Angin malam yang dingin dan hujan gerimis, mengiringi langkah kaki Hellena. Setelah selesai sholat isa berjamaah dan bermunajat kepada Allah dalam cucuran air mata dan doa, Hellena memutuskan pergi dari mesjid tempatnya bersinggah sejak sore.
Perlahan Hellena membuka mukena dan melipatnya, disimpannya di tempat yang di sediakan. Cellia yang nampak lusuh dan kelelahan, tertidur meringkuk di sisinya. Angin dingin yang masuk lewat pintu masjid yang sebagiannya terbuka, membuat Cellia nampak kedinginan dan gelisah. Perlahan dibelainya putri mungilnya. Perasaan sakit dan hancur terasa makin menelisik hati, melihat wajah tanpa dosa yang tampak tertidur lelap. Ada wajah Aksara yang terlukis sempurna di wajah cantik Cellia. Seandainya takdir tidak memisahkannya dari lelaki yang paling dicintainya, mungkin Cellia sedang berbahagia saat ini. Menanti Papanya keluar kota untuk urusan bisnis di kamar yang luas dan hangat. Sesekali dia akan merengek minta video Call sama Papa tersayangnya, minta ini-itu. Senyum Aksara yang mempesona, dan wajah tampannya yang menghiasi layar gawai, membuat Cellia begitu bahagia, dan sukses membuat Hellena semakin rindu. Ternyata, tidak ada yang abadi di dunia ini. Keabadian hanya milik Allah, Penguasa Semesta Alam. Mahligai rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta dan ketulusan, ternyata tak cukup kokoh saat datang badai prahara dari orang pertama dan mulia bagi seorang laki-laki. Ibu. Ibu Aksara, hanyalah secuil cerita tentang ibu yang rela melihat anaknya sengsara demi gaya hidup dan nikmat dunia yang penuh fatamorgana. Hanya secuil kisah dan segelintir orang, dari jutaan Ibu yang tulus dan ikhlas. Ibu yang menitikkan air mata dan doa buat anak tercinta. Ibu yang memberikan separuh nyawa dan kehidupannya hanya untuk memberi nafas kehidupan buat buah hati tercinta. Hellena mencium wajah Cellia sendu. Mencium sosok Aksara yang terpatri sempurna di wajah Cellia yang terlelap. Masih menyimpan cinta. Cinta yang hanya penuh dalam mimpi. Cinta yang hanya tinggal kenangan. Ah. Hellena perlahan bangkit, dengan sedikit kelelahan dia kembali menggendong tubuh Cellia yang terlelap. Berharap, menemukan penginapan terdekat. Hellena, lelah. Tersaruk kakinya memilih jalanan dibawah trotoar took. Berharap Cellia yang dalam gendongan, tidak kehujanan. Hellena berusaha menepis setiap rintik yang menerpa tubuh Cellia. Seandainya tak ada gadis ciliknya dalam gendongan, Hellena lebih suka berjalan dibawah gerimis hujan. Karena air hujan bisa menyembunyikan air matanya. Agar tidak ada orang yang menatapnya kasihan atau hanya bertanya-tanya. Setidaknya air hujan bisa menyembunyikan luka. Hellena sejenak berdiri menyaksikan situasi sekitarnya. Lampu penerang jalan dan hilir mudiknya kendaraan yang mulai padat di malam hari menciptakan seribu kunang-kunang di matanya yang penuh air mata. Terminal Cicaheum, selintas ia melirik plang yang berdiri kokoh tak jauh di depannya. Mata helena berlabuh ke kejauhan, menyaksikan deretan toko dan bangunan yang berderet rapat bermandikan lampu.Hellena tidak begitu mengenal tempat ini, meski beberapa waktu yang lalu dia pernah menghabiskan hari bersama Aksara, menikmati indahnya panorama alam kota bandung di daerah Lembang dan pangalengan, dua daerah berhawa sejuk dengan panorama alam yang asri.Hellena masih ingat saat di Pangalengan, daerah yang terkenal dengan sentra pengolahan susu dan hamparan perkebunan sayuran dan teh yang indah, saking dinginnya Hellena bahkan tidak bisa tidur kalau tidak dipeluk Aksara. Manis. Hellena, sejenak memutar kepala, mengingat-ngingat mobil yang tumpanginya tadi. Hellena tersenyum getir, dia bahkan tidak ingat nama mobil yang ditumpanginya. Bahkan saat abang kernet mengembalikan uangnya, Hellena tidak perduli, dengan enteng menyuruh abang kernet mengambil kembalian uangnya. Hatinya entah berada di mana. Sekali lagi dipandanginya suasana disekelilingnya yang begitu ramai. Semakin lama Hellena merasa lampu yang berpendar dimatanya, semakin ramai dan berkunang. Dunia makin terasa berputar, sekuat tenaga Hellena menghimpun kekuatan menepi ke pinggiran jalan, mendekap tubuh Cellia erat-erat. Sampai segalanya terasa begitu gelap. Dalam dunia yang terasa makin dalam dan sunyi, Hellena masih tersenyum getir, membayangkan kalau dirinya telah berjalan begitu jauh. Luka, membawanya ke Kota Kembang.***Hellena tersentak. Tidak ada lampu jalanan yang berkunang, dan membuatnya pusing, tidak ada suara mobil dan motor yang membuatnya merasa berputar. Dia, mendapati dirinya tertidur di ruangan yang luas dan sepi. Samar, matanya menangkap warna biru muda yang begitu soft mendominasi ruangan ini. Ada jendela besar dengan tirai bunga kecil bernuansa senada. Hellena memutarkan pandangannya dengan lemah.Tak begitu banyak furniture di kamar ini, tapi semuanya menunjukan kualitasnya yang mewah. Bahkan kasur yang ditidurinya terasa begitu adem dan nyaman. Tapi aku di mana? Dimana Cellia? Hellena memijit keningnya yang terasa masih sakit. Sekelumit bayangan Aksara dan rumah tangganya yang hancur, masih merajai hati dan kepalamya. Membuat kepala Hellena terasa berat dan berputar. Hellena merasakan seluruh tulangnya sakit, mulutpun terasa begitu pahit, masih pusing dan sedikit mual. Tuhan, dimana Cellia? Tanyanya kembali dalam hati. Hellena tersentak kaget, menyadari dirinya tidak lagi memeluk putri kecilnya. " Hm, Sudah sadar? "Suara bariton membuyarkan kesunyian. Hellena, tergagap saat diliriknya seraut wajah dingin dengan konstruksi wajah yang sempurna tengah menatapnya. "Si-siapa, Anda?"Hellena berusaha bangkit, menyadari ada laki-laki asing yang tengah menatapnya. Meski wajahnya dingin, tapi Hellena bisa menangkap kalau laki-laki itu khawatir. Matanya yang dalam terus menatap Hellena. "Anda, siapa? " Hellena kembali bertanya, berusaha bangkit meski rasanya susah, badannya terasa lunglai dan ngilu."Tiduran saja dulu, kalau pusing."Gerakan tangannya mencegah Hellena bangun. Membuat Hellena mengurungkan niat dan hanya menatap tangan kukuh di depannya. "Kalau pusing jangan banyak bicara."Bukannya menjawab. Hellena mengernyitkan kening. Ada rasa khawatir yang perlahan menjalari hatinya. "Anak saya dimana? Kok saya ada disini? " Mulai tersendat. "Anak kamu aman, dia tidur bersama Bibi di kamar sebelah."Oh. Hellena memijit keningnya, masih sangat pusing. "Baiklah, istirahat dulu kalau sudah sadar. Nanti ada pelayan yang akan mengantarkan obat dan makanan untukmu.""Sebentar, Emmh... Saya dimana? "Hellena kembali bertanya sekarang nada suaranya terdengar sedikit m
Rindu. Adakah hal yang paling menyiksa dari merindukan seseorang yang keberadaannya entah dimana? Adakah hal yang paling menyakitkan, saat memendam rasa pada seseorang yang kehadirannya tinggal kenangan? Sepuluh hari sudah Hellena menghilang, sejak dia kembali ke rumah ini. Seperti biasa, Aksara melewati malam panjangnya hanya memeluk sunyi. Berdiri berlama-lama di balkon kamarnya, berharap keajaiban membawa seorang Hellena kembali. Mama dan Mbak Friska sudah seminggu tidak datang ke rumah ini. Pertemuan terakhirnya, saat Mama baru kembali dari Jogja seminggu lalu, menyisakan pertengkaran dan kesalah fahaman diantara dirinya dan Mama. Mama bersorak saat mendapati Hellena telah pergi, begitupun dengan Mbak Friska ada tawa kemenangan yang justru membuat Aksara murka. "Aku menyesal, telah kehilangan seorang Helena dalam hidupku." Suara Aksara terdengar tegas, saat Mama dengan mata berbinar dan penuh syukur mengomentari kepergian Hellena. "Untuk apa, menyesali istri materialistism
Sepuluh hari. Hellena menatap deretan angka yang tergantung pada kalender di depannya. Dengan perasaan ngilu, menghitung waktu, sejak dia pergi dari rumah besar itu. Hellena menghapus sudut matanya. Merasakan rindu yang sangat, pada kisah sebelum peristiwa talak itu dijatuhkan. Bagaiman aku tidak rindu? Kalau segala kehangatan dan kelembutan pelukan laki-laki yang telah menjadi imamnya selama ini begitu manis, penuh cinta. Bagaimana mungkin, waktu sepuluh hari bisa menghapus jejak laki-laki yang telah menjadi ayah dari putri kecilnya yang cantik. Aksara sempurna. Hellena, mencintai laki-laki itu sepenuh jiwanya. Laki-laki yang bertahun silam selalu datang memberikan donasi tetap kepada panti asuhan tempatnya tinggal, menemani Sang Papa yang murah hati. menatapnya di gerbang Panti dengan senyuman yang sama. Hangat dan lembut. Senyuman yang diam-diam, meruntuhkan hati Hellena yang polos dan sepi. Laki-laki dengan wajah tulus memohon untuk menjadikannya pendamping hidup, laki-l
Hellena melipat sajadahnya, kemudian menyimpan mushaf quran pada tempatnya. Di saat hatinya begitu sepi, Bermunajat pada Allah, mengadu dan menangis adalah hal manis yang tidak terlukiskan. Betul kata Bi Yayah, dalam setiap luka dan air mata Allah selalu hadir memberi jalan keluar. Luka dan penderitaan, Allah hadirkan agar kita mengerti arti tertawa dan bahagia. Perpisahan juga Allah hadirkan, agar kita memahami bahwa ada seseorang yang harus di jaga dan disyukuri kehadirannya. Hellena tersenyum getir. Dia tidak mengerti, dengan apa dia mendefinisikan perpisahannya yang tiba-tiba. Apakah Allah hadirkan, agar Aksara memahami kalau dirinya cukup berharga? Atau Allah ciptakan perceraian ini, agar dia menjadi wanita yang lebih kuat dan Aksara menjadi laki-laki yang lebih bijaksana? Mungkin. Selalu ada hikmah di balik kisah, Hellena faham itu. Hellena segera keluar dari kamar. Jadwal, menemani Nyonya besar, sampai Nyonya yang sudah sepuh itu merasa ngantuk. Biasanya, Hellena akan
Hari masih pagi, saat Aksara sampai di pelataran stasiun Gambir. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir di pelataran parkir stasiun yang mulai padat, Aksara bergegas menaiki eskalator menuju lantai atas, dimana para penumpang biasa naik dan turun dari kereta yang akan membawa mereka dari dan ke tujuan tertentu. Warna hijau yang mendominasi dinding stasiun Gambir menyambut setiap pengunjung dengan pemandangan yang lebih sejuk. Lalu lalang orang yang hendak pegi keluar kota dan baru sampai, terlihat kentara. Stasiun besar dengan rute antar kota di pulau jawa ini memang selalu ramai. Sesekali terdengar suara bel ningnong, peluit dan suara berwibawa petugas PPKA memandu waktu keberangkatan dan kedatangan kereta dari pengeras suara. Ada beberapa jalur yang menjadi tempat menunggu kereta yang akan dan baru tiba dari luar kota. Aksara menghela nafas, mengusir bayangan Cellia yang sangat senang, kalau sewaktu-waktu Aksara dan Hellena membawanya jalan-jalan naik kereta, walau hanya
Hari sudah lewat pukul satu siang, saat Aksara menjejakkan kaki di stasiun Bandung.Langkah rasanya berat, saat menginjakkan kaki di pelataran parkir tempat Abizar menunggunya. Terbayang pesan gambar yang dikirim Abizar sewaktu di kereta. Hellenakah? Senyuman itu, milik Hellena. Perempuan yang selalu mengisi jiwa dan hatinya yang sepi.Kalau ya? Sanggupkah aku menerima kenyataan kalau orang dicintai Abizar adalah Hellena, yang dicarinya, selama ini? Perempuan yang telah membawa separuh hati dan asanya yang menenggelamkannya dalam kubangan penyesalan dan rindu yang tiada bertepi.Angin dingin berhembus sepoi, saat mata Aksara mendapati sosok tegap yang tengah menunggunya di deretan bangku tunggu di stasiun. Abizar."Lama menunggu, Bro?"Aksara, tertawa sesumringah mungkin. Menyambut uluran tangan Abizar, berpelukan dalam suasana yang begitu haru bagi Abizar, dan... Entah, bagi Aksara. "Kita mau kemana, Zar?"Aksara mengikuti langkah lebar sahabatnya. "Makan di warung sederhana,
Pagi yang sibuk dan bikin deg-degan. Ini adalah hari pertama Hellena masuk kantor, sekaligus akan diperkenalkan dengan bos perusahaan yang merupakan sahabat Abizar. Meski Hellena sudah sedikit tahu banyak tentang pekerjaan yang akan digelutinya, karena beberapa bulan terakhir ini Abizar mengirimkan orang khusus untuk mendidik Hellena, tapi rasa nervous itu rasanya tak serta merta pergi. Lama Hellena termenung di depan cermin, menatap pantulan wajahnya. Menatap riasan wajahnya dengan hati yang masih tak karuan. Dia seolah menatap seseorang yang tidak dikenalnya, perempuan yang selama ini selalu berpenampilan polos khas perempuan rumahan, kini dituntut berpenampilan trendi dan profesional. Hellena, itukah dirimu? Perempuan semampai dengan setelan blazer dengan blouse dan kerudung senada. Perempuan yang memiliki mata bening dengan senyum lembut yang tiba-tiba memakai pewarna bibir dan sedikit blush on. Hellena, itu bukan dirimu. Itu adalah bidadari cantik yang meminjam ragamu untu
Kantor masih sunyi, belum banyak yang datang. Aksara, sengaja datang lebih awal. Dia ingin menikmati suasana, lebih dulu. Di ruangan produksi, beberapa karyawan borongan sudah datang dan menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan yang bergerak di bidang fashion ini memang tidak besar, tapi baju yang dikeluarkannya ternyata cukup branded. Hanya swalayan dan toko yang sudah punya nama saja yang menerima roduk pakaian wanita yang memfokuskan rancangannya untuk wanita karir. Aksara belum bertemu designer perusahaan, kata Pak Hendra salah seorang staf marketing perusahaan yang datang lebih awal, namanya Clarissa. Clarissa, biasa datang agak siang karena rumahnya yang terletak di Bandung barat, melintasi jalanan di daerah macet. Aksara mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja dengan gelisah. Ruangannya yang cukup luas dan ber-AC tidak cukup mengusir gundah di jiwanya. Semenjak dia menjejakkan kaki di Bandung kemarin siang dan percakapannya dengan Abizar, sungguh hatinya tidak karuan. Bagaim
Tolong yang belum menikah dan dibawah umur skip ya sayangkuh.Aroma Melati menyerubak di kamar yang dihias sedemikian indah. Seprai sutra merah muda satu set dengan bantal bentuk hati nampak membuat kamar tanpak elegan. Sebuket besar bunga mawar tampak menghiasi nakas. Mata Hellena rasanya mengabur, mengingat di kamar ini begitu banyak kenangan yang tersimpan indah bersama Aksara saat mereka masih resmi menjadi suami istri. Kini dia kembali untuk mengukir cerita dan lembaran hidup yang baru. Dada Hellena berdesir. Tuhan, begitu mudah bagimu mengembalikan semua cerita yang pernah hilang dalam hidupnya. Masyaa Allah. Hellena mengurai rambut panjangnya di depan cermin, rasa dingin membelai lengan dan lehernya. Sia-sia dia membetulkan dan menarik baju tidurnya, sepertinya Aksara sengaja meminta Clarissa memilihkannya yang bikin dia masuk angin. Membuat lekuk tubuh indah Hellena tak bisa bersembunyi dengan sempurna. Sungguh Hellena malu. Entah berapa kali dia menatap pintu kamar yang
Wajah Mama membesi, mata dan mulutnya yang menarik garis lengkung kedalam menyiratkan rasa penolakan yang begitu dalam. Sungguh dia benci mendengar nama Hellena terucap kembali dari bibir Aksara. Dadanya masih berdesir panas tiap nama perempuan Panti itu disebut. Berpuluh purnama menghilang, kini Hellena akan kembali menjadi ratu dan nyonya di rumah besar ini? Wait. Mama menatap wajah Aksara, putra kebanggaan yang selama ini banyak memanjakannya dengan harta dan kemewahan tapi mulai berubah sejak hadirnya seorang wanita yang bernama Hellena. "Dengan Ra, Mama tak merestui pernikahan keduamu ini." Mama menajamkan pandangannya berharap Aksara akan mendengar dan patuh seperti biasa. Sepertinya waktu belum menghapus segwla murkanya. Kebenciannya kepada seorang Hellena belum usai. Malah rasa itu semakin dalam saat Aksara mulai berani membangkang. Mama merasa superioritasnya terancam. Cinta Aksara kepada Hellena, membuat dia tak lagi nomor satu di depan putranya. Sejak
Adakah yang lebih indah dari cinta yang kembali? Sekian purnama menanti dan menunggu bibir itu mengucap sepatah kata tentang sebuah harapan yang terbalas dan mimpi yang menjadi nyata? "Elle, benarkah? Katakan sekali lagi, katakan." Suara Aksara bergetar hebat, tak dihiraukannya sekujur tubuh lelahnya mulai basah. Cinta memberinya kekuatan. "Katakan, aku ingin mendengarnya seribu kali."Tangan aksara terasa kuat mencengkram teralis pagar gerbang Panti yang menghalangi dirinya dan Hellena. Ada energi yang membuatnya bisa berdiri lebih tegak. "Mas, aku... aku bersedia kembali padamu, merajut kembali cerita kita yang pernah kandas dan hilang." Tangis Hellena pecah sudah. Hujan tak hanya mengaburkan pandangannya pada sosok Aksara yang tampak samar berdiri kukuh dalam hujan tapi juga menghapus luka yang pernah ditorehkan laki-laki dihadapannya. Luka itu perlahan sirna bersama maaf yang dia berikan untuk ayah putrinya."Elle...""Iya, Mas.""Makasih, ya," bisik Aksara bergetar. Ya Alla
Tak terasa enam bulan sudah Aksara kembali ke Jakarta. Memulai hari-harinya, seperti dulu. Mengambil alih perusahaan dari orang yang dipercayanya dan menjalankan sendiri seperti biasa. Tak banyak yang berubah, beruntung Aksara memilih orang yang tepat untuk menggantikan sementara selama dia di Bandung. Perusahaaan tidak kurang satu apapun dan berjalan lancar. Sesekali Aksara berkirim pesan dengan Abizar dan Clarissa. Perusaahaan yang dulu mereka tangani sudah berjalan normal kembali, kini Clarissalah yang memegang kendali. Clarissa ternyata tak hanya seorang desainer yang handal tapi juga seorang pebisnis yang tangguh. Dengan cepat perusahaan itu berkembang dan memiliki brand tersendiri di jajaran produk ofice wear karena memang perusahaan mereka memfokuskan rancangan dan produknya dengan pangsa pasar wanita karier.Aksara membetulkan letak duduknya, angin senja mulai terasa menerobos jendela kantornya yang sedikit terbuka. Entah sampai kapan dia betah berlama-lama di kantor menghi
32 ~ Aku MenunggumuHellena merasakan pipinya memanas. Pertanyaan yang lembut tapi sungguh menampar hatinya, angannya melayang pada, kenangan saat dia pergi dari rumah Aksara membawa luka dan kata talak. Waktu memang telah pergi dan menjauh, tapi luka akibat perceraiannya dengan Aksara masih tersimpan rapi di sudut hatinya. "Elle, jawablah." Suara Aksara sendu, menyelinap diantara nyanyian syahdu di atas panggung."Seandainya kata maaf itu tidak ada, aku mengerti."Hellena kembali menunduk. Samar dia merasakan sesuatu yang hangat di sudut matanya. Perlahan, diliriknya Aksara yang pandangannya menerawang kepada dua mempelai. "Mas," panggil Hellen lirih. "Aku belum bisa menjawabnya saat ini." Hellena menyeka butiran air bening yang tiba-tiba lancang menghiasi matanya. "Sudah berbulan lamanya kau ucapkan kata talak itu, tapi lukanya masih belum hilang, Mas."Aksara tersenyum getir, penyesalan itu perlahan kembali membuatnya terluka.Menyakiti dan disakiti ternyata sama sakitnya. Aks
Hellena dengan lembut memakaikan rangkaian bunga melati putih di kepala Clarissa, berpadu dengan hiasan yang telah dipakaikan Sang perias pengantin dengan cantiknya. Ditaapnya wajah jelita Clarissa dari pantulan cermin, wajah itu tampak bahagia. Hari ini, ijab kabul dilaksanakan di kediaman Clarissa. Beruntung sekali Abizar mendapatkan seorang Clarissa yang memiliki orang tua yan bukan hanya kaya dan terpandang tapi juga sangat berpendidikan. Tak harus melewati proses yang ribet, Ayah dan Ibu clarissa menyetujui pernikahan putri semata wayangnya. Bagi mereka kebahagiaan Clarissa lebih utama, lagipula Abizar bukan pria asing bagi keluarga Clarissa. Dua tahun Clarissa bergabung di perusahaan Abizar, sepertinya menjadi salah satu alasan bagi Papa dan Mama Clarissa mempercayai sosok Abizar untuk menjadi suami putrinya."Selamat ya Cha, tersenyumlah. Kau sebentar lagi akan menemukan imam terbaikmu." Senyum Hellena menyapu wajah cantik Clarissa yang berbusana pengantin putih bersih. Ren
Ruang perawatan tampak lebih semarak. Sebuket bunga warna -warni teronggok manis di atas nakas di samping tempat tidur Aksara. Suasana jauh lebih berwarna dibanding saat Aksara masih diam membisu di ruang ICU. Ada celoteh riang Clarissa, juga ada senyum dan sapa lembut Hellena. Abizar yang kalem sesekali menimpali seloroh Clarissa yang memang sepertinya terlahir dengan hati yang riang dan tanpa beban. Aksara juga sudah bisa tersenyum. Tak ada lagi alat bandu fungsi organ tubuh yang terpasang di tubuhnya, satu-satunya yang terpasang tinggal slang infusan, yang terkadang membuat dia susah bergerak dan hrus dibantu Abizar. Jangan sangsikan kasih sayang Allah, Allah selalu punya jawaban untuk manusia yang berikhtiar dan berdoa. Setelah melewati masa sulit berhari-hari akhirnya kondisi Aksara stabil dan bisa dipindah ke ruang perawatan. Angin segar masuk lewat jendela yang terbuka, menyapu wajah teduh Hellena yang tampak berdiri tidak jauh dengan Clarissa. Meski diam wajah Hellena tamp
Suara detak langkah Abizar terdengar nyaring saat melewati lorong apartemen yang sepi. Bergegas menemui Pak Rudi yang menunggunya di bassement, sebisa mungkin kembali ke rumah sakit secepatnya. Jalanan Bandung bersiram cahaya lampu yang memenuhi sepanjang jalan yang dilewati Abizar, kadang sinarnya beradu dengan cahaya mobil yang kebetulan berpapasan. Abizar duduk disamping Pak Rudi yang melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, bibir Abizar rapat, sementara hati dan pikirannya melayang pada sosok Aksara yang masih diam membisu di ruang ICU. Gerimis menyambut Abizar di halaman parkir rumah sakit yang penuh dengan kendaraan. Sementara Pak Rudi tetap menunggunya di luar, Abizar bergegas memasuki gerbang utama rumah sakit, langkahnya lebar dan cepat menuju ruang ICU. Bau tanah yang basah berpadu angin dingin menampar tubuh Abizar yang berjalan cepat di koridor, menampar wajah tampannya yang datar dan dingin. Malam sudah menunjukan pukul sembilan kurang saat Abizar sampai di depan
Abizar perlahan membuka matanya, tatapannya menyapu seisi ruangan yang didominasi warna puth. Beberapa perawat dan dokter terlihat berjalan hilir mudik melintasi samping jendela kamar ruang perawatan Abizar yang terbuka. Tangannya urung bergerak saat menyadari ada slang infus yang terpasang. Sementara tangannya tidak leluasa bergerak, Abizar merasakan kalau hidungnya juga masih dipasang alat bantu pernafasan. Sekujur tubuhnya terasa ngilu dan beberapa bagian malah terasa pedih. Beruntung sepertinya luka yang dideritanya tidak terlalu serius, bahkan luka bakarpun boleh dibilang tidak terlalu menghawatirkan. Sepertinya aksi cepat dan nekat Aksara banyak membantu Abizar untuk selamat dari kobaran api. Kepala Abizar masih terasa pusing saat mengingat-ngingat kronologi kecelakaan yang tengah menimpanya.Dia sedang mempersiapkan berkas malam itu, saat entah darimana api berasal, tahu-tahu dia terkepung di ruangan seorang diri. Sia-sia Abizar berteriak dan hendak berlari menyelamatkan di