"Jadi... Yang menemukan HP Ana dan mengupload video Bagas dan Lina itu Arjuna?" gumam Renita. Tangannya gemetar saat meletakkan piring dan mangkok berisi sup ayam di meja ruang tamu. Renita terdiam sejenak dan menunggu Arjuna sampai selesai menelepon. Begitu Arjuna selesai menelepon dan membalikkan badannya, dia tampak terkejut sekali. "Bu.. Bu Renita sudah lama di sini?" tanya Arjuna terkejut. Renita tersenyum dan melambaikan tangannya agar masuk dari teras ke ruang tamu. "Ya, aku cukup lama di sini, sampai aku tahu siapa yang menyebarkan ayahnya Damar dan muridnya. Jadi Arjuna, kenapa kamu menyebarkan video ayahnya Damar?" tanya Renita setelah Arjuna duduk di hadapannya.Arjuna terlihat kebingungan dan sedikit panik. "Sebenernya bukan saya yang menyebar kan atau memposting video pak Bagas, tapi saya hanya menemukan ponsel di jalan raya setelah saya pulang dari rumah Adam dan Idris," ujar Arjuna pelan tapi tegas. Renita mengerutkan keningnya. "Lalu, bagaimana mungkin video itu
Arjuna tertawa. "Bukannya belum, Bu. Saya memang tidak punya adik.""Wah, benarkah?""Iya, ibu meninggal saat saya kelas tiga SMP, lalu papa menikah dengan hm, ibu sambung saya yang mempunyai seorang anak laki-laki yang usianya tiga tahun di atas saya. Jadi saya memang tidak mempunyai adik," ujar Arjuna. Renita manggut - manggut. Dia baru saja akan membuka mulut lagi saat sebuah salam terdengar dari pintu depan yang terbuka. "Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam," sahut Arjuna dan Renita hampir bersamaan. Mereka menoleh serentak ke arah pintu depan dan sama- sama terkejut dengan tamu yang terkejut juga. "Ayah!" seru Damar bahagia. Dia berdiri dan berlari ke pelukan Bagas. "Amar kangen ayah..." celoteh Damar, membuat hati Renita ngilu. 'Duh, maafkan ibu, Nak. Ibu tidak sanggup jika serumah dengan ayah kamu. Semoga nanti saat kamu besar, kamu bisa mengerti alasan ibu,' batin Renita. Bagas berlutut dan mensejajarkan tinggi nya dengan sang Putera semata wayang. "Sama, ayah juga kange
"Datang saja ke pernikahan mantan suami ibu, dengan saya... " ujar Arjuna membuat Renita mendelik. "Hah? Apa?""Ya, datanglah ke pernikahan mantan suami bu Renita dengan saya." Arjuna mengulangi ucapannya. Renita menaikkan alis. Dia menghela napasnya perlahan. 'Dia memang tetanggaku. Tapi seperti nya dia terlalu baik padaku. Apalagi statusku juga janda. Hm, anak sekarang kan suka aneh - aneh. Sebaiknya aku tanya langsung saja dengan maksudnya yang seperti itu padaku,' batin Renita. Perempuan itu lalu menatap Arjuna dengan serius. "Arjuna, terimakasih selama ini kamu beberapa kali membantu saya. Tapi saya juga ingin tahu kenapa kamu berbuat baik pada saya? Apa karena saya tetangga kamu? Atau karena kamu emang baik pada semua orang?" tanya Renita. Arjuna mengerutkan kening nya. "Kenapa bu Renita harus menanyakan hal itu? Memangnya ada masalah kalau saya baik pada bu Renita?" tanya Arjuna balik. "Hm, saya tidak mau ya nanti ada fitnah tidak menyenangkan antara murid dan guru. Sa
"Iya, Bu, seperti itu. Nanti kalau saya sudah ahli, saya ingin menciptakan aplikasi game sendiri dan saya masukkan ke dalam play store," ujar Arjuna bersemangat."Hm, bisa juga, tapi kalau mendaftarkan aplikasi ke play store membutuhkan ratusan juta, Jun. Apa tidak sayang menginvestasikan uang pada game yang baru kamu rancang?" tanya Renita ragu. "Jangan khawatir, Bu. Saya pasti bisa merancang game online yang seru dan bisa dimainkan oleh bermacam gender dan negara. Yang penting sekarang bu Renita ajari dasarnya dulu saja. Perihal modal, saya akan mengajukan proposal pada papa, Bu. Jadi bu Renita tidak usah meragukan cita - cita saya," ujar Arjuna mantap, membuat Renita yang menjadi gurunya merasa bangga, dan tanpa sadar dia mengacak rambut Arjuna. "Wah, sebagai guru, saya suka semangat kamu! Kamu memang pantang menyerah!" ujar Renita. Wajah Arjuna yang memerah, membuat Renita segera menarik tangannya dari atas rambut Arjuna. "Maaf, saya terlalu bersemangat. Sekarang kita lanjut ka
"Ayah! Kok di sini?! Ayo puyang dengan akuuu?! Kenapa nggak pernah puyang ke yumaaahhh?!" seru Damar seraya menangis keras. "Astagfirullah, Damar! Jangan sayang," desis Renita, dia nyaris berlari ke arah pelaminan. High heels lima senti yang dipakai nya selip di anak tangga. Renita hampir terjatuh ke belakang saat Arjuna dengan sigap memegangi badannya. Wajah Arjuna dan Renita berdekatan sesaat dan membuat mereka bertatapan. "Hati - hati, Bu!""Makasih, Jun," desis Renita. Dia segera berdiri kembali dan menuju ke arah Damar yang sedang meronta- ronta karena ditarik pergi oleh neneknya, yaitu ibu Bagas. Orang tua Bagas yang awalnya telah sepakat untuk tidak datang ke acara pernikahan anaknya, akhirnya memutuskan untuk datang ke acara resepsi sang anak. Renita mendekat ke arah ibu Bagas dan mengulurkan tangannya ke arah Damar. Damar yang masih menangis terisak, memeluk Renita. Para tamu yang melihat kejadian itu segera berbisik - bisik, sambil menatap ke arah pelaminan. Renita men
Akhirnya mereka berdua pun melakukan hubungan sepuasnya dan ketiduran karena merasa kelelahan. "Li... na...! Uuuu, uuuu, ken.. cing..." desis nenek Lina. Lina yang biasanya tidur satu kamar tapi beda kasur dengan neneknya, tentu saja tidak mendengar permintaan neneknya yang ingin buang air kecil. Nenek Lina yang sekarang sudah bisa duduk serta menggunakan kursi roda dengan didorong keluarga itu pun beringsut duduk dan berusaha meraih kursi roda yang ada di samping tempat tidurnya. "Liiiinn.. Linaaa!" seru neneknya terbata dengan suara serak. Tangan renta itu hampir berhasil meraih kursi roda, saat kursi roda itu justru tergeser karena rodanya yang lupa dikunci. Akhirnya nenek Lina berusaha untuk bangkit dan berdiri dari kasur untuk meraih kursi rodanya. Berhasil! Tangan nenek Lina berhasil meraih pegangan kursi rodanya. Namun nahas, sebelum berhasil duduk di kursi roda, syaraf kaki renta nenek yang lemah dan tidak singkron dengan perintah ke otak, akhir membuat nenek Lina tersungk
"Om, Om! Lepas kan suami Lina! Maafkan Lina! Sertifikat nya ada di bank! Huhuhu, maafkan Lina!"Wajah paman Lina memerah. "Hah? Apa?!""Iya, Om. Jadi memang aku membawa sertifikat itu ke bank," ulang Lina takut - takut. Paman Lina mendelik. "Kenapa? Kenapa kamu membawa sertifikat rumah nenek, Lin?" tanya pamannya penuh selidik. Paman Lina menatap tajam ke arah Lina dan Bagas secara bergantian. "Pasti guru ini yang mengajari kamu untuk mengambil dan memanfaatkan aset keluarga kita, ya kan?!" tuduh paman Lina seraya mengepalkan tangan kanannya. Bagas menatap dengan agak takut pada paman Lina yang gempal. Dia teringat pada ucapan Lina, beberapa hari sebelum mereka mengadakan resepsi. "Pak, saya tertekan sekali di rumah. Tetangga dan keluarga menatap saya dengan meremehkan. Huhuhu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Lina saat mereka bertemu di warung bakso langganan. Bagas menghela napas panjang. Dia juga bingung dan panik. Tapi dia berusaha untuk menenangkan diri agar Lina tidak
Satu bulan berlalu, Renita baru saja mengunci pintu rumahnya saat terdengar suara sapaan. "Lo Bu, mau kemana malam - malam begini?" tanya Arjuna yang muncul dari pintu gerbang rumah Renita. Di tangan anak lelaki berusia setahun lebih tua dari murid sebayanya itu membawa kantung plastik warna putih. Wangi gurih manis menguar dari dalamnya. "Kami mau ke pasar malam, Jun. Tadi sepulang dari daycare, Damar meminta ke sana malam ini," ujar Renita tersenyum menatap ke arah murid sekaligus tetangganya itu. "Oh, waduh. Padahal saya ingin ngobrolin proyek game yang akan saya masukkan ke aplikasi play store, dan sudah kubawakan martabak telur dan martabak manis dari holland," ujar Arjuna sambil menunjukkan plastik di tangannya. Renita tersenyum. "Wah, nggak usah repot - repot, Jun. Kan jadwal les privatnya besok? Jadi sekalian besok saja ya membahasnya?" tawar Renita. Arjuna mengangguk. Tapi dia tampak kecewa. Anak lelaki itu kesepian dan begitu merindukan almarhum mamanya. Tapi terkada
"Kamu tahu nggak apa persamaan antara cintaku padamu dengan isi kartu ATM ini?" tanya Arjuna dengan senyum dikulum. Renita menggeleng. "Emang apa persamaannya?!" tanya Renita bingung. "Persamaan antara isi kartu ATM ini dengan perasaanku padamu adalah sama - sama unlimited, jadi jangan ragu - ragu kalau kamu ingin beli apapun, Yang," ujar Arjuna sambil meraih tangan Renita dan memberikan black cardnya. Renita melongo. Diraihnya tangan Arjuna dan dikembalikan lagi kartu itu pada si empunya kartu. "Lho kenapa dibalikin, Yang? Kamu nggak butuh duit?" tanya Arjuna heran. Renita tertawa. "Haha, siapa sih di dunia ini yang nggak butuh duit? Tapi nanti saja deh, kalau kita sudah menikah, baru aku mau menerima nafkah dari mu. Kalau sekarang, jangan dulu. Kan kamu juga sudah membantuku untuk mendapatkan pekerjaan," ujar Renita tersenyum. Arjuna pun manggut-manggut. "Ya sudah kalau keinginanmu seperti itu. Hm, ngomong - ngomong soal menikah, aku ingin menikah langsung setelah aku lulus k
Semakin orang gila itu mendekat ke arah Renita, Renita pun terkejut saat melihat siapa sebenarnya perempuan gila yang disoraki oleh anak-anak, karena perempuan gila itu adalah Lina! Renita menahan nafas saat Lina semakin mendekat ke arahnya. Sesaat dia ragu jika perempuan gila yang sedang disoraki oleh anak - anak kecil itu adalah Lina, tapi semakin sosok itu mendekat ke arah Renita, dia pun semakin yakin bahwa perempuan ODGJ itu adalah perempuan yang sama yang telah merebut suaminya. "Lina? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kulit dan pikiran kamu rusak?" desis Renita saat Lina tepat berada di hadapannya. Tanpa diduga Lina berhenti di hadapan Renita sejenak, lalu mereka bertatapan. Dan mendadak Lina tertawa terbahak. "Hahaha! Ada set an! Haaa haaa haa!” seru Lina sambil menunjuk ke wajah Renita. Renita terperanjat dan sama sekali tidak menyangka jika Lina akan menyapanya dengan cara seperti itu. "Arghh! Setan! Setan!" seru Lina sambil merentangkan kedua tangannya dan berusaha menja
"Bagaimana kalau kamu juga bekerja di kantorku? Bu Renita kan juga sarjana komputer? Hitung-hitung membantu aku di perusahaan. Nanti aku tanyakan pada HRD, apa ada posisi kosong yang bisa diisi oleh bu Renita," ujar Arjuna mantap. "Ah tidak perlu. Aku tidak mau kalau mendapatkan pekerjaan dengan cara nepotisme," kata Renita. "Ini bukan nepotisme, ini hanya memberikan posisi pada orang yang membutuhkan. Begini, Bu, misalkan ada posisi di perusahaan yang sedang kosong, apakah lebih baik diberikan pada orang yang tidak kita kenal sama sekali atau kita berikan pekerjaan pada orang yang sudah kita kenal dengan baik dan terpercaya?" tanya Arjuna.Renita hanya manggut - manggut. "Ya, kamu benar. Ya sudah, kalau begitu besok aku akan melamar kerja ke perusahaan papa kamu," ujar Renita. "Sekarang kamu tidur ya, sudah malam,” sambung Renita lagi. "Iya, Bu. Tapi sebelum tidur, sebenarnya saya itu STNK sama gurunya," ujar Arjuna. Kening Renita mengerut. "Hah, apa itu STNK?" "STNK itu Selalu
Renita sedang mencari lowongan pekerjaan melalui media sosial nya saat sebuah pesan whatsapp masuk di ponselnya.Renita tersenyum saat membaca pesan whatsApp itu karena pesan itu dikirim oleh Arjuna.[Aku punya tebakan nih, Yang! Apa perbedaan antara akhir pekan dan cintaku padamu?]Renita dengan cepat membalas pesan Arjuna.[Tidak tahu. Memangnya apa bedanya, Jun?][Kalau akhir pekan itu weekend kalau cintaku padamu will never end]Balasan pesan dari Arjuna membuat Renita tersenyum. [Kamu bisa saja, Juna. Kamu belajar dari mana?][Belajar dari hati dong, Yang! Oh ya, kamu lahir tanggal satu ya?]Renita menjawab, [Enggak, emang kenapa?][Aku kira kamu lahir tanggal 1, karena kamulah satu-satunya tujuan hidupku.]Balasan chat dari Arjuna membuat Renita tertawa lepas.[Aku lahir tanggal 7 bulan depan.]Arjuna membalas dengan senyum terkembang. [Wah pantas saja kamu lahir tanggal 7, karena kamu adalah tujuan dari doa-doaku selama ini 🥰]Bunga - bunga di hati Renita seakan bermekaran.
Renita mengangguk, dia kemudian menggendong Damar dan berjalan menuju ke arah mobil Arjuna. Suasana hening saat mobil melaju. Damar yang semula merengek karena ingin bermain hujan, terdiam setelah Arjuna memberikan roti coklat yang memang sudah disiapkannya untuk calon anak sambungnya itu. "Kenapa kamu diam saja, Bu Ren?" tanya Arjuna melirik ke arah Renita yang sedang menatap kaca jendela yang basah oleh air hujan. "Apa ada hal berat yang sedang bu Nita pikirkan?" lanjut Arjuna lagi. Renita menghela napas panjang. "Aku masih merasa sangat bersalah pada Mas Bagas. Apa aku harus mengatakan pada orang tua Bagas bahwa anak bungsu mereka meninggal karena menyelamatkan aku?" tanya Renita. Arjuna menggeleng. "Menurut saya hal itu tidak perlu. Bukan kamu yang bersalah. Kamu kan tidak minta ditabrak, kamu juga tidak minta untuk diselamatkan oleh Bagas kan, Bu? Jadi tidak usah mengatakan hal yang akan membuat orang tua pak Bagas justru menaruh dendam pada bu Renita," ujar Arjuna panjang leb
Disusul dua batu yang mendarat dengan mulus di kaca belakang. Adi yang ketakutan, membeku di kursi belakang kemudi. Beberapa orang turun dari motor dan menyerbu mobil Adi. "Turun kamu! Atau mati!" teriak mereka murka. Adi menatap pada kerumunan orang yang berkeliling di depan mobilnya. "Ayo keluar dari mobil mu dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu atau aku kami akan memberi pelajaran, biar kamu modyar sekalian!" teriak orang-orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi sangat ketakutan. Tetapi dia tetap tidak mau keluar dari mobil karena khawatir akan diamuk massa. "Woi, budek ya?! Kalau kamu tidak mau keluar, kami akan menghancurkan mobilmu secara paksa dan menghajarmu!" teriak sebagian orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi terdiam di belakang kemudi sehingga membuat jengkel orang - orang yang berkerumun di hadapannya. Dua orang lelaki yang membawa batu besar menghantamkan batunya ke kaca bagian depan mobil sehingga pecah berhamburan, tepat pada saat itu, Adi ditarik o
"Sebagai manusia biasa, aku kecewa pada almarhum papamu, tapi bagaimana pun juga, papamu kan harus mendapatkan keadilan, terlepas apa yang pernah beliau lakukan padaku?!" tanya Renita balik. Arjuna manggut-manggut, lalu tersenyum pada Renita, merasa semakin yakin jika Renita adalah pasangan yang ditakdirkan oleh Tuhan untuknya. ***Malam itu, Adi sedang berada di rumah seorang teman, jauh dari hiruk pikuk rumahnya sendiri. Dia menikmati malam dengan tawa, mencoba melupakan keheningan dingin yang selalu menyelimuti rumah setelah kepergian Bisma, ayah tirinya. Sekaligus ingin mengerjakan tugas kuliahnya secara berkelompok.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan memenuhi ruangan, memberitahunya bahwa sesuatu terjadi di rumahnya."Den Adi, pulanglah sekarang," bunyi pesan dari salah satu asisten rumah tangganya. "Polisi datang menangkap Nyonya Sisi."Seakan tersambar petir, Adi segera meraih jaket dan helmnya. Ia tidak berpikir panjang. Motor melaju cepat melewati jalan gelap menuju rumahnya
Arjuna gemetaran. Ia mundur beberapa langkah dari meja, dadanya sesak. Ternyata selama ini kecurigaannya benar. Ibu tirinya adalah dalang di balik kematian ayahnya.Setelah menarik napas panjang, Arjuna kembali duduk. Dia tidak boleh membiarkan bukti ini hilang. Tangannya gemetar saat ia menyalin rekaman itu ke sebuah flashdisk yang tergeletak di laci meja. Setelah itu, dia juga mengirimkan file rekaman ke ponselnya sebagai cadangan. Namun, dia merasa bukti ini perlu dilindungi dengan lebih baik. Ia teringat pada Renita, sang kekasih hati yang selalu bisa menenangkannya. Arjuna mengirimkan video itu ke nomor Renita. "Renita harus tahu. Dia bisa membantu," gumamnya pelan.Tidak lama setelah mengirim pesan, ponselnya berdering. Nama Renita muncul di layar. Namun, Arjuna tidak ingin membicarakan hal ini melalui telepon. Dia mematikan ponselnya, memastikan ruangan kerja ayahnya kembali seperti semula, lalu bergegas mengambil kunci motor.Udara malam itu dingin menusuk. Angin yang bertiup
Suasana di makam yang mendung, membuat hati Arjuna gerimis. Dia seolah lemas dan tak bertulang saat turun ke galian tanah untuk menerima jasad papanya. Wangi kamboja yang ditiup semilir angin tak mampu meredakan kesedihan dan kecurigaannya atas kematian Bisma. Lagi, air matanya jatuh menetes di pipi. Renita yang datang melayat tanpa mengajak Damar, dengan leluasa memegang bahunya lembut, seolah menularkan kekuatan. Tapi Arjuna hanya terdiam, sebenarnya dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Renita, tapi salah satu sisi hatinya meminta untuk bersandar pada perempuan itu. Arjuna menahan keinginan untuk menangis di bahu Renita, dia tidak ingin membuat Renita khawatir. Setelah pemakaman selesai, suasana di rumah kembali sunyi. Arjuna duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Sisi terlihat masih sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Namun tak lama kemudian, seorang pria berkacamata masuk dan memperkenalkan diri sebagai pengacara almarhum Bisma.“Mohon maaf, saya ingin berbicara denga