Aku menunggu jawaban dari Mas Deri. Namun, belum juga mendengarnya. Keheningan itu terasa mencekam, seolah-olah waktu berjalan begitu lambat. "Diana!" Deri berteriak, terkejut saat melihat istrinya, Diana, tiba-tiba terjatuh dan hilang kesadaran. Dengan segera Deri menahan tubuh Diana agar tidak jatuh lebih jauh, lalu mengangkatnya, dan dengan cepat membawanya ke tempat tidur.Deri merasa kuatir dengan keadaan Diana sang istri, membuatnya segera meminta Desi untuk mengambil minyak angin. "Desi, tolong ambil minyak angin. Diana pingsan," perintahnya dengan nada yang tak bisa disembunyikan, penuh kecemasan. "Iya Mas," dengan segera Desi mengambil minyak angin yang berada di dalam laci meja, dan memberikannya pada Deri. "Ini Mas," ucap Desi dengan suara yang terdengar terburu-buru. Tolong kamu kasih minyak angin di kakinya."Desi mengikuti perintah dari Deri. "Sudah saatnya dia tahu Mas, kalau aku juga istri Mas." ucap Diana. "Percuma kita menutupi semua ini dari Diana. Meskipun Mas
"Cinta? Cinta macam apa Mas?" tanyaku dengan suara bergetar, sesak di dada untuk menimpali ucapan mas Deri. Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa bisa kutahan. "Cinta harusnya setia, Mas, bukan menikahi perempuan lain di belakangku." Aku merasa seperti ada yang menekan dadaku, menghalangi napasku, seolah seluruh dunia tiba-tiba runtuh di hadapanku. Semua yang pernah kami bangun bersama, semua kenangan indah yang pernah kami lewati, terasa seperti sebuah kebohongan besar. Rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan ini."Maaf, Diana," jawab Mas Deri dengan nada yang datar, seolah kata "maaf" itu mudah sekali keluar dari mulutnya. Seperti tidak ada penyesalan yang mendalam dalam kata-kata itu. Itu hanya kata-kata kosong yang tidak bisa menghapus luka yang kini menggores hatiku. Aku menatapnya dengan mata penuh kecewa. Selama ini, aku mempercayai dia, mempercayai cinta kami. Tapi sekarang, semuanya terasa hancur begitu saja."Apa aku harus memaafkan Mas?" tanyaku, suaraku hampir te
Rehan menatap tajam ke arah Deri, mencoba mengukur ketegasan atas pertanyaannya. Ia tahu betul siapa yang kini berdiri di hadapannya. Deri, suami dari Diana, seorang pria yang telah mengkhianati perasaan Isrtinya.Tetapi Rehan juga menyadari satu hal, bahwa bukan hanya Deri yang harus dipersalahkan dalam situasi ini. Diana, perempuan yang terjerat dalam pernikahan yang penuh luka, Rehan yakini Diana masih memiliki hati yang besar untuk Deri, meskipun sudah di khianati."Kenapa, apa tidak boleh aku masih tetap di sini? Rumah sakit ini bukan milik kamu," ucap Rehan dengan nada tegas. Ia tidak akan pergi begitu saja hanya karena Deri Bagi Rehan, yang lebih penting adalah keadaan Diana untuk saat ini.Deri tidak terima. Dia tahu betul alasan Rehan masih berada di rumah sakit. "Aku tahu kamu masih di sini karena Diana, tapi aku ingatkan lagi padamu, Diana itu istriku. Paham!" Ucap Deri dengan tegas, menekankan kata ‘istriku’ dengan penuh kemarahan. Deri ingin menunjukkan bahwa ia ada
Dalam situasi yang benar-benar membuatku terpuruk, setelah mengetahui bahwa keluarga besar Mas Deri ternyata sudah mengetahui pernikahan keduanya dengan Desi, perasaanku benar-benar kacau. Rasanya dunia ini runtuh begitu saja. Setelah dokter mengijinkan aku pulang dari rumah sakit, aku memutuskan untuk beristirahat di rumah adik Rehan, sebelum akhirnya aku kembali ke kotaku nanti, karena aku merindukan putriku. Keputusan itu datang begitu saja. Aku hanya ingin mencari ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk masalah yang begitu menyesakkan hati.Tentu saja, Mas Deri tidak tahu keputusanku memilih untuk pulang ke rumah adik Rehan.Setibanya di rumah adik Rehan, aku disambut dengan sangat baik oleh Rina, yang pernah aku kenal. Rina adalah sosok yang selalu menyenangkan, meskipun keluargaku telah melukai hati Rehan, ia tetap menunjukkan perhatian dan kebaikan padaku. Aku merasa sedikit lega dan nyaman dengan sambutannya. "Selamat datang Mbak," katanya dengan senyuman yang hangat, sementara
Aku menautkan kening ketika Rina masuk dan memberitahuku bahwa Mas Deri datang, padahal aku sudah memintanya untuk tidak menemui aku. Aku menatap pada Rehan yang masih berdiri di sisi tempat tidur. "Re, Mas Deri tahu rumah Rina?" tanyaku penasaran. Aku mencoba memahami bagaimana Mas Deri bisa tahu aku berada di rumah Rina, padahal aku berusaha sekuat tenaga untuk menghindari pertemuan ini. Aku tahu bahwa Rehan tidak tahu jawabannya, dan aku bisa melihat kekhawatiran di wajahnya."Aku tidak tahu, Diana." Ucap Rehan dengan nada bingung, sepertinya dia juga merasa terkejut dengan kedatangan Mas Deri yang tiba-tiba. "Mungkin suami Mbak Diana itu memasang pelacak di handphone Mbak," sahut Rina dari tempatnya berdiri. Aku terdiam sejenak mendengar perkataan Rina. Pelacak? Itu mungkin saja benar. Selama ini Mas Deri selalu mengawasi setiap gerak-gerikku, dan aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dia lakukan di balik punggungku. Mungkin dia sudah tahu lebih banyak daripada yang aku
Aku menghela napas panjang, mendengar perkataan Mas Deri. Selama ini, aku memang hanya bergantung pada Mas Deri. Setiap keputusan yang aku ambil, aku selalu memikirkan bagaimana reaksinya, bagaimana perasaannya. Kadang aku merasa seolah hidupku bergantung sepenuhnya pada Mas Deri, hingga aku tak tahu bagaimana jika suatu saat kami berpisah. Rasa sesak yang aku rasakan semakin dalam. Menyesali banyak hal yang tak bisa kuubah lagi. Kenapa aku tidak pernah berusaha untuk mandiri, untuk memiliki penghasilan sendiri, untuk berdiri tegak tanpa harus bergantung pada orang lain? Itu yang sedang aku pikirkan dengan penuh kekesalan.Jika aku mandiri, mungkin saja keputusan untuk berpisah dengan Mas Deri tidak akan sesulit ini. Aku akan lebih mudah membuat keputusan, karena aku tahu aku bisa menghadapinya sendirian, dengan atau tanpa Mas Deri. Namun kenyataannya, aku tidak memiliki apapun selain apa yang diberikan Mas Deri. Tidak ada pekerjaan tetap, tidak ada sumber pendapatan lain, hanya
Sontak Mas Deri turun dari tempat tidur, wajahnya tampak terkejut dan bingung setelah aku mengucapkan kalimat yang mungkin tidak pernah dia bayangkan akan keluar dari mulutku. "Coba bicara lagi?" tanya Mas Deri dengan suara yang sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.Aku menatapnya, mencoba mencari keberanian dalam diriku yang terasa semakin rapuh. "Aku ingin bercerai, Mas." jawabku dengan suara yang tak lebih dari bisikan, meskipun kata-kata itu berat untuk diucapkan. Hatiku bergetar, dan perasaan cinta yang begitu dalam padanya tiba-tiba terasa seperti ditarik begitu saja, namun aku tahu inilah keputusan yang harus aku ambil. Tidak ada lagi kebahagiaan dalam pernikahan kami setelah semua yang terjadi. Pengkhianatan yang dia lakukan membuatku merasa dihianati oleh orang yang paling aku cintai. Dan yang paling sulit adalah kenyataan bahwa aku seolah dianggap tidak cukup baik oleh Mas Deri, bahkan dibandingkan dengan Desi, wanita yang dia pilih u
Sekecewa apapun aku pada ibu mertuaku, aku tidak bisa membiarkannya berlutut dan memeluk kakiku. Meskipun aku merasa hatiku begitu dipenuhi dengan rasa sakit dan kecewa yang mendalam. Aku tahu, perasaan ini adalah akibat dari kebohongan yang selama ini disembunyikan oleh keluarga suamiku, terutama oleh Mas Deri, suamiku."Bangunlah Bu," pintaku, sambil membantunya beranjak dari tempatnya. Perasaan ku merasa sangat hancur, melihat ibu mertuaku yang selama ini kukenal sebagai sosok penuh kasih dan perhatian, kini hanya bisa meminta maaf dengan suara penuh ketegaran, merayu aku untuk tidak bercerai dengan Deri. Bahkan, Dewi, adik iparku yang selama ini begitu dekat denganku, ikut berbicara dengan penuh penyesalan. "Iya Mbak, maafkan kami."Namun, aku merasa seperti ditusuk oleh kata-kata Dewi, yang selama ini aku percaya tapi malah berbohong padaku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh kecewa. Selama ini, aku mengira dia adalah teman yang bisa kuandalkan, namun ternyata dia menyimpa
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Mas Deri, setelah mendengar kabar duka atas kepergianya, setelah sekali lama aku tidak mendengar kabarnya. Perjalanan menuju kampung halaman Mas Deri kali ini adalah perjalanan yang penuh dengan campuran perasaan. Meski sudah cukup lama aku tidak mendengar kabar darinya, kabar duka atas kepergiannya membuatku merasa harus hadir di sana. Mas Deri bukanlah orang asing bagiku, dia adalah mantan suami, ayah dari Lili, dan seseorang yang pernah aku cintai. Meskipun hubungan kami sudah berakhir, kenangan bersama Mas Deri tetap ada, dan aku merasa bahwa aku perlu memberikan penghormatan terakhir padanya.Aku juga memutuskan untuk membawa Lili, meskipun awalnya dia enggan ikut. Lili masih cukup kecil dan mungkin tidak sepenuhnya mengerti mengapa kami harus pergi ke kampung halaman Mas Deri, tapi aku merasa penting baginya untuk hadir. Apalagi, meskipun hubungan kami tidak lagi bersama, Mas Deri tetaplah ayahnya. Tidak ada alasan bagi
Hari ini adalah tepat dua tahun yang lalu, aku dan Mas Deri memutuskan untuk berpisah. Sejak saat itu, hidupku berubah drastis, namun aku merasa cukup bahagia dan puas menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal untuk putriku, Lili. Dalam waktu dua tahun ini, aku telah belajar untuk menjadi lebih mandiri dan kuat, meskipun tentunya ada banyak tantangan yang harus kuhadapi. Aku merasa cukup bangga melihat putriku tumbuh menjadi seorang anak yang ceria, cerdas, dan penuh semangat.Hari ini juga menjadi hari yang penuh makna, karena Lili akhirnya memulai perjalanan barunya di sekolah dasar. Ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Aku tahu betapa pentingnya momen ini, dan meskipun perasaan campur aduk melanda hatiku, aku merasa sangat bersemangat untuk mengantarnya ke sekolah untuk pertama kalinya. Sebagai orang tua tunggal, aku merasa bahwa aku tidak boleh melewatkan momen-momen penting dalam kehidupan Lili. Sebelum kami berangkat, aku memastikan untuk memberikan dukungan penuh a
Aku tidak menjawab pertanyaan dari Rehan, karena aku sendiri juga terkejut melihat mas Deri. Mas Deri, yang memiliki segalanya, kini aku melihat dia menjadi pemulung.Begitu malang nasibnya. Meskipun aku berusaha keras untuk melupakan segala kenangan bersama Mas Deri, kenyataan yang ada di depanku ini membuat semuanya kembali mengingatkan aku pada masa-masa masih bersama Mas Deri.Jujur setelah Lili ikut bersamaku, kehidupan kami berdua jauh lebih tenang. Namun, di sisi lain, hubungan dengan Mas Deri semakin renggang. Meskipun beberapa kali dia datang ke rumah Rina untuk menemuiku, aku tidak sekali pun memberinya kesempatan untuk berbicara denganku. Aku benar-benar menghindarinya. Begitu juga dengan telepon dan pesan yang seringkali dia kirim, aku memilih untuk tidak membalas. Aku merasa bahwa hubungan kami sudah berakhir, dan aku tak ingin kembali ke masa lalu yang penuh dengan kepedihan itu.Tapi sekarang, melihat Mas Deri yang sudah jauh berubah, aku merasa prihatin.Melihatnya m
"Rin, kamu diam saja bisa tidak." ucap Rehan pada sang adik yang hampir saja memberi tahu Diana, tentang pekerjaan aslinya.Tentu saja Rehan berbicara, saat Diana dan juga Lili sedang mencoba permainan lain di wahana permainan yang mereka kunjungi."Mas, ngapain sih di tutup tutupi dari Mbak Diana, cepat atau lambat pasti Mbak Diana tahu kalau Mas ini sebenarnya bukan tukang bangunan, tapi pengusaha properti yang sukses." ucap Rina, dirinya benar-benar heran kenapa sang kakak, yang tidak ingin memberi tahu Diana jika dia adalah seorang pengusaha properti.Namun, Rehan tidak ingin menjawab pertanyaan dari sang adik."Eh malah diam." ujar Rina. "Dan kapan, Mas Rehan mau bilang sama Mbak Diana. Kalau Mas Rehan masih suka sama dia."Rehan menatap pada Rina, setelah mendengar apa yang dikatakannya."Mas jangan bohong, aku tahu Mas tuh masih suka sama Mbak Diana. Dan sekarang saatnya Mas mengungkapkan perasaan Mas pada Mbak Diana, sebelum ada orang lain yang mendekati Mbak Diana." saran Rin
"Diana, aku butuh kamu dalam hidupku, Diana," ucap Mas Deri, masih bersujud di depanku. Suaranya penuh dengan kesedihan dan harapan yang begitu mendalam. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan lebih memilih untuk diam, seakan membiarkan waktu yang berbicara. Sungguh, aku sudah lelah dengan segala kenangan tentang Mas Deri. Kenangan yang dulu begitu indah, dan berakhir dengan kesedihan.Aku memilih untuk beranjak dari dudukku, meninggalkan Mas Deri yang masih bersujud dengan penuh penyesalan. Saat aku berbalik, pandanganku langsung bertemu dengan Rehan, yang sejak tadi berdiri dengan ekspresi tegas di wajahnya. Rehan sepertinya bisa merasakan kegelisahanku, dan dia tahu betul bahwa kehadiran Mas Deri di sini bukanlah sesuatu yang kuinginkan.Rehan kemudian mendekati Mas Deri, memberikan perintah tegas yang langsung menghentikan suasana canggung itu. "Jangan seperti ini, Der. Mending kamu keluar dari rumah ini," kata Rehan dengan nada yang jelas.Aku merasa sedikit lega, karena Rehan s
Rehan yang sedang bermain dengan Lili, kini menatap padaku setelah Rina mengatakan bahwa Mas Deri datang. Kata-kata itu seperti membawa aura tegang dalam suasana yang seharusnya ringan. Tak lama, Rehan bertanya dengan penuh perhatian padaku. "Kamu mau menemuinya?" Sebuah pertanyaan yang sungguh menggugah, namun aku bisa merasakan bahwa Rehan tahu persis apa yang aku rasakan. Dia tahu betapa sakitnya aku karena Mas Deri, tahu betapa dalamnya kecewa yang aku rasakan setelah apa yang terjadi dalam hidupku.Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan itu dengan tegas. "Aku tidak ingin menemuinya, Re." Aku mencoba terdengar yakin, meskipun sebenarnya di dalam hatiku ada banyak perasaan yang bercampur aduk. Mas Deri adalah bagian dari masa lalu yang sulit untuk dihapus begitu saja, meskipun aku terus berusaha untuk melupakan segalanya.Sungguh, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan Mas Deri lagi. Setelah pengkhianatan yang aku alami, hatiku merasa begitu hancur. Banyak kenangan ind
Setelah kepergian pihak bank yang datang memberikan surat pemberitahuan mengenai penyitaan rumah, suasana rumah Deri dan Desi terasa sangat mencekam. Desi, yang selama ini hidup enak dengan Deri kini benar-benar terpukul. Rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh bersama suaminya, kini terancam akan hilang. Ketika Desi mendekati Deri yang tampak sedang tenggelam dalam pikirannya, suasana tegang semakin terasa."Mas! Ini apa hah?!" Desi berteriak dengan nada yang penuh amarah, sambil melemparkan surat pemberitahuan dari bank ke arah Deri. Semua perasaan frustrasi dan kekesalan yang ia rasakan meledak begitu saja.Deri yang tadinya sedang memijit keningnya, mencoba untuk menenangkan diri setelah membaca surat tersebut. Namun, ia merasa sangat tertekan. Ketegangan antara mereka semakin memuncak. "Bisa tidak jangan teriak!" ujar Deri dengan nada kesal sambil menatap Desi yang masih berdiri dengan wajah penuh kekesalan. Deri mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya bergejolak.N
Aku benar-benar kecewa dengan Mas Deri, setelah mendengar kabar bahwa Lili, putriku yang baru berusia lima tahun, kabur dari rumah Mas Deri. Dan aku yakin, Desi lah yang menjadi salah satu alasan Lili merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri, setelah aku melihat perlakuan kasar Desi kemarin pada putriku. Itu yang membuat hatiku semakin sakit dan kecewa.Saat mendengar kabar itu, aku merasa dunia ini seolah runtuh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Lili, seorang anak kecil yang terpaksa berada di tengah situasi yang sangat membingungkan dan penuh tekanan. Aku tak ingin berdebat dengan Mas Deri, karena rasanya pertengkaran hanya akan memperburuk keadaan, jadi aku memilih untuk mencari Lili sendiri. Rehan yang selalu mendukungku dalam setiap situasi sulit, memutuskan untuk menemaniku dalam mencari Lili. Aku merasa sedikit lebih tenang karena ada Rehan di sampingku, meskipun hatiku masih penuh kecemasan.Kami berdua berkeliling di kompleks
Aku terus memikirkan Lili, putriku, hingga aku tidak sama sekali nafsu untuk makan.Pikiranku dipenuhi oleh bayangan Lili yang lemah dan kurus. Setiap kali aku menutup mata, gambaran wajahnya yang pucat dan matanya yang sendu terus menghantui. Waktu rasanya begitu lambat berlalu, dan aku hanya ingin esok datang secepatnya, agar aku bisa pergi ke rumah Mas Deri untuk bertemu Lili. Aku ingin memeluknya, memberinya kasih sayang yang selama ini tak bisa aku berikan, dan membuatnya tahu betapa aku sangat merindukannya.Saat aku masih tenggelam dalam pikiran-pikiranku, pintu kamar yang sebelumnya tertutup, kini terbuka perlahan. Tanpa menoleh, aku sudah bisa menebak siapa yang masuk. Rina yang sudah beberapa kali membujuk aku untuk makan malam, tetapi aku tak ada selera. Namun, kali ini suara yang terdengar berbeda. Itu suara Rehan, bukan Rina."Ini aku, Diana," kata Rehan, dengan suara lembut, meski aku bisa merasakan ada kekhawatiran yang samar dalam suaranya.Aku langsung menoleh dan