Ji Liong berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa berat setelah terjatuh dari ketinggian tadi. Ia melirik ke sekeliling, mencoba memahami tempat asing ini. Permukaan tanah di bawahnya tidak rata, dipenuhi bebatuan kecil yang licin oleh lapisan lumut. Dinding-dinding jurang yang menjulang tinggi terlihat berlapis-lapis, hampir tidak menyisakan celah untuk memanjat keluar. Suara gemuruh air dari kejauhan menambah suasana mencekam.Tiba-tiba, suara dingin dan berat terdengar, memecah keheningan yang melingkupi tempat itu.“Siapa namamu, anak muda? Mengapa bisa kau masuk ke jurang ini?”Ji Liong terkejut. Suara itu terdengar dekat, namun ia tidak melihat siapa pun. Refleks, ia langsung memasang kuda-kuda, mengalirkan tenaga dalam ke tubuhnya untuk berjaga-jaga. Matanya tajam menelusuri setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda kehidupan.Belum sempat ia berbicara, sebuah bayangan gelap melesat ke arahnya. Serangan itu begitu cepat dan tajam, membuat udara di sekitarnya mendesis. Dengan geraka
Ji Liong menatap pria tua berjubah hitam itu dengan sorot mata tajam. Nafasnya masih teratur meski benturan tenaga sebelumnya cukup keras, namun ita tak merasakannya. Ia melangkah maju, tangannya bersatu di depan dada, lalu ia berkata dengan nada merendah, "Cianpwe, mohon maaf jika tindakan saya barusan terlalu kasar. Saya hanya membela diri dari serangan Anda yang begitu mendesak."Pria tua itu mendengus, wajahnya merah padam karena amarah. Ia tidak menjawab, namun energi yang terpancar dari tubuhnya meningkat tajam. Jiwa sinis di matanya kian menyala, menandakan bahwa ia belum puas."Anak muda, kau terlalu congkak! Tenaga saktimu memang mengejutkan, tapi aku belum menunjukkan seluruh kemampuanku!" Pria itu menggeram, lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya ke arah Ji Liong.Gelombang udara di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Ji Liong dengan sigap mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan, menyambut serangan tersebut d
Ji Liong mengikuti langkah Lam Juan, menyusuri jalan setapak yang curam di antara tebing-tebing tinggi. Hawa dingin semakin menusuk, membuat suasana terasa semakin mencekam. Lam Juan berjalan cepat, sesekali menoleh untuk memastikan Ji Liong mengikutinya.Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon dan batu besar. Lam Juan berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum berkata, "Masuklah, Ketua. Di sini kita akan lebih aman." Ji Liong melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap. Namun, begitu ia memasuki bagian yang lebih dalam, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Di sudut gua, seorang pria tua berpakaian putih duduk bersila. Pakaian pria itu compang-camping, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, namun matanya masih menyiratkan semangat yang tidak padam."Ketua, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Anda," ujar Lam Juan dengan nada hormat. Ia membungkuk sedikit ke arah pria tua itu
Di ujung negeri, terdapat sebuah desa yang ramai bernama Desa Hongye, atau Desa Daun Merah, sebuah desa yang terkenal dengan para pedagang serta peziarah yang sering datang untuk berdoa di kuil kuno. Suasana pagi itu cerah, sinar matahari menyinari setiap sudut desa, sementara penduduk bersiap dengan kegiatan sehari-hari mereka.Tak jauh dari desa itu terdapat sebuah gunung terpencil yang tersembunyi di antara kabut tebal, sepasang remaja, Ji Liong dan Hu Ling Lian berdiri di tengah hutan pinus yang sunyi. Pepohonan menjulang tinggi seakan menjadi saksi dari latihan mereka. Langit sore berwarna jingga kemerahan, memberikan suasana damai yang menipu.Hu Ling Lian, mengenakan pakaian latihan berwarna hijau zamrud, tengah duduk bersila dengan konsentrasi penuh. Kedua tangannya terangkat, perlahan mengatur aliran napas dan tenaga dalam. Udara di sekitarnya bergetar samar, tanda bahwa ia sedang melatih Sin Kang ilmu warisan keluarga Hu yang terkenal sebagai salah satu ilmu langka di dunia p
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandang
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan-
Ji Liong mengikuti langkah Lam Juan, menyusuri jalan setapak yang curam di antara tebing-tebing tinggi. Hawa dingin semakin menusuk, membuat suasana terasa semakin mencekam. Lam Juan berjalan cepat, sesekali menoleh untuk memastikan Ji Liong mengikutinya.Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon dan batu besar. Lam Juan berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum berkata, "Masuklah, Ketua. Di sini kita akan lebih aman." Ji Liong melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap. Namun, begitu ia memasuki bagian yang lebih dalam, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Di sudut gua, seorang pria tua berpakaian putih duduk bersila. Pakaian pria itu compang-camping, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, namun matanya masih menyiratkan semangat yang tidak padam."Ketua, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Anda," ujar Lam Juan dengan nada hormat. Ia membungkuk sedikit ke arah pria tua itu
Ji Liong menatap pria tua berjubah hitam itu dengan sorot mata tajam. Nafasnya masih teratur meski benturan tenaga sebelumnya cukup keras, namun ita tak merasakannya. Ia melangkah maju, tangannya bersatu di depan dada, lalu ia berkata dengan nada merendah, "Cianpwe, mohon maaf jika tindakan saya barusan terlalu kasar. Saya hanya membela diri dari serangan Anda yang begitu mendesak."Pria tua itu mendengus, wajahnya merah padam karena amarah. Ia tidak menjawab, namun energi yang terpancar dari tubuhnya meningkat tajam. Jiwa sinis di matanya kian menyala, menandakan bahwa ia belum puas."Anak muda, kau terlalu congkak! Tenaga saktimu memang mengejutkan, tapi aku belum menunjukkan seluruh kemampuanku!" Pria itu menggeram, lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya ke arah Ji Liong.Gelombang udara di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Ji Liong dengan sigap mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan, menyambut serangan tersebut d
Ji Liong berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa berat setelah terjatuh dari ketinggian tadi. Ia melirik ke sekeliling, mencoba memahami tempat asing ini. Permukaan tanah di bawahnya tidak rata, dipenuhi bebatuan kecil yang licin oleh lapisan lumut. Dinding-dinding jurang yang menjulang tinggi terlihat berlapis-lapis, hampir tidak menyisakan celah untuk memanjat keluar. Suara gemuruh air dari kejauhan menambah suasana mencekam.Tiba-tiba, suara dingin dan berat terdengar, memecah keheningan yang melingkupi tempat itu.“Siapa namamu, anak muda? Mengapa bisa kau masuk ke jurang ini?”Ji Liong terkejut. Suara itu terdengar dekat, namun ia tidak melihat siapa pun. Refleks, ia langsung memasang kuda-kuda, mengalirkan tenaga dalam ke tubuhnya untuk berjaga-jaga. Matanya tajam menelusuri setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda kehidupan.Belum sempat ia berbicara, sebuah bayangan gelap melesat ke arahnya. Serangan itu begitu cepat dan tajam, membuat udara di sekitarnya mendesis. Dengan geraka
Kegelapan di dalam gua semakin mencekam, seolah-olah ingin menelan siapa saja yang berani memasukinya. Udara terasa berat, lembab, dan penuh dengan aroma batuan basah. Suara langkah kaki menggema di lorong yang sempit, menciptakan irama yang menggetarkan hati. Ji Liong berdiri tegak, tubuhnya memancarkan kewaspadaan. Ia tahu bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Li Yan, pria dengan reputasi mengerikan, telah membantai banyak pendekar hebat, termasuk tokoh-tokoh utama dari Hoa San Pai.“Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup, Ji Liong,” suara Li Yan menggema di antara bebatuan. Pria itu berdiri di kejauhan, tubuhnya hanya tampak sebagai bayangan samar oleh pantulan cahaya obor yang mulai redup. Nada bicaranya penuh keyakinan, seolah-olah kematian Ji Liong sudah pasti terjadi.Ji Liong tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tajam mengawasi gerakan lawannya. “Orang licik sepertimu tidak pantas untuk menyentuh sedikitpun bagian tubuhku, apalagi hendak membunuhku,” katanya dengan nad
Pagi di lembah berbatu itu terasa dingin. Kabut tipis masih melayang di antara celah-celah batu, menyelimuti tempat Ji Liong dan Mei Lin beristirahat. Ji Liong membuka matanya perlahan, mendapati Mei Lin sudah bangun dan duduk di dekat api unggun yang hampir padam. Wajahnya tampak serius, seolah memikirkan sesuatu yang berat.“Kau sudah bangun?” tanya Mei Lin dengan suara lembut. Tatapannya menunjukkan keramahan yang sulit dicurigai.“Ya,” jawab Ji Liong singkat sambil bangkit dan meregangkan tubuhnya. Matanya tetap tajam mengamati sekeliling. Ia tahu, meskipun tempat ini terlihat tenang, bahaya selalu mengintai di dunia persilatan.Mei Lin berdiri dan menyerahkan sepotong roti kering kepada Ji Liong. “Aku menemukannya di tas yang kutinggalkan kemarin. Ini mungkin tak seberapa, tapi setidaknya bisa memberi sedikit tenaga untuk perjalanan kita.”Ji Liong menerima roti itu dengan anggukan. Ia tidak berkata banyak, pikirannya masih tertuju pada misinya. Mei Lin, di sisi lain, tampak menc
Ji Liong berdiri kokoh di tengah lembah berbatu. Di hadapannya, Dewa Beruang Hitam, mengerahkan seluruh kekuatannya. Wajahnya yang dipenuhi bekas luka mencerminkan amarah dan keputusasaan. Pertarungan ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi Ji Liong tampak tetap tenang, sementara tubuhnya bersinar samar, mencerminkan Sin Kang dahsyat yang mengalir dalam dirinya.Dewa Beruang Hitam meraung dengan suara yang menggema di seluruh lembah. Ia melompat dengan gerakan yang cepat dan brutal, meskipun tubuhnya besar. Cakarnya yang besar dan tajam mengarah ke Ji Liong, seolah ingin merobek tubuh pemuda itu menjadi serpihan. Namun, Ji Liong dengan cekatan melompat ke udara, melampaui jangkauan lawannya. Saat berada di atas, ia mengerahkan Butong Sin Kang menghadapi serangan mematikan itu.Tangan kanan Ji Liong bergerak cepat membentuk formasi aneh, seolah-olah menari di udara. Dari telapak tangannya, muncul angin kuat yang mematikan. Angin itu menyapu lembah, mengguncang tanah dan memecahkan bat
"Apa kalian pikir aku datang sejauh ini hanya untuk membersihkan bukti kejahatan? Dengarkan aku baik-baik. Aku adalah Ji Liong dari Kim Kiam Pai. Aku tidak punya urusan dengan Hoa San Pai sebelumnya, dan aku bahkan tidak mengenal orang-orang yang kau sebutkan."Suasana menjadi hening. Kedua murid itu bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka berkata kepada lelaki tua itu, "Guru Agung, mungkin kita harus mendengarkan apa yang ingin dikatakannya. Jika dia benar-benar pembunuh, mengapa dia repot-repot mengubur mayat-mayat itu?"Lelaki tua itu masih tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk lemah. "Baiklah, aku akan mendengarkan. Tapi jika kau berdusta, aku sendiri yang akan menghabisimu!"Ji Liong mengangguk. "Itu lebih adil. Meskipun, jangankan menghabisiku, menyentuh rambutku saja kau tak akan mampu!”Guru Agung dari Hoa San Pai itu hanya mendengus. Ia sadar apa yang dikatakan Ji Liong itu tidak salah. Ia bahkan sudah mengerahkan semua kemampuannya, sementara pemuda yang menjadi l
Ji Liong mendaki lereng gunung Hoa San dengan hati berat. Pemandangan di sekitarnya benar-benar mengerikan. Aroma kematian menyengat di udara, disertai oleh suara angin yang menderu seperti rintihan jiwa-jiwa yang tak tenang. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan setapak menuju puncak. Beberapa mengenakan pakaian khas Hoa San Pai, menunjukkan bahwa mereka adalah murid-murid perguruan tersebut, sedangkan yang lain tampak seperti para penyusup atau penyerang.“Siapa yang tega melakukan semua ini?” gumam Ji Liong dengan suara rendah. Matanya menyapu sekitar, mencari tanda-tanda kehidupan, namun yang ia temukan hanyalah kesunyian yang mencekam.Tak ingin keadaan ini menjadi sumber penyakit bagi lingkungan sekitar, Ji Liong mengambil cangkul yang tergeletak di dekat pondok tua dan mulai menggali lubang di tanah yang keras. Setiap gundukan tanah yang ia gali terasa seperti beban moral yang ia angkat sedikit demi sedikit.Setelah beberapa jam bekerja keras, ia berhasil mengubur sebagian besar
“Mo Zai Hong…,” ucap Wu Jing Yu lirih.Kemunculan Mo Zai Hong, si Iblis Petaka Merah, benar-benar mengejutkan Wu Jing Yu. Seluruh dunia persilatan mengenal nama besar gembong iblis itu sebagai salah satu tokoh nomor satu dari aliran hitam. Sosoknya, dengan jubah merah yang tampak seperti api berkobar, memancarkan aura mengerikan. Wajah Mo Zai Hong, yang dihiasi garis-garis tegas dan mata setajam elang, menatap Wu Jing Yu dengan intensitas yang memaku langkah siapa pun.Yang lebih mengejutkan Wu Jing Yu adalah ketika Mo Zai Hong perlahan berlutut dan memberi penghormatan kepadanya. Tindakan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa ada sedikit pun kesan pura-pura. Angin dingin Gobi berembus kencang, tapi suasana di pelataran itu terasa panas membara oleh kehadiran tokoh aliran hitam yang ditakuti ini.“Wu Jing Yu, aku menghormatimu karena kau adalah ayah dari Tuan Muda Wu Kiang,” ujar Mo Zai Hong dengan suara berat yang bergema. “Aku datang bukan untuk bertarung, melainkan menyampaika