Aku tidak memungkiri kalau pria ini memang memiliki wajah rupawan, hanya style-nya saja yang ke-bapak-an.Ish!Dengan gerakan cepat aku kembali membelakanginya dan menghadap ke arah cermin. Tapi sial, rupanya dengan cara seperti ini, tidak bisa menyembunyikan pipiku yang merona. Sebab sia-sia karena dia dapat melihatku lewat pantulan cermin."Kenapa? Apa kamu mau dipegang ... maksudku aku bantu pakaikan kerudung?"Dia menggoda lagi.Aku tak bermaksud menjawab dan tetap fokus pada aktivitasku. Sementara kedua pipiku seperti memakai perona pipi dadakan."Oh ya, bantuan yang aku maksud itu, apa perlu aku mengantarmu supaya tidak perlu menunggu taksi?""Tidak usah, sampai kapanpun Om tidak perlu mengantarkan aku ke kampus. Bukankah pernikahan kita dirahasiakan?" "Yakin bisa merahasiakan ini selamanya?"Aku meliriknya lagi lewat pantulan kaca. Pria itu masih berdiri di belakangku pada posisinya semula."Harus bisa, bukankah pernikahan ini hanya sementara saja. Nanti pada akhirnya kita aka
"Lala!"Untuk kedua kalinya aku berhenti. Setelah itu terdengar langkah mendekat tergesa-gesa dan kini pria itu berdiri dihadapanku dengan senyum khas yang membuatku bergidik."Jadi benar yang Om lihat kemarin masuk taksi itu kamu?" Aku melirik sekilas kearah pria yang sedang menelisik penampilanku dari atas sampai bawah sambil berkacak pinggang itu."Maksud Om?""Om kemarin menunggumu disini, tapi ternyata kamu diam-diam masuk taksi tanpa menyapa. Kenapa, apa kamu menghindari Om?"Mendengar pertanyaannya aku hanya bisa menghembuskan nafas berat sambil mengalihkan pandangan. Muak melihat tatapannya."Jujur saja, selama dua hari ini Om kangen sama kamu, La." Kalimat macam apa yang baru saja dilontarkan pria ini padaku. Karena aku yakin dia merindukan aku bukan sebagai Papa pada anaknya. Beda dari intonasi dan cara dia menatapku. Menjijikkan.Aku tetap diam tanpa menoleh ke arah pria yang berdiri satu langkah di depanku ini."Kamu pikir dengan menikah dan pergi dari rumah Mama kamu, b
[Kamu tidak Akan bisa terus-terusan menghindar dari Om.]Itu pesan dari Om Dimas. Kenapa sih, pria itu terus menggangguku. Dari awal Om Dimas menikahi Mama, aku memang sudah tidak menyukainya. Pasalnya tatapan pria itu selalu terasa aneh. Bukan tatapan seorang Ayah pada anaknya. Tapi lebih mirip singa kelaparan yang menemukan mangsa. Semakin ke sini, aku semakin risih dibuatnya."Ada apa, La?" Pertanyaan Ghea mengagetkan aku."Enggak apa-apa, kok." Aku menjawab cepat."Kenapa Lo seperti melamun? Pesan dari siapa? Suami Lo?" Tanya Mitha menambahkan dengan beberapa pertanyaan."Bukan." "Terus dari siapa?""Bukan siapa-siapa.""Tapi Lo kelihatan aneh gitu, La." "Aneh gimana sih, Gue gak apa-apa, kok. Kita masuk kelas, yuk, nanti terlambat." Aku segera mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak masuk kelas sambil melirik jam tanganku."Tapi beneran Lo gapapa?" Ghea memastikan."Enggak, kok. Gue baik-baik saja." Aku tersenyum ke arah mereka untuk meyakinkan kedua sahabatku itu kalau ak
"Minta maaf apaan sih Mit, Lo nggak salah, kok.""Ya kali aja, ucapan gue tadi pagi membuat Lo ngambek. Kalau memang Lo enggak berniat cerita sama kita, kita juga nggak maksa, kok. Cuman gue enggak mau aja lihat Lo kayak gelisah seperti itu." Aku melirik Mitha, gadis itu tengah menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya sementara Ghea yang berada di samping Mitha menatapku lembut."Enggak ada yang perlu dimaafkan, kok, kalian enggak salah. Mungkin gue yang terlalu sensi aja dan gue pikir juga memang gue harus ngomong sama kalian. Karena punya permasalahan dipendam sendiri itu enggak enak." Aku menoleh kearah mereka secara bergantian sementara keduanya hanya menatapku tanpa bergerak."Rendy menghubungi gue.""Apa? Rendy?!" pekik mereka bersamaan."Jadi cowok itu berani menghubungi Lo?" seru Mitha sambil membulatkan matanya.Aku hanya mengangguk kecil beberapa kali."Apa yang dia bilang, apa dia menyampaikan alasan kenapa tidak datang waktu itu?" tambah Ghea."Dia minta ketemu sama G
Di layar ponselku terlihat kalau pria itu seperti sedang duduk di dalam mobil, tapi mobil siapa. Rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki mobil. Tinggal saja di ruko, masa punya kendaraan sebagus itu. Atau mungkin jangan-jangan dia sedang numpang di mobil temannya. Tapi temannya siapa, pria itu ternyata penuh dengan misteri . Kalaupun dipikir lagi, bisa saja dia punya mobil, secara keluarga mereka kaya raya. Tapi kalau ia pun Om Do kaya raya dan punya banyak uang, kenapa dia mau tinggal di ruko.Akhirnya aku bersama dua temanku pergi ke tempat yang alamatnya sudah dikirimkan oleh Rendy. Sebuah cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Aku menumpang pada mobil Mitha sementara Ghea mengikuti kami dari belakang. Sesuai dengan rencana awal bahwa aku menunggu dulu di mobil yang diparkirkan agak jauh sementara Ghea dan Mitha mengecek terlebih dahulu ke dalam cafe.Beberapa menit setelah mereka pergi minta menghubungiku."Gue tidak melihat Rendy di sini," ucapnya setengah berbisik.
"Kamu mau beli apa sebenarnya tadi?" Pertanyaan itu menyambutku ketika aku masuk ke dalam ruko dan mendapati pria itu sudah ada di depan televisi. Matanya menatap lurus pada benda itu, posisinya tidak berubah bahkan saat bertanya sekalipun. Tapi dari mana dia tahu, kalau aku tidak membawa sesuatu.Jelas saja aku jadi bingung karena memang aku tidak membeli apapun. Padahal tadi pamit mau membeli keperluan pribadiku. Ah, kenapa aku ceroboh?"Eum ... kebetulan barang yang aku mau beli itu tidak ada. Jadi aku tidak jadi belanja," jawabku asal karena bingung harus bilang apa. Sialnya lagi hal ini tidak pernah kepikiran hingga tidak mempersiapkan jawaban."Memangnya yang mau kamu beli itu barang langka? Hingga di kota ini semua toko tidak menjualnya. Kamu bisa pergi ke toko lain 'kan untuk mendapatkannya. Kalau itu hanya sekedar bedak, lipstik atau lotion." Pria itu bangkit lalu berdiri menghadapku.Mendapat pertanyaan seperti itu aku semakin bingung karena jawaban yang tadi aku berikan itu
"Mama kangen, La. Kapan kamu mau berkunjung ke sini?" Suara Mama agak bergetar ketika sore ini dia meneleponku."Lala juga kangen Mama, nanti Lala bicarakan sama Om Do ,supaya Lala diizinkan mengunjugi Mama.""Siapa?! Om Do?! Maksud kamu Faldo?""I-iya Ma. Maksud Lala Mas Faldo." Aku meralat."Jangan bilang sama Mama kalau kamu memanggil suami kamu dengan sebutan Om. Gak sopan itu!" Mama masih menggerutu, aku menepuk bibirku pelan yang telah salah berucap."Enggak Ma, tadi Lala bercanda." Aku terpaksa berbohong pada Mama setelah tadi keceplosan memanggil suamiku dengan sebutan Om."Ya udah, La, kamu ngomong sama suami kamu kalau kamu ingin mengunjungi Mama. Mama tunggu kalian. Soalnya enggak ada kamu beberapa hari di sini, Mama sangat kehilangan." Mendengar kalimat Mama barusan aku memutar bola mata. Apa benar Mama kehilangan aku, mengingat ketika masih tinggal bersamanya, Mama hampir lupa kalau punya anak gadis di rumah. Hingga seenaknya dia pergi dan lupa pulang, lupa kalau anak gad
Tanpa diduga lagi Om Do merangkul pundakku lalu mengajakku keluar dari kamar mandi. Seperti yang terhipnotis, aku hanya menurut. Padahal aku sama sekali tidak merasa pusing ataupun tidak enak badan. Sebenarnya bisa menolak tapi aku khawatir Om Do akan curiga padaku. Jadi kubiarkan saja dia membimbingku berjalan dan memintaku duduk di tepi ranjang."Dari buku yang kubaca, ini biasa terjadi pada wanita yang hamil di trimester pertama. Kalau boleh aku tahu berapa usia kehamilanmu?" tanyanya sambil duduk di sebelahku, sementara tangannya perlahan turun dari bahuku.Kenapa duduknya harus deket-deket begini sih. Aku kan jadi gugup. Bukan apa-apa, aku tidak terbiasa berdekatan dengan laki-laki asing, kecuali Rendy itu pun aku masih punya batasan."Ya Om, tapi jangan khawatir ini enggak setiap pagi kok . Cuman kadang-kadang aja," jawabku asal."Apa perlu aku antar ke dokter?""Enggak nggak usah, aku tidak mau ke dokter," sahutku cepat. Karena kalau sampai aku pergi ke dokter nanti bakal ketah