari ini?""Bukan mengganti, tapi menggandakan. Kita akan tetap berkencan akhir minggu karena aku memiliki hadiah rahasia yang akan kuberikan padamu nanti.""Kamu baru saja membocorkan rahasia." Ujar Bonita yang sedang menahan diri agar tidak memutar mata."Oh, kamu benar." Gumam Benjamin dengan raut wajah kecewa karena benar-benar lupa."Sudahlah." Ujar Bonita seraya menarik tangan Benjamin menjauh dari kamar. "Kita bisa berjalan-jalan di luar.""Tunggu." Ujar Benjamin ser
Keraguan di mata Benjamin menyakiti Bonita tanpa ampun. Bonita diam untuk menahan semua rasa sakit, walau sangat berharap keraguan di mata calon suaminya itu hanya khayalan. Namun, jauh di lubuk hatinya, Bonita tahu usahanya untuk berharap sia-sia saat mendapati Benjamin diam tanpa ada sedikit pun reaksi yang menandakan sesuatu yang mungkin akan menenangkan hatinya.Bonita melepas tangan Benjamin dan turun dari meja. Dia berusaha tidak menatap Benjamin saat keluar kamar, "Aku akan menunggu di sofa."Tenggorokan Benjamin tercekat. Kata-kata penghiburan yang hampir keluar dari bibirnya hanya menyisakan kesunyian. Saat menyadari keadaan, Bonita sudah di luar jangkauan pandangannya hingga Benjamin terduduk di meja untuk meratapi diri. Tadi pagi, Benjamin sangat yakin semua urusan dengan Mea akan selesai hari itu. Dia ingin mengatakan semua hal yang tertunda selama bertahun-tahun. Dia ingin memilih Bonita dan melanjutkan hidup berdua bersamanya.Rasa gugup karena memiliki janji menemui Mea
Sudah bekali-kali Bonita merasa hampir pingsan saat membuat sketsa desain gaun untuk pelanggan hingga melimpahkan tugas itu pada Kenzo. Kenzo menatapnya curiga walau tetap melakukan perintah dengan sempurna. Hingga tiba saat pelanggan mereka menuruni tangga dengan diantar oleh Helga, Kenzo menatap Bonita dengan tatapan seolah akan sanggup memberikan ceramah dua jam tanpa jeda."Berhenti menatapku seperti itu." Tegur Bonita pelan dengan tangan berusaha membereskan barang-barang di meja hanya agar tubuhnya tetap bergerak."Aku tidak akan ikut campur urusan pribadimu. Aku hanya akan memberi saran sebaiknya kamu pulang dan tidur."Tangan Bonita terhenti. Tatapannya terpaku ke luar jendela. Sudah dua hari dia tidak mampu benar-benar tidur. Memang ada beberapa kesempatan saat dia tertidur sejenak, tapi masih mampu mendengar semua suara di sekitarnya seolah sedang melihat dengan kedua kelopak mata terbuka."Kamu harus bicara pada ayahmu untuk mengambil cuti. Kamu akan menikah minggu depan. Be
Tubuh bergelung selimut di apartemen Velica tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan kecuali gerakan napas yang samar. Velica tahu ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, tapi lebih memilih menunggu sahabatnya itu bercerita sendiri.Bonita sudah berpesan pada Velica untuk tidak membocorkan keberadaannya pada siapapun. Tidak pada Nolan, Jeremy, Melissa, atau Benjamin. Velica terpaksa menyetujui. Velica tahu Bonita akan pulang jika suasana hatinya membaik.Velica sudah sekian kali bertanya apakah Bonita membutuhkan sesuatu —makanan, minuman, mandi, keripik kentang kesukaannya, atau apapun. Namun, Bonita menolak semuanya. Sahabatnya itu hanya meminta ruang di sudut tempat tidur dekat dinding dengan selembar selimut dan itu sudah berselang sepuluh jam yang lalu.Tangan Velica menyusup ke dalam selimut dan menyentuh dahi Bonita untuk memeriksa suhu tubuh karena khawatir sahabatnya itu demam, tapi suhu tubuh sahabatnya normal. Dia berbaring di sebelah Bonita, lalu memeluk tubuh berlapis sel
Wanita dengan rambut ikal disanggul apik duduk seorang diri di tengah ruangan restoran. Pakaiannya yang bernuansa coklat membalut tubuhnya dengan apik, tidak terlalu terbuka walau masih memperlihatkan lekuk tubuh yang akan menarik mata pria. Sesuai dengan kepribadiannya yang ingin menjadi pusat, tapi tidak terlalu menonjolkan keberadaan dirinya sendiri.Dia menunggu kedatangan pria yang membatalkan janji beberapa hari lalu. Irama jantungnya melompat-lompat gembira dengan irama menyenangkan. Suasana restoran bintang lima di hotel ternama itu menguarkan aroma kemenangan hingga menambah kepercayaan dirinya yang sudah terbangun sejak bertahun lalu.Saat pria yang ditunggunya datang, wanita itu mengalihkan wajah ke arah lain seolah sedang sangat tertarik dengan langit-langit restoran yang mewah dengan lampu kristal berkilauan. Namun, saat pria itu sampai di hadapannya, dia tersenyum seolah sudah memperkirakan hasil dari pertemuan hari itu."Kupikir aku yang datang lebih dulu." Ujar pria itu
Bonita menghentikan rekaman pembicaraan yang didapatkan dari pramusaji yang bersedia dia suap, lalu mengaktifkan mode pesawat di ponselnya sebelum memasuki bandara. Dia sudah memutuskan untuk pergi setelah semua kalimat Mea ditelan oleh hati kecilnya yang rapuh. Rekaman itu bahkan belum selesai, tapi dia seolah bisa membayangkan Benjamin juga menelan semua kalimat Mea seperti dirinya.Mea benar. Kebenaran menampar Bonita hingga membuatnya berpikir matang. Bonita sudah merasa ada yang aneh dengan Benjamin yang langsung melamarnya di pertemuan pertama mereka. Mereka hanya bertemu tatap selama sekian detik saat itu, bagaimana bisa Benjamin yakin untuk menikahinya hanya dengan waktu sesingkat itu? Bagaimana jika mereka memang tidak cocok dan baru menyadarinya setelah terlanjur menikah?Pernikahan ayah dan ibunya yang meninggalkan luka dalam di jiwa Bonita membuatnya lebih bertanya-tanya. Bagaimana ayahnya bisa menyetujui permintaan neneknya hanya untuk menghindari ocehan? Bagaimana ayahnya
Perasaan aneh muncul di hati Bonita saat mendengar pria yang dibencinya ternyata sudah tiada. Namun, ada kelegaan dan rasa senang yang ganjil. Dia sangat yakin Jeremy pasti bersorak girang jika mengetahui fakta itu karena harapan agar ibu mereka memetik hasil perbuatannya menjadi kenyataan.Hening menyergap ruangan yang hanya diisi denting peralatan makan. Edith makan dengan raut wajah berubah-ubah; terkadang dingin, sendu, terlihat jauh seolah sedang mengingat sesuatu, dan yang paling Bonita pahami, ibunya itu mungkin merasa asing."Apa yang kamu kerjakan untuk menopang hidup selama ini?" tanya Bonita setelah mencuci peralatan makan.Edith melambaikan tangan sebagai isyarat agar Bonita mengikutinya ke ruang tengah yang memiliki penerangan remang-remang dari lampu baca. Dia duduk di sofa panjang yang mengarah ke perapian kecil —lebih kecil dibanding yang berada di ruang tamu, lalu menawari Bonita sekotak coklat praline yang tergeletak di meja.Langkah Bonita yang awalnya ragu menjadi m
Bermandi peluh dalam kenikmatan yang tidak terelakkan membuat Bonita dan Benjamin lupa segala yang terjadi di luar campervan. Sudah tidak terhitung berapa kali Jeremy mencoba menelepon pengantin baru yang menghilang di acara pernikahannya sendiri. Padahal dia sudah jauh-jauh datang mengitari setengah dunia demi menghadiri acara sakrat adiknya yang selalu bersikap seenaknya."Sudahlah, biarkan mereka berdua. Tidak akan terjadi apa-apa." Ujar Melissa yang mencoba membuat kemarahan Jeremy reda seraya menepuk punggung anak laki-laki mereka yang bernama Julian yang berada di pelukannya. "Bahkan jika terjadi sesuatu, mereka akan menemukan cara menyelesaikannya."Jeremy melirik ke arah Edith yang tersenyum simpul di sudut resort yang disewa sebagai tempat menginap selama menyiapkan acara pernikahan. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan ibunya, perasaan benci yang dulu menggerogoti hatinya perlahan pudar."Edith tidak akan khawatir. Boo sudah membuktikan dirinya pantas berkeliling dunia
Cumbuan dalam dan hangat terjalin di antara sepasang suami istri yang baru saja menikah di altar yang dibangun di area air terjun yang dikelilingi kabut tipis. Keluarga dan sahabat kedua mempelai bersorak riang saat menyaksikan dua sejoli itu akhirnya bersatu dalam cinta setelah perjalanan panjang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dan jarak jauh hingga mengelilingi dunia.Hanya ada belasan orang di tengah dinginnya hawa pegunungan termasuk pengantin. Tempat yang tidak lazim untuk mengadakan pesta pernikahan tentu saja, tapi apapun akan dilakukan agar Bonita dan Benjamin yang sudah lama menjalin hubungan dalam ketidakpastian mampu melangkah ke jenjang pernikahan.Gaun dan jas yang dipakai mempelai pengantin merupakan gaun dan jas yang sudah mereka miliki sejak lama. Dekorasi altar pernikahan dibuat sederhana menggunakan bunga dan tanaman pohon lokal yang berada di sekitar lokasi pernikahan. Velica dan Melissa yang menyiapkannya selama beberapa hari. Sedangkan hidangan hangat yang m
"Hentikan!" Tegur Bonita.Tawa Benjamin menggema di dinding batu. Poin-poin yang dituliskan Bonita sebagian besar masuk akal, walau ada poin yang menurutnya konyol, "Kamu yakin ingin tahu tentang itu? Kamu mungkin akan cemburu.""Aku tidak akan cemburu selama kamu jujur padaku. Aku tidak akan cemburu pada yang hal-hal sudah berlalu.""Baiklah." Ujar Benjamin seraya menggenggam tangan Bonita dan mengajaknya duduk di sofa. Tatapannya terpaku pada wanita yang paling bersinar di matanya itu, "Hanya agar segalanya jelas, apakah ini artinya aku diterima menjadi kekasihmu lagi?""Selama kamu memenuhi semua poin di kertas itu ..., maka: ya."Kecupan yang mendarat di bibir Bonita membuatnya terkejut dan canggung. Dia belum sempat berpikir lebih baik saat Benjamin meraih wajahnya seraya menggeser tubuh lebih dekat pada kekasih hatinya itu. Perlahan, Benjamin memimpin kecupan hingga berubah menjadi cumbuan lembut. Belum terbiasa bercumbu setelah bertahun-tahun berlalu, Bonita berusaha menyamakan
"Itu benar." Ujar Bonita dengan wajah tertunduk. Dia sudah memikirkan hal itu jutaan kali. Keputusan membatalkan pernikahan memang bukan hanya karena Mea. "Aku pergi mencari ibuku di hari seharusnya kita berkencan —di hari kamu bertemu Mea. Ibuku memberitahu semua yang terjadi dengan hubungannya dengan ayahku. Aku memang mencintaimu, tapi ... kupikir mungkin lebih baik jika aku kembali memikirkan apa landasanku jatuh cinta. Aku tidak tahu apakah cintaku padamu murni atau karena aku mencintai ide tentang jatuh cinta seperti yang dulu ibuku rasakan pada Frans."Angan Benjamin yang awalnya melayang, ditebas hingga roboh. Dia sadar harapannya masih ada, tapi alasan Bonita membatalkan pernikahan mereka membuatnya merasa hampa."Jujur saja, aku ragu apakah kamu benar-benar mencintaiku. Mencintai seseorang pada pandangan pertama terasa sangat sulit untuk kupercayai. Saat mengetahui tentang Mea, kupikir kamu hanya mencintaiku karena aku mungkin mirip dengannya.""Kalian sangat berbeda." Jelas
Semua jendela di rumah batu milik keluarga Tristan berteralis hingga membuat Bonita menyerah untuk kabur. Dia sudah mencari setiap sudut rumah yang sekiranya bisa dibuka, tapi tidak ada jalan untuk keluar. Dia sudah meminta tolong pada orang-orang yang lewat melalui jendela, tapi mereka semua mengabaikannya seolah tidak ingin memiliki masalah karena membantu tahanan.Bulan sabit muncul dengan cepat. Bonita memilih bersabar menunggu Tristan esok hari dan akan membuat perhitungan dengan pria itu karena menyekapnya bersama Benjamin walau perkataan Tristan tentang makanan dan kamar benar adanya.Benjamin sudah mandi dan berganti dengan pakaian yang ditemukannya dari dalam lemari. Dia meminta Bonita untuk mandi dan berganti pakaian sementara dia menghangatkan makanan yang ada di dalam kulkas, tapi Bonita terlalu kesal untuk menurut saat melihat semua pakaian wanita di lemari hanyalah gaun tidur seksi.Anting berlian dan gaun putih berenda masih membalut tubuh Bonita yang berbaring di tempat
"Apakah kamu sedang menggunakan metode yang sama seperti saat kamu meminta dekorasi bunga kesukaan Mea untuk tema pernikahan kita?" tanya Bonita dengan tatapan miris.Pertanyaan Bonita membuat tubuh Benjamin membeku. Dia tidak menyangka Bonita menaruh perhatian pada bunga itu hingga masih mengingatnya setelah bertahun-tahun berlalu."Kukira aku sudah menuliskan dengan jelas bahwa aku tidak sudi menjadi pengganti bagi wanita manapun.""Kamu tidak pernah menjadi pengganti wanita manapun, Boo.""Jangan!" Teriak Bonita penuh amarah seraya menunjuk ke wajah Benjamin. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu menyebutku seperti itu!""Baiklah. Akan kukatakan sekali lagi agar kamu mengerti. Kamu tidak pernah menjadi pengganti bagi wanita manapun, Bonita."Ujung jari Bonita terasa seolah terkena aliran listrik saat Benjamin menyebutkan namanya. Dia menurunkan telunjuknya dan menyilangkan lengan di depan dada untuk melindungi diri dari serangan yang mungkin
"Aku tidak memercayai ramalan.""Hidupmu pasti membosankan." Celoteh Tristan dengan langkah menjauh. Dia mengeluarkan ponsel dari saku dan menerima telepon dengan mata bersinar. "Aku akan mengantarnya. Tunggu saja di sana dan siapkan penampilan terbaikmu.""Kamu bekerja untuk teater?" tanya Bonita asal saja karena menganggap penampilan yang Tristan sebutkan ada hubungannya dengan itu.Tristan tertawa seraya mengembalikan ponsel ke saku, "Tidak. Aku memiliki perkebunan buah di daerah barat. Dekat dengan tempat tinggal ibuku.""Wah, aku merasa tersanjung karena mengenal orang penting." Ujar Bonita dengan senyum simpul."Percuma saja karena kamu sudah menolak ajakan kencanku.""Haruskah aku menyesal?" sindir Bonita."Seharusnya ya, tapi tidak. Kamu sudah memiliki kekasih. Aku tidak akan merebut wanita manapun demi kesenangan pribadi."Bonita menatap Tristan lekat, "Aku bisa mengenalkanmu dengan Velica. Dia sahabatku. Dia sudah lama melajang sejak sebelum aku berkeliling dunia. Tertarik un
"Itu kekasihmu?" tanya pria asing itu dengan tatapan tertambat pada foto di samping kemudi campervan Bonita. Ingatan pria itu timbul tenggelam saat mencoba kembali menatap wajah Bonita lebih serius.Bonita tidak menanggapi. Dia tahu foto yang dimaksud pria asing itu merupakan foto Benjamin. Foto itu memang sudah lama tertempel di sana."Lupakan candaanku tentang menjadi kekasihmu. Aku tidak bersungguh-sungguh.""Aku tidak akan menerima ajakan kencanmu walaupun kamu bersungguh-sungguh.""Tenang saja, aku tidak akan menghitung makan siang yang kutawarkan tadi sebagai kencan. Restoran itu berjarak dua jam dari sini, tapi sebaiknya kamu memiliki pakaian yang sedikit pantas untuk makan di tempat yang berkelas."Bonita tersenyum lebar, "Kurasa ini saat yang tepat untuk memakai gaun kesukaanku lagi.""Kamu memiliki gaun?" tanya pria asing itu dengan sudut mata memicing."Tentu saja. Sebetulnya aku mewarisi bridal keluarga. Aku berpakaian seperti ini," ujar Bonita seraya menunjuk kaus dan cela
Minggu, bulan, tahun demi tahun berganti. Keinginan Benjamin untuk menemukan Bonita tidak pernah surut. Dia sudah benar-benar melupakan Mea. Di hatinya hanya ada Bonita. Wanita-wanita lain yang menggodanya selama di perjalanan mencari mantan tunangannya bahkan tidak ada seorang pun yang mampu membuat hatinya berpaling walau hanya seperseribu detik.Satu yang dipelajari Benjamin dari petualangan mencari kekasih hatinya, yaitu dia yakin mereka akan dipertemukan di saat yang lebih tepat. Itu sebabnya dia bersabar dengan apapun yang terjadi di hidupnya. Jika memang harus menempuh dunia ratusan keliling pun, dia sanggup asalkan pada akhirnya dia bisa bertemu dengan Bonita.Namun, Benjamin tidak tahu Bonita menghindari tempat-tempat yang pernah mereka bahas bersama. Bonita lebih memilih pergi ke tempat lain sementara Benjamin mencarinya di tempat-tempat yang dulu pernah menjadi calon destinasi bulan madu mereka. Benjamin menatap kanguru dari kejauhan di Australia, saat Bonita berpesta deng