Baru saja supir tersebut memutar balik mobilnya untuk kembali ke rumah mertuaku.
Tiba-tiba adik iparku, Dewi, datang menggunakan motor dan menghentikan laju mobil yang aku naiki. "Mbak." Dewi mengetuk jendela mobil di mana aku duduk. Suaranya terdengar agak tergesa-gesa, namun wajahnya terlihat santai. Segera aku menurunkan kaca mobil tersebut, sedikit bingung dengan kedatangannya. "Mbak, ini handphone Mbak tertinggal," ujar Dewi sambil menyodorkan handphone milikku, yang baru saja ingin aku ambil. Tanpa ragu, aku langsung mengambil handphone tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada Dewi, karena aku tidak harus kembali ke rumah mertua, yang akan memakan waktu untuk aku segera pulang. "Terima kasih, Wi, baru saja aku mau ngambil handphone itu." Dewi selalu tahu kebiasaanku yang seringkali lupa membawa barang penting, bahkan sesuatu yang sepele seperti handphone. "Mbak kebiasaan suka lupa," katanya sambil tersenyum. Dewi memang sudah sangat mengenalku, padahal umurku baru dua puluh enam tahun, namun kadang-kadang aku merasa seperti lebih tua karena kebiasaanku yang sering ceroboh. "Kamu bisa saja," balasku sambil tertawa kecil. Kami memang sering saling bercanda, dan itu yang membuat hubungan kami semakin dekat, meskipun kami tinggal di kota yang berbeda. Kami hampir setiap hari berkirim pesan, saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. "Oh ya, Mbak, jangan lupa kalau sudah sampai rumah kabarin, takut nanti nyasar," Dewi menambahkan sambil melirik jam di tangannya. Aku tahu dia khawatir, meski dengan gaya bercandanya. Itu adalah salah satu hal yang membuatku nyaman berada di dekatnya. "Bisa saja kamu," kataku menimpali dengan senyuman. Dewi memang dikenal suka bercanda, dan dia selalu tahu bagaimana membuat suasana menjadi lebih ringan. "Udah ya Mbak, aku balik dulu. Mau menyiapkan acara untuk nanti malam." Namun, aku belum siap untuk berpisah begitu saja, apalagi ada sesuatu yang masih mengganjal di benakku, tentang perempuan yang tadi turun dari dalam mobil dan menyalami mas Deri. "Sebentar, Wi," pintaku, sedikit menghalangi Dewi kembali "Iya Mbak, masih ada yang tertinggal?" Dewi bertanya dengan nada sedikit bingung. "Tidak," jawabku singkat. "Terus?" "Aku mau tanya." Aku melanjutkan, sambil mengingat seorang perempuan turun dari mobil dan menyalami Mas Deri. Mereka begitu akrab dan berjalan bersama menuju rumah mertuaku. "Tanya apa, Mbak?" "Aku tadi melihat ada perempuan yang menyalami Mas Deri, lalu mereka berjalan bersama menuju rumah, itu siapa?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu. Aku tak bisa menahan rasa penasaran yang muncul begitu saja. Dewi terdiam sejenak, seolah berpikir, sebelum akhirnya menjawab. "Mbak lihat?" tanya Dewi, seolah tidak percaya bahwa aku melihat kejadian itu. Aku kemudian mengangguk. "Ya, aku lihat," jawabku. "Lihat dimana Mbak?" "Lihat dari dalam mobil, meskipun jauh. Memang siapa perempuan itu, masih saudara?" tanyaku lagi, tak sabar ingin tahu lebih banyak. "Iya Mbak, saudara dari keluarga papa," jawab Dewi singkat, sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepalaku, merasa lega mendengar penjelasannya, namun ada sesuatu yang masih mengganjal di pikiranku. Masih ada hal yang membuatku merasa kurang nyaman. Aku kembali memanggil Dewi yang ingin kembali. "Aku balik dulu ya, Mbak," Dewi berkata, namun aku masih merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan. "Nanti dulu, Wi," kataku dengan suara lebih serius. Sepertinya aku harus menanyakan pada Dewi, tentang pertanyaan dan juga ucapan ibu-ibu tadi yang membahas tentang Mas Deri, terlebih lagi Lili sudah tertidur di pangkuanku. "Kenapa Mbak?" "Wi, tadi ada ibu-ibu yang tanya padaku, aku istri Deri yang keberapa. Aku bingung dong, padahal aku satu-satunya istri Mas Deri." Aku menceritakan kejadian tadi dengan detail, tentang bagaimana ibu-ibu itu bertanya dengan penuh penasaran. Aku merasa aneh, karena setahuku, aku adalah satu-satunya istri Mas Deri. Dewi yang mendengarkan ceritaku sepertinya terkejut. Dia langsung terdiam beberapa saat, lalu berkata. "Mbak, maaf." Aku langsung menautkan keningku, terkejut mendengar kata "maaf" dari Dewi yang terdengar agak tabu. Tidak biasanya dia meminta maaf tanpa alasan yang jelas. Bersambung......."Maaf, untuk apa kamu minta maaf padaku Wi?" tanyaku, menimpali ucapan Dewi yang terasa tabu bagiku.Bukannya menjawab pertanyaanku, Dewi malah mengukir senyum, senyum yang membuatku semakin bingung dan curiga. "Tidak ada apa-apa, Mbak, tadi aku lupa mau ngomong apa," jawabnya dengan nada yang terdengar tidak terlalu meyakinkan. Kalimatnya seakan-akan berusaha menghindari pertanyaan yang kutanyakan, namun aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.Melihat tingkah adik iparku yang agak aneh, aku hanya bisa menggelengkan kepala. "Kamu ini, Wi, jangan main-main ya," ujarku sambil tersenyum kecil. Namun dalam hati, aku merasa ada yang janggal, ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku tidak ingin terlalu banyak bertanya karena rasanya Dewi sedang tidak ingin membicarakannya."Oh ya, Mbak, soal cerita Mbak tadi. Jangan diambil pusing, abaikan saja. Mungkin orang itu tidak tahu kalau Mbak istri dari Mas Deri," kata Dewi, mencoba memberi nasihat yang terdengar bijaksana. Aku terdiam seje
Pesan dari nomor yang tidak aku kenal, datang dengan begitu tiba-tiba dan begitu jelas. Ada nama Mas Deri, suamiku, yang disebutkan di dalam pesan itu. Aku tak tahu harus percaya atau tidak, tetapi rasa takut menyelusup begitu dalam, menghantui setiap sudut pikiranku.Apakah ini mungkin? Apa mungkin Mas Deri, suamiku yang sangat aku percayai, ternyata menyimpan rahasia besar seperti ini? Tidak ada tanda-tanda sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pernikahan kami. Mas Deri adalah suami yang baik, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi bagaimana mungkin aku baru mendengar kabar ini, bahkan dari orang yang tidak aku kenal.Aku memungut handphone yang tergeletak di lantai, dengan tangan yang masih gemetar. Untung saja handphone milikku baik-baik saja, meskipun ada beberapa goresan di beberapa sudut.Aku membuka pesan tersebut lagi, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Namun, nomor yang mengirimkan pesan itu masih tidak aku dikenal. Tidak ada informasi lebih lanjut te
'Apakah kamu percaya dengan omongan orang-orang itu?' pertanyaan Mas Deri dari balik sambungan telepon menanggapi pertanyaan yang aku tanyakan padanya tadi, membuat aku terdiam. Suara di ujung sana terdengar penuh kekhawatiran, mencoba menelusuri apa yang sedang mengganggu pikiranku. 'Kamu sudah tidak percaya lagi padaku, Diana?'Aku membuka mulut, ingin menjelaskan apa yang sebenarnya ada di benakku, tetapi kata-kata itu terasa begitu berat untuk dikeluarkan. "Bukan begitu Mas, tapi—" Aku berhenti, merasakan ketegangan yang semakin mengisi ruang telepon kami.Mas Deri melanjutkan kata-katanya, seakan memahami keraguanku, namun nada suaranya lebih tegas. 'Jangan percaya ucapan orang-orang mengenai aku, Diana. Kamu tahu banyak orang yang tidak suka padaku, karena keberhasilanku. Mungkin mereka sedang ingin mengusik rumah tangga kita.'Aku terdiam mendengar perkataan pria yang aku cintai, memikirkan setiap kata yang diucapkannya. Mas Deri bukan orang sembarangan. Usahanya di bidang k
Aku mencoba untuk menenangkan diri, berusaha meyakini kata-kata Mas Deri semalam. Jika banyak orang yang ingin mengusik rumah tangga kami.Tapi kali ini, perasaan khawatirku lebih kuat. Sebuah foto yang dikirim oleh nomor tidak dikenal menunjukkan Mas Deri bersama seorang perempuan lain, dan entah kenapa, foto itu terasa begitu nyata. Aku mencoba untuk berpikir positif, mungkin foto itu hanya editan. Di zaman sekarang, dengan teknologi yang semakin canggih, segala sesuatu bisa diubah, termasuk foto.Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang, dan memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut. Ponselku bergetar di tangan, jantungku berdegup kencang. Aku menekan tombol panggil, namun telepon itu tidak diangkat. Aku mencoba sekali lagi, namun hasilnya tetap sama. Pemilik nomor itu sepertinya tidak ingin berbicara denganku. Rasa penasaran yang semakin membuncah membuatku memutuskan untuk mengirim pesan.[Kamu siapa? Dan ya, jangan pernah mengusik rumah tanggaku dengan Mas De
"Mama, aku mau mimi cucu." suara Lili mengalihkanku pada suara perempuan yang baru saja menghubungi handphone Mas Deri.Aku bangkit dari dudukku. "Baiklah sayang, kamu sudah mengantuk?" "Iya Ma." jawab Lili sambil mengusap kedua matanya, karena memang ini sudah pukul sembilan malam, dan saatnya Lili tidur."Oke, mama bikin susu, kamu ke kamar dulu ya." pintaku.Dan Lili langsung mengikuti perintahku tanpa banyak drama seperti biasanya, membuat aku segera pergi ke dapur dan membuat susu.Setelah memastikan Lili tidur, aku keluar dari dalam kamar untuk bicara pada Mas Deri tentang suara perempuan yang tadi menghubungi handphonenya."Lili sudah tidur?" tanya Mas Deri ketika aku sudah berjalan mendekat."Sudah Mas." jawabku, lalu duduk di samping Mas Deri yang sedang mendengar ceramah dari handphonenya.Sesuatu yang aku banggakan dari Mas Deri, yang begitu taat kepada agamanya."Bagaimana keadaan ibu?" tanya Mas Deri, yang langsung menunjukkan perhatian ketika mengetahui ibu yang sedang
Aku pergi ke Jakarta seorang diri, tanpa membawa Lili yang aku titipkan pada kakakku. Kakakku sangat dekat dengan Lili, terlebih lagi dia juga memiliki putri yang seumuran dengan Lili, membuat hubungan mereka sangat akrab.Kakakku juga sosok yang sangat perhatian, dan aku yakin dia akan menjaga Lili dengan baik dan Aku merasa lebih tenang meninggalkan putriku di rumah.Aku ke Jakarta memilih menggunakan mobil travel. Karena aku merasa Mobil travel lebih nyaman dan praktis, karena langsung mengantarkan aku ke tempat tujuan tanpa harus repot pindah angkutan umum. Jujur, jika aku harus menggunakan angkutan umum, aku tidak tahu harus turun di mana, karena selama ini jika ke Jakarta untuk liburan, aku selalu pergi bersama Mas Deri."Maaf ya, Mbak, aku jemput penumpang lain, jadi kita muter-muter dulu." ucap supir travel tersebut, memberikan penjelasan yang wajar, karena biasanya mobil travel memang mengangkut lebih dari satu penumpang, jadi aku tahu akan ada yang naik nanti selain aku."
Aku terus menangis, dan bayangan tentang Mas Deri yang memiliki perempuan lain terus berputar di otakku. Setiap kali aku memikirkan foto-foto yang di kirim nomor tidak aku kenal tempo hari, hatiku semakin terasa teriris. Seakan bayangannya semakin jelas, dan semakin nyata.Aku bertanya-tanya, apakah semua ini benar? Apakah mungkin Mas Deri yang selama ini aku cintai, ternyata memiliki perempuan lain? Semua pertanyaan itu berputar tanpa henti di benakku, sementara air mataku tak bisa berhenti jatuh."Astagfirullah Mas, tega sekali kamu padaku, jika benar kamu memiliki perempuan lain," ucapku dengan perasaan yang hancur. Aku merasa seolah-olah dunia ini tiba-tiba runtuh di sekitarku. Kenapa aku harus menghadapi kenyataan ini? Kenapa harus aku yang terjebak dalam kebohongan dan rahasia yang tidak aku ketahui?Meskipun aku belum tahu apakah benar Mas Deri memiliki perempuan lain, tapi bayang-bayang foto-foto yang dikirimkan oleh nomor tidak dikenal itu terus menghantuiku. Setiap kali
Rehan terus mengendarai motornya dengan hati-hati, mengikuti mobil Mas Deri seperti yang aku perintahkan. Aku merasa tidak bisa tenang. Pikiranku berputar-putar, teringat pesan misterius yang aku terima beberapa waktu lalu. Pesan yang membuat hatiku semakin resah dan curiga. Nomor yang tidak dikenal itu mengabarkan sesuatu yang sangat mengejutkan bahwa Mas Deri, suamiku, mungkin telah memiliki wanita lain. Semuanya terasa seperti petunjuk yang tak bisa aku abaikan, meskipun aku mencoba untuk tidak mempercayainya.Aku memandang ke depan, melihat dengan jelas mobil yang sedang kami ikuti. Mobil tersebut memang milik Mas Deri, warnanya, tipe mobilnya, bahkan nomor polisinya. Semua detail itu masih membekas kuat dalam ingatanku. Mobil itu tidak salah lagi, mobil Mas Deri. Dan saat itu juga, rasa cemas dan curiga dalam diriku semakin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar Mas Deri selingkuh? Pikiran itu terus menghantui kepalaku tanpa henti.Perasaan yang bercampur a
Rehan terus mengendarai motornya dengan hati-hati, mengikuti mobil Mas Deri seperti yang aku perintahkan. Aku merasa tidak bisa tenang. Pikiranku berputar-putar, teringat pesan misterius yang aku terima beberapa waktu lalu. Pesan yang membuat hatiku semakin resah dan curiga. Nomor yang tidak dikenal itu mengabarkan sesuatu yang sangat mengejutkan bahwa Mas Deri, suamiku, mungkin telah memiliki wanita lain. Semuanya terasa seperti petunjuk yang tak bisa aku abaikan, meskipun aku mencoba untuk tidak mempercayainya.Aku memandang ke depan, melihat dengan jelas mobil yang sedang kami ikuti. Mobil tersebut memang milik Mas Deri, warnanya, tipe mobilnya, bahkan nomor polisinya. Semua detail itu masih membekas kuat dalam ingatanku. Mobil itu tidak salah lagi, mobil Mas Deri. Dan saat itu juga, rasa cemas dan curiga dalam diriku semakin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar Mas Deri selingkuh? Pikiran itu terus menghantui kepalaku tanpa henti.Perasaan yang bercampur a
Aku terus menangis, dan bayangan tentang Mas Deri yang memiliki perempuan lain terus berputar di otakku. Setiap kali aku memikirkan foto-foto yang di kirim nomor tidak aku kenal tempo hari, hatiku semakin terasa teriris. Seakan bayangannya semakin jelas, dan semakin nyata.Aku bertanya-tanya, apakah semua ini benar? Apakah mungkin Mas Deri yang selama ini aku cintai, ternyata memiliki perempuan lain? Semua pertanyaan itu berputar tanpa henti di benakku, sementara air mataku tak bisa berhenti jatuh."Astagfirullah Mas, tega sekali kamu padaku, jika benar kamu memiliki perempuan lain," ucapku dengan perasaan yang hancur. Aku merasa seolah-olah dunia ini tiba-tiba runtuh di sekitarku. Kenapa aku harus menghadapi kenyataan ini? Kenapa harus aku yang terjebak dalam kebohongan dan rahasia yang tidak aku ketahui?Meskipun aku belum tahu apakah benar Mas Deri memiliki perempuan lain, tapi bayang-bayang foto-foto yang dikirimkan oleh nomor tidak dikenal itu terus menghantuiku. Setiap kali
Aku pergi ke Jakarta seorang diri, tanpa membawa Lili yang aku titipkan pada kakakku. Kakakku sangat dekat dengan Lili, terlebih lagi dia juga memiliki putri yang seumuran dengan Lili, membuat hubungan mereka sangat akrab.Kakakku juga sosok yang sangat perhatian, dan aku yakin dia akan menjaga Lili dengan baik dan Aku merasa lebih tenang meninggalkan putriku di rumah.Aku ke Jakarta memilih menggunakan mobil travel. Karena aku merasa Mobil travel lebih nyaman dan praktis, karena langsung mengantarkan aku ke tempat tujuan tanpa harus repot pindah angkutan umum. Jujur, jika aku harus menggunakan angkutan umum, aku tidak tahu harus turun di mana, karena selama ini jika ke Jakarta untuk liburan, aku selalu pergi bersama Mas Deri."Maaf ya, Mbak, aku jemput penumpang lain, jadi kita muter-muter dulu." ucap supir travel tersebut, memberikan penjelasan yang wajar, karena biasanya mobil travel memang mengangkut lebih dari satu penumpang, jadi aku tahu akan ada yang naik nanti selain aku."
"Mama, aku mau mimi cucu." suara Lili mengalihkanku pada suara perempuan yang baru saja menghubungi handphone Mas Deri.Aku bangkit dari dudukku. "Baiklah sayang, kamu sudah mengantuk?" "Iya Ma." jawab Lili sambil mengusap kedua matanya, karena memang ini sudah pukul sembilan malam, dan saatnya Lili tidur."Oke, mama bikin susu, kamu ke kamar dulu ya." pintaku.Dan Lili langsung mengikuti perintahku tanpa banyak drama seperti biasanya, membuat aku segera pergi ke dapur dan membuat susu.Setelah memastikan Lili tidur, aku keluar dari dalam kamar untuk bicara pada Mas Deri tentang suara perempuan yang tadi menghubungi handphonenya."Lili sudah tidur?" tanya Mas Deri ketika aku sudah berjalan mendekat."Sudah Mas." jawabku, lalu duduk di samping Mas Deri yang sedang mendengar ceramah dari handphonenya.Sesuatu yang aku banggakan dari Mas Deri, yang begitu taat kepada agamanya."Bagaimana keadaan ibu?" tanya Mas Deri, yang langsung menunjukkan perhatian ketika mengetahui ibu yang sedang
Aku mencoba untuk menenangkan diri, berusaha meyakini kata-kata Mas Deri semalam. Jika banyak orang yang ingin mengusik rumah tangga kami.Tapi kali ini, perasaan khawatirku lebih kuat. Sebuah foto yang dikirim oleh nomor tidak dikenal menunjukkan Mas Deri bersama seorang perempuan lain, dan entah kenapa, foto itu terasa begitu nyata. Aku mencoba untuk berpikir positif, mungkin foto itu hanya editan. Di zaman sekarang, dengan teknologi yang semakin canggih, segala sesuatu bisa diubah, termasuk foto.Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang, dan memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut. Ponselku bergetar di tangan, jantungku berdegup kencang. Aku menekan tombol panggil, namun telepon itu tidak diangkat. Aku mencoba sekali lagi, namun hasilnya tetap sama. Pemilik nomor itu sepertinya tidak ingin berbicara denganku. Rasa penasaran yang semakin membuncah membuatku memutuskan untuk mengirim pesan.[Kamu siapa? Dan ya, jangan pernah mengusik rumah tanggaku dengan Mas De
'Apakah kamu percaya dengan omongan orang-orang itu?' pertanyaan Mas Deri dari balik sambungan telepon menanggapi pertanyaan yang aku tanyakan padanya tadi, membuat aku terdiam. Suara di ujung sana terdengar penuh kekhawatiran, mencoba menelusuri apa yang sedang mengganggu pikiranku. 'Kamu sudah tidak percaya lagi padaku, Diana?'Aku membuka mulut, ingin menjelaskan apa yang sebenarnya ada di benakku, tetapi kata-kata itu terasa begitu berat untuk dikeluarkan. "Bukan begitu Mas, tapi—" Aku berhenti, merasakan ketegangan yang semakin mengisi ruang telepon kami.Mas Deri melanjutkan kata-katanya, seakan memahami keraguanku, namun nada suaranya lebih tegas. 'Jangan percaya ucapan orang-orang mengenai aku, Diana. Kamu tahu banyak orang yang tidak suka padaku, karena keberhasilanku. Mungkin mereka sedang ingin mengusik rumah tangga kita.'Aku terdiam mendengar perkataan pria yang aku cintai, memikirkan setiap kata yang diucapkannya. Mas Deri bukan orang sembarangan. Usahanya di bidang k
Pesan dari nomor yang tidak aku kenal, datang dengan begitu tiba-tiba dan begitu jelas. Ada nama Mas Deri, suamiku, yang disebutkan di dalam pesan itu. Aku tak tahu harus percaya atau tidak, tetapi rasa takut menyelusup begitu dalam, menghantui setiap sudut pikiranku.Apakah ini mungkin? Apa mungkin Mas Deri, suamiku yang sangat aku percayai, ternyata menyimpan rahasia besar seperti ini? Tidak ada tanda-tanda sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pernikahan kami. Mas Deri adalah suami yang baik, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi bagaimana mungkin aku baru mendengar kabar ini, bahkan dari orang yang tidak aku kenal.Aku memungut handphone yang tergeletak di lantai, dengan tangan yang masih gemetar. Untung saja handphone milikku baik-baik saja, meskipun ada beberapa goresan di beberapa sudut.Aku membuka pesan tersebut lagi, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Namun, nomor yang mengirimkan pesan itu masih tidak aku dikenal. Tidak ada informasi lebih lanjut te
"Maaf, untuk apa kamu minta maaf padaku Wi?" tanyaku, menimpali ucapan Dewi yang terasa tabu bagiku.Bukannya menjawab pertanyaanku, Dewi malah mengukir senyum, senyum yang membuatku semakin bingung dan curiga. "Tidak ada apa-apa, Mbak, tadi aku lupa mau ngomong apa," jawabnya dengan nada yang terdengar tidak terlalu meyakinkan. Kalimatnya seakan-akan berusaha menghindari pertanyaan yang kutanyakan, namun aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.Melihat tingkah adik iparku yang agak aneh, aku hanya bisa menggelengkan kepala. "Kamu ini, Wi, jangan main-main ya," ujarku sambil tersenyum kecil. Namun dalam hati, aku merasa ada yang janggal, ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku tidak ingin terlalu banyak bertanya karena rasanya Dewi sedang tidak ingin membicarakannya."Oh ya, Mbak, soal cerita Mbak tadi. Jangan diambil pusing, abaikan saja. Mungkin orang itu tidak tahu kalau Mbak istri dari Mas Deri," kata Dewi, mencoba memberi nasihat yang terdengar bijaksana. Aku terdiam seje
Baru saja supir tersebut memutar balik mobilnya untuk kembali ke rumah mertuaku.Tiba-tiba adik iparku, Dewi, datang menggunakan motor dan menghentikan laju mobil yang aku naiki."Mbak." Dewi mengetuk jendela mobil di mana aku duduk. Suaranya terdengar agak tergesa-gesa, namun wajahnya terlihat santai. Segera aku menurunkan kaca mobil tersebut, sedikit bingung dengan kedatangannya."Mbak, ini handphone Mbak tertinggal," ujar Dewi sambil menyodorkan handphone milikku, yang baru saja ingin aku ambil.Tanpa ragu, aku langsung mengambil handphone tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada Dewi, karena aku tidak harus kembali ke rumah mertua, yang akan memakan waktu untuk aku segera pulang."Terima kasih, Wi, baru saja aku mau ngambil handphone itu."Dewi selalu tahu kebiasaanku yang seringkali lupa membawa barang penting, bahkan sesuatu yang sepele seperti handphone. "Mbak kebiasaan suka lupa," katanya sambil tersenyum. Dewi memang sudah sangat mengenalku, padahal umurku baru dua puluh