***
Aku melangkah keluar untuk segera makan malam. Sedari pulang kantor tadi aku tidak melihat keberada'an Dara. Mungkin dia terlalu sibuk mengurus pekerja'an rumah.
Langkahku sudah semakin dekat menuju meja makan. Terlihat ada Mami dan Papi yang sudah duduk di sana. Aku pun segera menghampiri mereka.
"Hay, Mi!" sapaku basa-basi.
"Hmmm ..." Mami hanya berdehem pelan.
"Riko berhasil mendapatkan kontrak kerja sama dengan Mr. Jone, Mi!" ucap Papi dengan bangga.
"Oh, baguslah!" sahut Mami terlihat jutek.
Aku tau kenapa Mami bersikap demikian. Pasti Mami masih marah karna aku sudah mempermalukannya di depan sahabat kebangga'an Mami itu.
Aku pun tidak bersuara lagi, hingga makan malamku selesai.
Aku ingin menginap di apartemen malam ini. Sudah berapa hari, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke sana.
"Pak Tarjo! Antarkan saya ke apartemen," perintahku seperti biasa.
"Siap, Tuan muda." Pak Tarjo dengan s
*** Aku melihat Dara sangat cemas. Siapa yang jatuh dari tangga? Langkah Dara tergesa-gesa menuju sebuah kamar milik Mami dan Papi. Aku yang belum menerima jawaban yang jelas darinya, turut menuju ke sana. Sampai di dalam kamar, aku melihat Papi terbaring lemah, dan Mami sedang menangis. Sementara Si Mbok dan Dara mencoba memberikan segelas air putih. "Apa yang terjadi pada Papi?" tanyaku cemas. "Papi jatuh dari tangga, Rik!" jawab Mami dengan Isak tangisnya. "Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" Aku menaikan nada bicaraku. "Mami sudah meminta Dokter Hans untuk segera memeriksa ke sini," papar Mami. Tidak lama kemudian, Dokter Hans yang merupakan dokter langganan keluarga ini pun datang. "Dok, syukurlah anda sudah datang! Tolong periksa dengan baik kondisi Papi saya," perintahku dengan penuh kecemasan. "Baik, Tuan muda!" sahutnya sembari mendekat ke arah Papi. Dokter Hans, mulai memeriksa Papi. Aku
***POV Mery (Mami Riko)Hari ini keadaan Rudy sudah membaik. Kecelakaan yang ku buat kemarin, tidak mengakibatkan luka serius pada dirinya.Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar mencintai Rudy Pratama Suningrat ini. Namun, karena kurangnya ekonomi aku terpaksa harus menerima cintanya, walau pada saat itu aku sudah memiliki kekasih.Ketika Rudy yang terkenal sangat kaya raya itu datang meminangku, kedua orang tuaku langsung menyetujuinya. Mereka memang tidak merestui aku menjalin hubungan dengan Kevin.Alasan kedua orang tuaku menolak Kevin, tak lain karena Kevin hanya seorang pegawai bisa. Jika dibandingkan dengan Rudy, tentu saja Kevin tidak ada nilainya.Sehari sebelum pernikahanku dengan Rudy, aku mencoba menemui Kevin dan menjelaskan semuanya. Aku berkata akan tetap mencintai dirinya saja. Kevin pun memaksa dirinya sendiri untuk bisa menerima keputusanku.Setelah aku sudah sah menjadi istri dari pengusaha kaya ray
***POV Dara: Aku merasa tidak tenang menyembunyikan kebenaran ini. Tetapi aku juga tidak berdaya mengungkapkannya.Ketika aku sedang menyapu halaman, aku melihat, Nyonya Mery datang. Entah dari mana Nyonya itu. Akhir-akhir ini sering pergi sendirian tanpa diantarkan supir."Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" tanya-nya sambil melototiku.Aku hanya langsung menunduk tanpa menjawab ucapannya.Kemudian ia pun berlalu. Aku kembali menyapu halaman hingga bersih.Setelah pekerjaanku selesai. Aku kembali masuk ke dalam.Aku menuju kamarku, dan merebahkan diri yang terasa lelah. Aku hendak memejamkan mata sebentar saja. Kemudian, bayangan Nyonya Mery yang ingin mencelakakan Tuan besar, kembali terlintas.Keringat dingin keluar membasahi wajahku. Aku tidak bisa menyembunyikan kebenaran ini. Aku harus mengatakannya pada Tuan muda.Cukup lama aku terdiam di kamar, sambil memperhatikan jam. Berharap waktu cepat berlalu, ag
POV Dara:Aku telah berada di dalam kamarku. Tuan muda menatapku dengan tajam. Aku menjadi salah tingkah dibuatnya."Apa kamu benar-benar demam?" tanya-nya sembari ingin menyentuh keningku.Aku menepis cepat tangan Tuan muda itu."Ti-tidak! Saya hanya kelelahan," ucapku gugup.Sebenarnya aku ingin memberitahui semua kejadian itu pada, Tuan muda. Namun, rasanya bibirku kelu. Berat sekali mengatakannya."Gadis aneh!" celanya sembari melangkah keluar.Aku hanya terdiam, lagi-lagi aku gagal mengatakan pada Tuan muda.Hari semakin gelap. Aku keluar kamar, untuk menyiapkan makan malam. Setelah semua hidangan tersedia, kini semua keluarga Tuan muda berkumpul di meja makan.Nyonya Mery menatap tajam ke arahku. Sementara Tuan besar, kembali mengajak aku makan bersama."Dara! Sini, makan bareng," ajak Tuan besar dengan tulus.Aku merasa gugup. Namun, kali ini aku menuruti perkataannya. Perlahan aku menarik kurs
***POV Riko: Hari ini, Oma akan datang. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Namun, aku harus tetap ke kantor terlebih dahulu. Seperti biasa aku duduk di meja makan untuk sarapan. Mami tak terlihat pagi ini. Mungkin Mami masih marah. Kini aku sarapan dengan Papi dan Dara saja. Sebagai calon istri bohonganku, Dara diharuskan ikut sarapan serta makan malam bareng kami. Papi menyetujui apa pun keputusanku, beda dengan Mami. Bagi Mami kehidupanku harus memalui campur tangannya. Aku selama ini selalu menurut saja. Namun, untuk perihal jodoh, aku tidak bisa menurutinya. Aku yang memang tidak mendambakan pernikahan, mana mungkin tertarik dengan perjodohan konyol itu. Apa lagi calonnya wanita seperti Grecia. Bagiku Grecia terlalu pasaran. Mudah saja aku temukan di mana-mana. Setelah selesai sarapan. Aku langsung bergegas ke kantor. Dara tersenyum manis pagi ini. Aku fikir gadis itu sudah tidak terlalu meresahkan lagi.
***POV Riko: Aku bergegas pulang ketika mendapat kabar bahwa Papi tidak sadarkan diri."Grecia, kamu handle semuanya! Saya akan pulang sekarang," perintahku sembari bergegas berlalu.Grecia hanya tercengang tanpa sempat berkata-kata. Aku sungguh tidak memperdulikannya.Aku meminta Pak Tarjo melajukan mobil dengan cepat. Hingga aku sampai di depan rumah sakit.Aku masuk dengan berlari, tak perduli orang-orang memandangku.Terlihat, Oma sedang duduk bersama Dara di ruang tunggu. Wajah keduanya tampak begitu cemas."Oma! Bagaimana keadaan Papi?" tanyaku sangat panik."Dokter sedang memeriksa kembali keadaannya."Oma tampak begitu sedih."Dara! Katakan apa yang terjadi di rumah?" tanyaku serius."Saya tidak tau. Tadi saya mendengar ada suara ledakan yang sangat kerasa di arah kamar Tuan besar, lalu saya dan Ibu bergegas melihat ke sana. Tiba-tiba Tuan besar sudah tergelatak di lantai," paparnya
***Aku sampai di rumah sakit, dengan langkah yang lemah. Aku sangat menyayangi Papi. Bagiku diri ini adalah cerminan dirinya.Walau wajahku tidak mirip dengan Papi, namun, tubuh serta kepintaranku menurun darinya.Selama ini Papi selalu mendukung langkahku. Bahkan aku lebih cocok bertukar pendapat dengan Papi ketimbang dengan Mami."Oma, sebaiknya makan dulu. Tadi Pak Tarjo membelikan makanan ini, dan kamu juga Dara!" ujarku sembari memberikan dua kotak nasi.Oma hanya menggeleng, begitu pun Dara. Dua wanita di hadapanku ini terlihat sangat sedih. Dara yang bukan siapa-siapa pun merasa sangat berduka, lalu kenapa Mami bisa tidak perduli. Lebih tepatnya tidak mengetahui tentang kondisi, Papi ini."Mana Mery?" tanya Oma datar."Belum kembali, Oma."Oma menyunggingkan bibir dan berdehem pelan. Sepertinya Oma sangat marah kali ini."Oma makan saja dulu. Nanti, Oma bisa sakit jika tidak mau makan," ucap Dara dengan men
***POV Riko: Aku duduk termenung bersama Oma. Papi sudah dinyatakan koma. Sungguh rongga dadaku semakin sesak menerima keadaan ini.Ketika aku dan Oma, tengah larut dalam fikiran masing-masing, terlihat Mami datang dengan wajah yang cemas."Riko, bagaimana keadaan, Papi?" tanya Mami panik.Aku diam, enggan menjawab pertanyaan itu."Riko! Kenapa kamu diam saja?" Mami kini berteriak padaku.Aku masih coba menahan amarahku yang sedari tadi memenuhi jiwa."Ibu, ada apa ini? tanya-nya pula pada Oma."Apa perdulimu? Kemana saja kau seharian hingga malam begini baru datang." Oma berkata dengan sinis."Ibu, maafkan saya, tadi saya pergi keluar untuk membeli sesuatu, tetapi mobil mogok dan saya menunggu lama untuk memperbaikinya," papar Mami mencoba menjelaskan.Menurutku itu sungguh bukan sebuah alasan yang masuk akal."Oya? Lalu kenapa handphone, Mami tidak bisa dihubungi?" tanyaku menatap tajam ke arah bola mata
***Semalaman aku tak bisa tidur. Rasa bersalahku menghampiri.Kutatap lagi ke arah Dara yang sudah terlelap dalam pelukanku. Seketika sesal di dalam diri muncul.Saat ini istriku sedang mengandung, tapi aku malah mengkhianatinya. Air mata jatuh dengan begitu saja.***Entah kapan aku tertidur, saat aku membuka mata, ternyata hari sudah terang."Sayang, kenapa tidak membangunkan, Mas? Bukankah Mas sudah telat ke kantor," ucapku pada Dara yang terlihat mulai segar kembali."Ke kantor? Mas lupa kalau hari ini adalah hari Minggu?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku memang lupa."Eh, he-he ... iya, Mas tak ingat.""Mentang-mentang ada Asisten baru, jadi mau ke kantor terus deh," goda Dara dengan nada bercanda.Aku langsung salah tingkah. Bagaimana jika Dara tahu, tentang kejadian kemarin?Bagaimana jika Puja meminta tanggung jawab karena aku telah mengambil mahkotanya?Ar
***Hari berikutnya, aku berangkat lagi ke kantor. Sedangkan Dara masih tak bisa ke mana-mana. Kehamilannya membuat ia sulit bangun. Maklum saja, karena ini adalah kehamilan pertama.Sampai di kantor, aku bertemu Puja lagi tentunya. Sosok Puja sangat membuat Dara cemburu. Padahal mereka belum pernah bertemu.Dan aku, entah kenapa ada perasaan gugup ketika berhadapan dengan Puja."Selamat pagi, Tuan muda." Puja menyapa."Pagi," sahutku singkat.Cepat-cepat aku melangkah ke dalam ruangan. Tak mau aku berlama-lama berada di dekat Puja.Hatiku berdebar, jiwa kejantananku bergetar. Aku memang suka bermain-main dengan wanita dulu.Akan tetapi itu dulu, sebelum aku memutuskan jatuh cinta pada Dara.Saat ini, aku merasakan gejolak itu lagi. Ingin rasanya aku menikmati permainanan yang dulu pernah aku gemari.Oh, Puja ....Kenapa lekuk tubuhnya tampak begitu menggoda. Aku tak boleh terus berpikir b
***Aku bergegas menuju arah pulang. Namun, sebelum itu aku singgah ke sebuah toko perhiasan.Kupilih dua kalung berbentuk hati."Berapa harga kalung ini?" tanyaku pada penjual berlian itu."Setengah M saja Tuan muda," ucapnya."Saya mau dua."Setelah selesai menggesekkan kartu ajaibku, kini aku pulang.Aku menyebut tabungan di setiap kartu ATM maupun kartu credit ini sebagai kartu ajaib.Mobilku melaju dengan cepat. Ada rasa bahagia yang tak bisa aku ucapkan dengan kata-kata saat ini.Sampai di depan halaman, aku melihat sosok laki-laki bergegas pergi ketika melihat mobilku menuju ke sana.Berjubah sangat panjang orang itu. Aku jadi penasaran. Bahkan aku sangat takut jika hal buruk sedang seseorang rencanakan.Kupercepat langkahku turun dari mobil. Akhir-akhir ini aku memang sering menyetir sendiri. Karena Pak Tarjo sudah aku perintahkan untuk mengawasi keadaan di rumah."Oma, aku
***Aku mendapat kabar dari Pak Tarjo bahwa istriku diculik. Detik itu juga aku langsung menghubungi polisi.Saat kami tiba di tempat penyekapan Dara, aku sangat terkejut menyaksikan Mami lagi yang melakukan tindak kejahatan itu. Namun, Mami tak sendiri kali ini. Ada Grecia yang menjadi rekan kerjanya.Aku sangat kesal. Emosiku sudah tak tertahan. Polisi pun melepaskan tembakan. Kini Mami dan Grecia sedang dalam perawatan medis. Setelah keduanya sadar nanti, maka aku akan tetap menjebloskan dalam penjara."Sayang, istirahatlah! Biar Mas saja yang ke rumah sakit melihat kondisi Mami dan Grecia," ujarku mengantar Dara ke dalam kamar.Dara mengangguk. Ia masih terlihat syok. Oma, dan mertuaku menemaninya.Kini aku berangkat dengan Pak Tarjo.Dua puluh menit berlalu ....Aku pun sampai di rumah sakit yang tak jauh dari penjara itu."Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku." Pasien bernama Greci
***POV Dara.Aku berangkat ke kantor sendirian. Mas Riko pergi mencari pelaku kejahatan itu.Aku diantar Pak Tarjo. Namun, di jalan tiba-tiba ada yang menghadang mobil kami."Siapa itu, Pak?" tanyaku bingung."Saya juga tidak tahu, Non."Pak Tarjo turun, sedangkan aku tetap menunggu di dalam mobil.Bugh!Bugh!Dua pukulan mendarat di wajah Pak Tarjo. Aku jadi ketakutan. Sebenarnya siapa mereka?Pak Tarjo tersungkur lemah, kini dua pria berbadan kekar itu membuka pintu mobilku secara paksa."Ikut kami!" perintahnya menarik tanganku."Tidak! Lepaskan saya!" Aku mencoba berontak.Mereka terlalu kuat, aku tak mampu melawan. Kini aku dibawa paksa menggunakan mobilnya.Pak Tarjo hanya meringis sambil berteriak mencaci para penjahat ini.Kini aku sudah berada di dalam mobil mereka."Mau apa kalian? Lepaskan saya!" hardikku."Diamlah! Kau akan bertemu
***Seminggu berlalu, keadaan mertuaku mulai membaik. Namun, ia kehilangan suaranya.Menurut dokter ada yang meminumkan sesuatu padanya hingga mengakibatkan kehilangan suara.Tubuh mertuaku juga masih lemah. Tidak bisa dimintai keterangan saat ini.Sedangkan polisi sudah menemukan jejak pelaku. Robekkan baju itu, benar-benar milik Mbok Inem. Akan tetapi Mbok Inem hanya menjalankan tugas. Ada seseorang yang mengendalikannya.Aku sampai di kantor polisi sendirian. Mbok Inem sudah ditangkap."Pelaku masih tidak ingin mengatakan siapa yang menyuruhnya," ujar polisi."Izinkan saya bicara pada Mbok Inem, Pak!""Baiklah."Kini Mbok Inem sedang dibawa menuju ke hadapanku."Tu-tuan muda," lirihnya menunduk."Mbok, katakan yang sebenarnya! Siapa yang menyuruh si Mbok melakukan perbuatan tercela itu?" Aku menatap serius."Maafkan si Mbok, Tuan muda. Mbok terpaksa karena diancam.""Apapu
***Dara histeris ketika mendapati sang Ibu sudah tergeletak bersimbah darah."Bu, bangun!" teriak Dara sambil mengguncang tubuh sang Ibu.Aku terdiam tak berdaya. Apa yang telah terjadi di keluargaku?"Ayo kita bawa ke rumah sakit," ujarku.Ibu mertuaku itu masih bernafas, aku harap kami tidak terlambat sampai di rumah sakit.Setelah menempuh kurang lebih tiga puluh menit. Kini aku dan Dara sampai di depan rumah sakit.Ibu langsung ditangani oleh ahlinya. Aku dan Dara saling menguatkan tanpa banyak bicara.Seketika aku teringat pada Oma. Jangan sampai ada yang berniat buruk juga terhadapnya.Aku mencoba menelepon dan memberitahunya."Halo, Oma.""Iya, sayang. Ada apa?""Mertuaku tadi tergelak bersimbah darah di rumah. Sekarang kami semua sudah berada di rumah sakit.""Apa?!"Oma terdengar sangat terjejut."Iya, Oma. Aku sangat khawatir dengan kondisi Oma yang tinggal s
***Pagi tiba, aku dan Dara bangun bersamaan. Istri cantikku ini tersenyum sangat manis di pagi hari."Selamat pagi istriku," sapaku mesra."Pagi juga, Tuan muda.""Tuan muda? Ganti ah, gak seru," godaku."Ganti apa ya?" Dara berpikir sambil memutar matanya ke atas."Panggil Mas aja, nanti kalau kita sudah punya Anak, baru deh panggil Ayah," ujarku.Dara mengangguk setuju. Setelah puas bercanda di pagi hari. Kini kami mandi bersama. Malam pertama yang tertunda, terlaksana di pagi harinya.***Setelah selesai, aku dan Dara memakai baju untuk keluar bersarapan.Oma sudah menunggu di meja makan. Wajah Oma cerah, tampak sangat bahagia."Selamat pagi, Oma." Aku menyapa."Pagi juga Cucu tampan, Oma."Aku sangat tersanjung, Oma masih menyayangiku. Tak ada perubahan di dirinya.Ibu mertuaku sudah datang menyiapkan makanan."Darmi, ayo duduk di sini! Mulai hari ini kamu tidak pe
***Cukup lama Oma pergi, kini ia telah kembali. Aku menghampiri Oma yang tengah beristirahat di ruang tengah."Oma dari mana?" tanyaku sedikit canggung."Ada urusan. Oya, Rik. Kapan kamu akan menikahi Dara?""Belum kepikiran Oma. Apa lagi sekarang masalah yang kita hadapi sangat berat.""Sudah, lupakan saja! Sekarang fokus pada hubungan kalian! Masalah Mamimu biar Oma yang mengurusnya," ujar Oma.Aku menatap Oma cukup lama. Aku bukan Cucu kandungnya. Apakah kasih sayang Oma terhadapku akan pudar."Oma tahu apa yang sekarang sedang kamu pikirkan. Jangan khawatir, Oma tetap menyayangimu, tidak ada yang berubah."Mendengar ucapan Oma itu, aku langsung memeluk Oma dengan erat."Terima kasih, Oma. Aku sungguh malu menerima kenyataan ini. Jika bisa memilih, maka aku akan lebih memilih untuk tidak dilahirkan saja," paparku yang semakin sedih."Jangan berkata seperti itu! Kamu tetaplah