***
POV Riko: Aku duduk termenung bersama Oma. Papi sudah dinyatakan koma. Sungguh rongga dadaku semakin sesak menerima keadaan ini.
Ketika aku dan Oma, tengah larut dalam fikiran masing-masing, terlihat Mami datang dengan wajah yang cemas.
"Riko, bagaimana keadaan, Papi?" tanya Mami panik.
Aku diam, enggan menjawab pertanyaan itu.
"Riko! Kenapa kamu diam saja?" Mami kini berteriak padaku.
Aku masih coba menahan amarahku yang sedari tadi memenuhi jiwa.
"Ibu, ada apa ini? tanya-nya pula pada Oma.
"Apa perdulimu? Kemana saja kau seharian hingga malam begini baru datang." Oma berkata dengan sinis.
"Ibu, maafkan saya, tadi saya pergi keluar untuk membeli sesuatu, tetapi mobil mogok dan saya menunggu lama untuk memperbaikinya," papar Mami mencoba menjelaskan.
Menurutku itu sungguh bukan sebuah alasan yang masuk akal.
"Oya? Lalu kenapa handphone, Mami tidak bisa dihubungi?" tanyaku menatap tajam ke arah bola mata
***Waktu berjalan dengan begitu cepat, kini Papi dialihkan dengan perawatan di rumah, agar kami lebih bisa menjaganya.Semua alat kesehatan yang terbaik dipesan oleh Oma."Jangan ada yang menyentuh Rudy, kecuali saya sendiri! Di rumah ini tidak ada yang bisa dipercaya mengurus anak saya lagi," papar Oma dengan sorot mata yang masih sangat terpukul."Jangan bicara begitu, Bu. Saya akan mengurus Papi Riko dengan baik." Protes Mami yang merasa tersindir."Saya bilang tidak ya, tidak!"Oma melangkah menuju kamar, Papi. Aku memaklumi sikap Oma tersebut, karena Papi adalah satu-satunya putra Oma, dan pewaris seluruh kekayaan yang Oma miliki.Aku tidak menginginkan apa pun kecuali kesembuhan Papi.Di teras lantai atas, aku kembali merenungi semua yang telah terjadi. Mencoba mencari tahu jejak si pembuat masalah, lewat barang bukti itu.Namun, kemana aku mencarinya?Si pemilik sandal, tentunya sudah menghilangkan jejak.
***Hari ini, Oma memintaku untuk menyerahkan diary itu. Dengap gugup aku memberikannya."Ini, Oma ...." ucapku menyodorkan diary."Bagus! Sekarang kerjakan tugasmu, seperti mana mestinya! Oma akan membacanya nanti." Perintah Oma."Baik, Oma."Hari ini kan hari minggu, tugas apa yang harus aku kerjakan.Saat aku melangkah keluar, tiba-tiba aku melihat Mami sedang berdiri di halaman samping rumah.Mami sedang bicara dengan seseorang lewat telepon, aku mencoba mencari tahu."Baik,Mas!"Hanya kalimat itu yang tertangkap oleh pendengaranku."Siapa yang dipanggil Mas oleh Mami itu?" batinku.Aku masih memperhatikan gerak-gerik Mami dari sudut tembok, tak lama kemudian Dara lewat, Mami dengan sigap menangkap tangan Dara.Aku semakin penasaran, kini posisiku sedikit maju ke depan, agar dapat mendengar pembicaraan mereka."Heh, pembantu! Jangan pernah merasa puas dengan keputusan Anak saya yang
***Setelah mendapat informasi dari Dara, aku pun segera meminta Pak Tarjo untuk menjemput kembali.Selang berapa saat, Pak Tarjo sudah datang. Aku dan Dara bergegas masuk ke dalam mobil.Suasana hening, aku bukan tidak mempercayai Dara, hanya saja hatiku tidak bisa menerima kenyataan ini.Kenapa harus Mami yang ingin mencelakakan Papi?Rasanya sangat tidak masuk akal, tetapi Dara adalah gadis yang jujur, aku dapat melihat dari balik matanya ketika sedang bicara."Tuan muda, kita sudah sampai," ucap Dara menyadarkan lamunanku.Tak berkata-kata, aku langsung turun.Terlihat Oma sedang duduk di ruang tengah, sepertinya ia sedang menungguku."Riko, mari sini!" Perintahnya.Aku pun mendekat, "iya Oma.""Oma sudah membaca catatan diary kamu hari pertama," papar Oma."Lalu Oma?" Aku tidak mengerti untuk apa membahas ini."Di situ, kamu menulis bahwa Mamimu sedang memarahi Dara karena menuduhny
***"Enggak kok, Oma. Aku masih mencari tahu tentang semua yang terjadi ini. Sekarang Oma istirahat ya, besok kita bicarakan lagi," ucapku menutupi kecemasan.Oma menatapku cukup lama, kemudian menurut dan beristirahat.Sementara aku tidak bisa tidur dengan tenang. Sekarang Papi masih tak sadarkan diri.Aku juga takut jika benar Mami yang berniat melenyapkan Papi, maka pastinya Mami akan mencari cara lain lagi untuk menuntaskan rencananya.Aku tidak boleh lengah, setiap gerak-gerik Mami harus aku pantau.Selama aku berada di kantor mungkin Dara bisa membantuku mengawasi langkah Mami di rumah.Ya, gadis itu sekarang bagai Dewi pelindung bagi keluargaku.Hatiku terasa tenang saat mengingatnya. Apa mungkin aku jatuh cinta pada Dara?Ah, tidak masuk akal.***Setelah pagi menyapa, aku bergegas untuk segera mempersiapkan diri sebelum berangkat ke kantor."Riko, sarapan dulu!" Perintah Mami.Aku m
***Aku melangkah ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Oma sedang bersama Dara membahas diary-nya.Aku ingin memulai menyelidiki kasus Papi. Sore ini Mami tak terlihat di rumah, ke mana dia pergi?Bukankah aku sudah memerintahkan Dara untuk mengawasi Mami?Aku ingin bertanya padanya, tapi sekarang Dara masih bersama Oma.Sebaiknya aku periksa di kamar tamu yang Mami tempati.Dengan cepat aku melangkah, pintu kamarnya tidak terkunci.Mami tidak ada di dalam, dengan rasa curiga yang sudah membara, aku mencoba masuk ke dalam untuk mencari sesuatu.Aku melihat ada rak kosmetik Mami yang tergeletak di meja rias. Entah apa yang menarik hingga aku berniat memeriksanya.Aku membuka rak itu, terlihat banyak alat kecantikan perempuan. Mami memang suka berdandan. Namun, aku menemukan sesuatu yang lain di dalamnya.Yaitu, sebuah petasan. Jika diperhatikan bentuknya mirip dengan yang kemarin Dara temukan di halam
***Hari ini aku sendiri yang akan mengintai gerak-gerik Mami. Jika hanya mengandalkan Dara, itu sangat berbahaya.Mami bisa saja melukai siapa pun yang mencoba menghalangi tujuannya."Rik, sarapan sini!" Perintah Oma.Aku menurut."Kenapa berangkatnya agak telat hari ini?" tanya Mami mencoba terlihat tenang."Bosan lihat satu orang penjilat di kantor," sindirku."Siapa yang kamu maksud?" Mami melotot marah padaku."Ah, Mami pasti tahu, kan orangnya sangat dekat sama Mami," sindirku lagi.Oma menahan tawanya melihat ekspresi Mami yang sudah seperti orang kebakaran jenggot."Keterlaluan kamu! Cia yang maksud kan? Asal kamu tahu ya, Rik. Cia jauh lebih baik dari pada perempuan kampung pilihanmu itu!" Teriak Mami yang sudah tidak bisa menahan emosi."Turunkan nada suaramu itu! Masih pagi sudah teriak-teriak di rumah," ujar Oma. "Oya, Rik. Kamu sudah ada pilihan?" Oma bertanya pa
***Aku melajukan mobilku ke kantor. Hari ini aku datang siang karena memang sengaja ingin mengintai ke mana perginya Mami.Sesampainya di kantor, Grecia menghampiriku dan bertanya, "Tuan muda kenapa baru datang? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Aku melenggang dengan santai tanpa menjawab pertanyaannya. Namun, wanita satu ini tidak menyerah begitu saja, ia mengejar langkahku hingga ke dalam ruangan."Kenapa Tuan muda bersikap seperti ini pada saya? Apa karena perjodohan waktu itu? Jika benar, bukankah saya juga tidak memaksa! Saya sudah melupakannya."Aku terdiam, mungkin yang dikatakan Grecia ada benarnya juga. Grecia tidak pernah membahas perjodohan itu padaku, hanya Mami saja yang masih bersikeras memaksa kehendaknya.Jika difikir-fikir, aku memang sudah keterlaluan pada Grecia."Baiklah, saya minta maaf. Sekarang saya lagi banyak masalah, mohon jangan diganggu!" Aku berkata dengan lembut.Grecia mengangguk dan segera ke
***Hari berlalu, perasaanku makin bertumbuh dengan subur pada Dara.Siang ini aku beristirahat sambil menyantap makan siang di Restoran dekat dari kantor.Kemudian alat sadapku terdengar Mami sedang bicara dengan laki-laki."Sabar sayang! Setelah usaha kita berhasil, maka kita akan bersatu lagi," ujar Mami.Pembicaraan itu terdengar jelas melalui alat yang aku pasang kemarin.Laki-laki yang tengah bicara dengan Mami hanya berdehem menanggapi ucapan Mami itu.Aku semakin kesal, ternyata Mami berselingkuh di belakang Papi.Keterlaluan! Diusia yang sudah tak muda lagi, Mami masih bisa bermain api.Aku akan mencari tahu siapa laki-laki tersebut. Setelah mendapatkannya aku pasti akan menghajarnya habis-habisan.Selera makanku menjadi hilang, aku bergegas balik ke kantor.Grecia menyapaku lagi, "Tuan muda.""Iya," sahutku cuek."Sudah selesai makan siangnya?""Sudah, saya s
***Semalaman aku tak bisa tidur. Rasa bersalahku menghampiri.Kutatap lagi ke arah Dara yang sudah terlelap dalam pelukanku. Seketika sesal di dalam diri muncul.Saat ini istriku sedang mengandung, tapi aku malah mengkhianatinya. Air mata jatuh dengan begitu saja.***Entah kapan aku tertidur, saat aku membuka mata, ternyata hari sudah terang."Sayang, kenapa tidak membangunkan, Mas? Bukankah Mas sudah telat ke kantor," ucapku pada Dara yang terlihat mulai segar kembali."Ke kantor? Mas lupa kalau hari ini adalah hari Minggu?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku memang lupa."Eh, he-he ... iya, Mas tak ingat.""Mentang-mentang ada Asisten baru, jadi mau ke kantor terus deh," goda Dara dengan nada bercanda.Aku langsung salah tingkah. Bagaimana jika Dara tahu, tentang kejadian kemarin?Bagaimana jika Puja meminta tanggung jawab karena aku telah mengambil mahkotanya?Ar
***Hari berikutnya, aku berangkat lagi ke kantor. Sedangkan Dara masih tak bisa ke mana-mana. Kehamilannya membuat ia sulit bangun. Maklum saja, karena ini adalah kehamilan pertama.Sampai di kantor, aku bertemu Puja lagi tentunya. Sosok Puja sangat membuat Dara cemburu. Padahal mereka belum pernah bertemu.Dan aku, entah kenapa ada perasaan gugup ketika berhadapan dengan Puja."Selamat pagi, Tuan muda." Puja menyapa."Pagi," sahutku singkat.Cepat-cepat aku melangkah ke dalam ruangan. Tak mau aku berlama-lama berada di dekat Puja.Hatiku berdebar, jiwa kejantananku bergetar. Aku memang suka bermain-main dengan wanita dulu.Akan tetapi itu dulu, sebelum aku memutuskan jatuh cinta pada Dara.Saat ini, aku merasakan gejolak itu lagi. Ingin rasanya aku menikmati permainanan yang dulu pernah aku gemari.Oh, Puja ....Kenapa lekuk tubuhnya tampak begitu menggoda. Aku tak boleh terus berpikir b
***Aku bergegas menuju arah pulang. Namun, sebelum itu aku singgah ke sebuah toko perhiasan.Kupilih dua kalung berbentuk hati."Berapa harga kalung ini?" tanyaku pada penjual berlian itu."Setengah M saja Tuan muda," ucapnya."Saya mau dua."Setelah selesai menggesekkan kartu ajaibku, kini aku pulang.Aku menyebut tabungan di setiap kartu ATM maupun kartu credit ini sebagai kartu ajaib.Mobilku melaju dengan cepat. Ada rasa bahagia yang tak bisa aku ucapkan dengan kata-kata saat ini.Sampai di depan halaman, aku melihat sosok laki-laki bergegas pergi ketika melihat mobilku menuju ke sana.Berjubah sangat panjang orang itu. Aku jadi penasaran. Bahkan aku sangat takut jika hal buruk sedang seseorang rencanakan.Kupercepat langkahku turun dari mobil. Akhir-akhir ini aku memang sering menyetir sendiri. Karena Pak Tarjo sudah aku perintahkan untuk mengawasi keadaan di rumah."Oma, aku
***Aku mendapat kabar dari Pak Tarjo bahwa istriku diculik. Detik itu juga aku langsung menghubungi polisi.Saat kami tiba di tempat penyekapan Dara, aku sangat terkejut menyaksikan Mami lagi yang melakukan tindak kejahatan itu. Namun, Mami tak sendiri kali ini. Ada Grecia yang menjadi rekan kerjanya.Aku sangat kesal. Emosiku sudah tak tertahan. Polisi pun melepaskan tembakan. Kini Mami dan Grecia sedang dalam perawatan medis. Setelah keduanya sadar nanti, maka aku akan tetap menjebloskan dalam penjara."Sayang, istirahatlah! Biar Mas saja yang ke rumah sakit melihat kondisi Mami dan Grecia," ujarku mengantar Dara ke dalam kamar.Dara mengangguk. Ia masih terlihat syok. Oma, dan mertuaku menemaninya.Kini aku berangkat dengan Pak Tarjo.Dua puluh menit berlalu ....Aku pun sampai di rumah sakit yang tak jauh dari penjara itu."Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku." Pasien bernama Greci
***POV Dara.Aku berangkat ke kantor sendirian. Mas Riko pergi mencari pelaku kejahatan itu.Aku diantar Pak Tarjo. Namun, di jalan tiba-tiba ada yang menghadang mobil kami."Siapa itu, Pak?" tanyaku bingung."Saya juga tidak tahu, Non."Pak Tarjo turun, sedangkan aku tetap menunggu di dalam mobil.Bugh!Bugh!Dua pukulan mendarat di wajah Pak Tarjo. Aku jadi ketakutan. Sebenarnya siapa mereka?Pak Tarjo tersungkur lemah, kini dua pria berbadan kekar itu membuka pintu mobilku secara paksa."Ikut kami!" perintahnya menarik tanganku."Tidak! Lepaskan saya!" Aku mencoba berontak.Mereka terlalu kuat, aku tak mampu melawan. Kini aku dibawa paksa menggunakan mobilnya.Pak Tarjo hanya meringis sambil berteriak mencaci para penjahat ini.Kini aku sudah berada di dalam mobil mereka."Mau apa kalian? Lepaskan saya!" hardikku."Diamlah! Kau akan bertemu
***Seminggu berlalu, keadaan mertuaku mulai membaik. Namun, ia kehilangan suaranya.Menurut dokter ada yang meminumkan sesuatu padanya hingga mengakibatkan kehilangan suara.Tubuh mertuaku juga masih lemah. Tidak bisa dimintai keterangan saat ini.Sedangkan polisi sudah menemukan jejak pelaku. Robekkan baju itu, benar-benar milik Mbok Inem. Akan tetapi Mbok Inem hanya menjalankan tugas. Ada seseorang yang mengendalikannya.Aku sampai di kantor polisi sendirian. Mbok Inem sudah ditangkap."Pelaku masih tidak ingin mengatakan siapa yang menyuruhnya," ujar polisi."Izinkan saya bicara pada Mbok Inem, Pak!""Baiklah."Kini Mbok Inem sedang dibawa menuju ke hadapanku."Tu-tuan muda," lirihnya menunduk."Mbok, katakan yang sebenarnya! Siapa yang menyuruh si Mbok melakukan perbuatan tercela itu?" Aku menatap serius."Maafkan si Mbok, Tuan muda. Mbok terpaksa karena diancam.""Apapu
***Dara histeris ketika mendapati sang Ibu sudah tergeletak bersimbah darah."Bu, bangun!" teriak Dara sambil mengguncang tubuh sang Ibu.Aku terdiam tak berdaya. Apa yang telah terjadi di keluargaku?"Ayo kita bawa ke rumah sakit," ujarku.Ibu mertuaku itu masih bernafas, aku harap kami tidak terlambat sampai di rumah sakit.Setelah menempuh kurang lebih tiga puluh menit. Kini aku dan Dara sampai di depan rumah sakit.Ibu langsung ditangani oleh ahlinya. Aku dan Dara saling menguatkan tanpa banyak bicara.Seketika aku teringat pada Oma. Jangan sampai ada yang berniat buruk juga terhadapnya.Aku mencoba menelepon dan memberitahunya."Halo, Oma.""Iya, sayang. Ada apa?""Mertuaku tadi tergelak bersimbah darah di rumah. Sekarang kami semua sudah berada di rumah sakit.""Apa?!"Oma terdengar sangat terjejut."Iya, Oma. Aku sangat khawatir dengan kondisi Oma yang tinggal s
***Pagi tiba, aku dan Dara bangun bersamaan. Istri cantikku ini tersenyum sangat manis di pagi hari."Selamat pagi istriku," sapaku mesra."Pagi juga, Tuan muda.""Tuan muda? Ganti ah, gak seru," godaku."Ganti apa ya?" Dara berpikir sambil memutar matanya ke atas."Panggil Mas aja, nanti kalau kita sudah punya Anak, baru deh panggil Ayah," ujarku.Dara mengangguk setuju. Setelah puas bercanda di pagi hari. Kini kami mandi bersama. Malam pertama yang tertunda, terlaksana di pagi harinya.***Setelah selesai, aku dan Dara memakai baju untuk keluar bersarapan.Oma sudah menunggu di meja makan. Wajah Oma cerah, tampak sangat bahagia."Selamat pagi, Oma." Aku menyapa."Pagi juga Cucu tampan, Oma."Aku sangat tersanjung, Oma masih menyayangiku. Tak ada perubahan di dirinya.Ibu mertuaku sudah datang menyiapkan makanan."Darmi, ayo duduk di sini! Mulai hari ini kamu tidak pe
***Cukup lama Oma pergi, kini ia telah kembali. Aku menghampiri Oma yang tengah beristirahat di ruang tengah."Oma dari mana?" tanyaku sedikit canggung."Ada urusan. Oya, Rik. Kapan kamu akan menikahi Dara?""Belum kepikiran Oma. Apa lagi sekarang masalah yang kita hadapi sangat berat.""Sudah, lupakan saja! Sekarang fokus pada hubungan kalian! Masalah Mamimu biar Oma yang mengurusnya," ujar Oma.Aku menatap Oma cukup lama. Aku bukan Cucu kandungnya. Apakah kasih sayang Oma terhadapku akan pudar."Oma tahu apa yang sekarang sedang kamu pikirkan. Jangan khawatir, Oma tetap menyayangimu, tidak ada yang berubah."Mendengar ucapan Oma itu, aku langsung memeluk Oma dengan erat."Terima kasih, Oma. Aku sungguh malu menerima kenyataan ini. Jika bisa memilih, maka aku akan lebih memilih untuk tidak dilahirkan saja," paparku yang semakin sedih."Jangan berkata seperti itu! Kamu tetaplah