"Oh, jangan-jangan kamu pun sudah terbuai oleh rayuan wanita murahan ini. Tapi bagus lah, dia memang cocok sama kamu, Faldo. Hidup dan latar belakang kamu tidak jauh berbeda dengan wanita ini. Tuhan memang Maha adil, memberikan pasangan yang serasi jalan hidupnya," imbuhnya Mbak Sari. Kali ini di tersenyum meski tidak ada manis-manisnya. Kecut."Permisi Mbak, Bude. Terima kasih atas sambutannya." Masih merangkul bahuku, Om Do lalu mengajakku pergi dari hadapan dua wanita itu. Entah apa yang kemudian mereka bicarakan, karena samar-samar, aku masih mendengar mereka bersuara lalu tertawa cekikikan."Jangan dimasukkan ke hati, ya. Mbak Sari memang seperti itu, dia sepupuku."Aku tidak mampu berkata-kata, ucapkan wanita yang disebut bernama Mbak Sari itu membuatku syok. Jika memang keadaanku seperti itu, tidak perlu juga Mbak Sari membahasnya di depan umum. Apalagi secara terang-terangan seperti itu."Tolong kuasai dirimu, kendalikan emosimu, La. Kita sedang berada di tempat umum, kalau ka
"Apa Rendy tidak memberitahu posisinya di mana?""Tidak. Dan setelah itu, nomor yang dia gunakan untuk menghubungi Mbak tidak aktif sampai sekarang.""Berarti Rendy menggunakan nomornya baru?" Tante Renita mengangguk. Aku segera mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan nomor yang menghubungiku tempo hari."Apa nomor ini?" Aku menunjukkan pada Tante Renita."Sepertinya iya."Nomor ini juga pernah menghubungi saya tapi langsung tidak aktif begitu saya sampai di tempat yang dia kirimkan." Aku melirik Om Do, karena merasa bersalah sudah berbohong padanya."Kalian janjian?" Tante Renita bertanya lagi."Ya, Rendy meminta bertemu tapi kami tidak sempat bertemu karena ponsel Rendy keburu tidak aktif.""Ya ampun Rend. Kamu di mana, Nak?" Tante Renita kembali terisak."Apa tidak sebaiknya lapor polisi saja, Mbak?" Om Do menimpali."Sudah. Ini sedang diproses.""Kalau begitu mudah-mudahan segera ada titik terang, Mbak.""Aamiin, semoga saja," jawab Tante Renita parau."Lala memang sangat mengkhaw
Tidak ada jawaban dari pria di sampingku ini. Aku meliriknya, pria itu fokus menjalankan mobil. Sekali lagi aku menoleh ke balkon kamar Rendy, tidak ada apa-apa. Benarkah apa yang kulihat tadi itu hanya halusinasiku saja karena aku terlalu mengkhawatirkan Rendy?Aku ingin mendengar sendiri dari kamu, apa yang kamu lakukan di cafe siang itu bersama Ghea dan Mitha? Apa benar ... yang tadi kamu bilang sama Mbak Renita?"Begitu sampai di ruko pria berkumis tipis itu sudah memberondongku dengan pertanyaan. Bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk sekedar berganti pakaian."Nanti dulu, Om. Aku pun belum berganti pakaian." Aku protes karena memang kegerahan."Kamu bisa mengganti pakaian sambil bercerita."Tanpa menanggapi ucapannya, aku beranjak masuk kamar, membuka paksa kerudung yang menutupi kepalaku. Lalu berusaha membuka resleting yang berada di bagian punggung, sialnya aku malah kesusahan membuka gaun yang lengket oleh keringat.'Kenapa jadi susah dibuka, sih?' aku bergumam sambil b
"Benar 'kan, aku tidak menatap tubuhmu.""Tapi Om menatap ini." Aku menunjuk mataku."Tadi kamu tidak melarangnya. Siapa tahu pepatah itu benar, dari mata turun ke hati.""Ish!""Segera ganti pakaianmu! Aku menunggumu di luar, karena lama-lama berada disini, aku takut tidak bisa menahan diri. Walau bagaimana aku pria normal." Kalimat terakhir ia ucapkan sambil berbisik hingga nafasnya terasa menyapu kulit leherku dan itu menimbulkan sensasi yang aneh. Hingga pria itu melenggang keluar, aku masih berdiri mematung sambil mengusap bagian belakang leherku.Aku bergidik setelah Om Do hilang dibalik pintu, lalu segera mengganti baju dan menghapus riasan di wajahku, setelah itu menemuinya di luar kamar. Akan tetapi begitu aku duduk Om Do malah berdiri."Loh, mau ke mana?""Kamu pikir aku nyaman di rumah menggunakan baju seperti ini? Aku mau ganti baju dulu, karena kalau tadi aku mengganti baju bersamamu, aku tidak tahu apa yang terjadi diantara kita," jawabnya sambil tersenyum tipis dan mata
"Aku pikir selama ini aku cukup memiliki Ghea dan Mitha.""Aku ngerti kalian berteman, tapi ini masalah serius. Jadi kamu butuh lebih dari sekedar dua sahabat wanitamu itu.""Om sudah tahu tentang kepergianku ke cafe siang itu. Sekarang aku menagih janji Om.""Apa?""Om bilang akan menjelaskan tentang kerenggangan hubungan Om dengan Mamanya Rendy." Aku memberanikan diri melihat Om Do yang masih terlihat kesal dan pertanyaanku barusan seperti membuat dia semakin gundah."Ceritanya panjang, kalau aku ceritakan sekarang kamu akan tidur kemalaman. Jadi beristirahatlah! Aku janji akan menceritakannya padamu, tapi tidak sekarang." Setelah itu dia membaringkan tubuhnya di bawah sofa bersiap untuk tidur. Sebenarnya aku kasihan juga melihat dia tiap malam tidur di atas karpet atau di sofa. Tapi mau bagaimana lagi, sampai saat ini aku tidak mau tidur satu ranjang bersamanya. Pernah aku menawarkan untuk bertukar tempat, aku tidur di luar dan dia tidur di kamar. Tapi Om Do menjawab, bahwa keseha
Tiba di anak tangga paling bawah aku merunduk setelah sebelumnya melihat sekilas ke arah toko dimana Bu Zaskia memang masih berada di sana. Wanita itu tengah menunduk membuka lembaran-lembaran kertas, sepertinya Bu Zaskia sedang menunggu fotokopian.Dengan berjalan merunduk aku melewati area toko yang terhalang oleh rak pajangan, hingga sampai di luar toko aku segera berjalan dengan cepat menuju mobil Om Do yang terparkir tepat di depan ruko. Rasanya sudah seperti maling saja, apalagi dengan jaket hoodie yang membalut tubuhku hingga kepala terasa gerah dan makin ribet saja. Juga masker dan kacamata hitam yang aku gunakan, supaya jika kebetulan Bu Zaskia melihatku dia tidak akan mengenaliku."Hey, siapa itu?!" Tepat beberapa langkah lagi aku sampai di mobil, tiba-tiba Danang berteriak. Rupanya karyawan Om Do itu melihat keberadaanku tapi tidak mengenali aku. Lantas mencurigai aku sebagai orang yang akan berbuat jahat. Aduh, bagaimana kalau sampai Om Do dan Bu Zaskia datang menghampirik
Sepeninggal Om Do, dalam keadaan masih berjongkok aku bergerak mendekati pintu mobil bagian belakang lalu meraih pintunya dan menariknya perlahan. Syukurlah, ternyata mobil dalam keadaan tidak terkunci. Kemudian aku membukanya sedikit dan menyelinap masuk lalu berbaring di jok belakang.Tidak lama kemudian pintu di samping kemudi terbuka, aku melirik, pria itu masuk dan duduk di sana. Tanpa berkata apapun, setelah menoleh, Om Do melajukan mobil meninggalkan pelataran ruko. Sekitar dua ratus meter setelah berada di jalan raya, Om Do menghentikan mobilnya. "Ada apa, Om?" Aku mendongak karena mengira jalanan tersendat karena ada kemacetan."Pindah ke depan dan jelaskan!" ucapnya dingin.Tanpa menunggu lagi aku membuka pintu lalu beralih duduk di depan. Setelah sebelumnya membuka jaket Hoodie, kaca mata dan masker lalu menaruhnya sembarangan di jok belakang."Apa yang terjadi?" Sambil kembali melajukan mobil, pria yang fokus ke depan ini bertanya lagi, sementara aku masih sibuk merapika
"Om, hari ini aku pulang agak cepat. Apa boleh aku pulang sendirian?" Siang ini aku menghubungi Om Do."Kenapa, apa kamu bolos?""Kebetulan dosenku di dua jam terakhir tidak masuk. Beliau memberikan tugas untuk dikumpulkan di pertemuan berikutnya.""Kamu tidak boleh pulang sendirian. Ingat, jalanan tidak aman buatmu. Memangnya kamu mau bertemu lagi dengan Papa tirimu itu?" "Makanya jemput, dong!""Saat ini aku sedang tidak bisa menjemputmu karena sedang ada pekerjaan. Jadi sebaiknya kamu diam dulu di kampus sampai aku datang.""Yang benar saja?! Aku harus menunggu selama itu di kampus? Oh Tuhan, please, Om, aku bukan anak SD yang harus selalu diantar jemput.""Aku hanya mengingatkanmu, La. Ingat kejadian di dalam lift itu, Dimas bisa ada dimana saja."Panggilan itu aku putuskan secara sepihak. Kesal juga karena peraturan dari Om Do yang kurasa sangat memberatkan. Tidak mungkin juga Om Dimas terus mengikuti aku. Waktunya tidak akan dihabiskan untuk itu. Mama juga sangat lengket padany