"Om tahu apa yang terjadi padanya dan bagaimana kabarnya sekarang?" Aku menatapnya, pria itu masih makan dengan lahap."Enggak," jawabnya dengan mulut penuh sambil menggeleng tanpa melihat ke arahku.Aku menghembuskan napas panjang, kukira dia bertanya seperti itu karena sudah tahu bagaimana kabar Rendy secara Om Do adalah keluarga dekatnya Rendy. Sampai saat ini sejujurnya aku masih khawatir. Takut terjadi apa-apa pada Rendy, bagaimanapun dia adalah orang yang masih aku cintai saat ini meskipun ada terselip rasa kesal."Ponselnya masih belum aktif." Aku setengah bergumam. Malu kalau ketahuan aku sering mengecek ponsel Rendy. "Lalu apa kamu berniat mencari kabarnya ke rumah Mbak Renita?" Om Do bertanya dengan nada serius.Aku mendongak mendengar dia berkata seperti itu. Tak disangka Om Do pun sedang melihat ke arahku dan aku tidak dapat menghindari tatapan matanya yang kali ini terlihat serius juga."Enggak," jawabku sambil menggeleng beberapa kali."Kenapa? Bukankah kamu ingin menge
[Aku ingin bicara dan menjelaskan sesuatu padamu, La. Kita harus ketemu, besok selepas kuliah aku jemput kamu di kampus. Rendy.]Benarkah ini pesan dari Rendy? Tapi kenapa bukan nomor yang biasa dia gunakan. Apakah Rendy mengganti nomornya?[Oke, nanti aku ngomong dulu sama Om kamu, soalnya dia cerewetnya melebihi Mama. Pasti dia ngerti, kok. Aku tidak perlu menjelaskan lagi sama kamu, 'kan. Apa yang terjadi setelah kemarin kamu batal menikahi aku.]Terkirim.Sebenarnya aku ingin mencaci-maki dia, seenaknya tidak datang di hari pernikahan kami dan mempermalukan keluarganya juga keluargaku. Tapi jika dipikir lagi, aku harus mendengarkan penjelasan Rendy dulu.[Gak usah ngomong sama suami kamu, nanti bakal berabe urusannya. Kamu bisa 'kan pergi diam-diam sepulang kuliah atau bolos saja pada jam kuliah.]Balas Rendy cepat. Membuat kedua alisku spontan bertaut, sebab tidak biasanya Rendy meminta aku bolos kuliah. Dulu dia selalu berpesan supaya aku kuliah yang benar, tidak boleh banyak ke
Aku tidak memungkiri kalau pria ini memang memiliki wajah rupawan, hanya style-nya saja yang ke-bapak-an.Ish!Dengan gerakan cepat aku kembali membelakanginya dan menghadap ke arah cermin. Tapi sial, rupanya dengan cara seperti ini, tidak bisa menyembunyikan pipiku yang merona. Sebab sia-sia karena dia dapat melihatku lewat pantulan cermin."Kenapa? Apa kamu mau dipegang ... maksudku aku bantu pakaikan kerudung?"Dia menggoda lagi.Aku tak bermaksud menjawab dan tetap fokus pada aktivitasku. Sementara kedua pipiku seperti memakai perona pipi dadakan."Oh ya, bantuan yang aku maksud itu, apa perlu aku mengantarmu supaya tidak perlu menunggu taksi?""Tidak usah, sampai kapanpun Om tidak perlu mengantarkan aku ke kampus. Bukankah pernikahan kita dirahasiakan?" "Yakin bisa merahasiakan ini selamanya?"Aku meliriknya lagi lewat pantulan kaca. Pria itu masih berdiri di belakangku pada posisinya semula."Harus bisa, bukankah pernikahan ini hanya sementara saja. Nanti pada akhirnya kita aka
"Lala!"Untuk kedua kalinya aku berhenti. Setelah itu terdengar langkah mendekat tergesa-gesa dan kini pria itu berdiri dihadapanku dengan senyum khas yang membuatku bergidik."Jadi benar yang Om lihat kemarin masuk taksi itu kamu?" Aku melirik sekilas kearah pria yang sedang menelisik penampilanku dari atas sampai bawah sambil berkacak pinggang itu."Maksud Om?""Om kemarin menunggumu disini, tapi ternyata kamu diam-diam masuk taksi tanpa menyapa. Kenapa, apa kamu menghindari Om?"Mendengar pertanyaannya aku hanya bisa menghembuskan nafas berat sambil mengalihkan pandangan. Muak melihat tatapannya."Jujur saja, selama dua hari ini Om kangen sama kamu, La." Kalimat macam apa yang baru saja dilontarkan pria ini padaku. Karena aku yakin dia merindukan aku bukan sebagai Papa pada anaknya. Beda dari intonasi dan cara dia menatapku. Menjijikkan.Aku tetap diam tanpa menoleh ke arah pria yang berdiri satu langkah di depanku ini."Kamu pikir dengan menikah dan pergi dari rumah Mama kamu, b
[Kamu tidak Akan bisa terus-terusan menghindar dari Om.]Itu pesan dari Om Dimas. Kenapa sih, pria itu terus menggangguku. Dari awal Om Dimas menikahi Mama, aku memang sudah tidak menyukainya. Pasalnya tatapan pria itu selalu terasa aneh. Bukan tatapan seorang Ayah pada anaknya. Tapi lebih mirip singa kelaparan yang menemukan mangsa. Semakin ke sini, aku semakin risih dibuatnya."Ada apa, La?" Pertanyaan Ghea mengagetkan aku."Enggak apa-apa, kok." Aku menjawab cepat."Kenapa Lo seperti melamun? Pesan dari siapa? Suami Lo?" Tanya Mitha menambahkan dengan beberapa pertanyaan."Bukan." "Terus dari siapa?""Bukan siapa-siapa.""Tapi Lo kelihatan aneh gitu, La." "Aneh gimana sih, Gue gak apa-apa, kok. Kita masuk kelas, yuk, nanti terlambat." Aku segera mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak masuk kelas sambil melirik jam tanganku."Tapi beneran Lo gapapa?" Ghea memastikan."Enggak, kok. Gue baik-baik saja." Aku tersenyum ke arah mereka untuk meyakinkan kedua sahabatku itu kalau ak
"Minta maaf apaan sih Mit, Lo nggak salah, kok.""Ya kali aja, ucapan gue tadi pagi membuat Lo ngambek. Kalau memang Lo enggak berniat cerita sama kita, kita juga nggak maksa, kok. Cuman gue enggak mau aja lihat Lo kayak gelisah seperti itu." Aku melirik Mitha, gadis itu tengah menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya sementara Ghea yang berada di samping Mitha menatapku lembut."Enggak ada yang perlu dimaafkan, kok, kalian enggak salah. Mungkin gue yang terlalu sensi aja dan gue pikir juga memang gue harus ngomong sama kalian. Karena punya permasalahan dipendam sendiri itu enggak enak." Aku menoleh kearah mereka secara bergantian sementara keduanya hanya menatapku tanpa bergerak."Rendy menghubungi gue.""Apa? Rendy?!" pekik mereka bersamaan."Jadi cowok itu berani menghubungi Lo?" seru Mitha sambil membulatkan matanya.Aku hanya mengangguk kecil beberapa kali."Apa yang dia bilang, apa dia menyampaikan alasan kenapa tidak datang waktu itu?" tambah Ghea."Dia minta ketemu sama G
Di layar ponselku terlihat kalau pria itu seperti sedang duduk di dalam mobil, tapi mobil siapa. Rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki mobil. Tinggal saja di ruko, masa punya kendaraan sebagus itu. Atau mungkin jangan-jangan dia sedang numpang di mobil temannya. Tapi temannya siapa, pria itu ternyata penuh dengan misteri . Kalaupun dipikir lagi, bisa saja dia punya mobil, secara keluarga mereka kaya raya. Tapi kalau ia pun Om Do kaya raya dan punya banyak uang, kenapa dia mau tinggal di ruko.Akhirnya aku bersama dua temanku pergi ke tempat yang alamatnya sudah dikirimkan oleh Rendy. Sebuah cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Aku menumpang pada mobil Mitha sementara Ghea mengikuti kami dari belakang. Sesuai dengan rencana awal bahwa aku menunggu dulu di mobil yang diparkirkan agak jauh sementara Ghea dan Mitha mengecek terlebih dahulu ke dalam cafe.Beberapa menit setelah mereka pergi minta menghubungiku."Gue tidak melihat Rendy di sini," ucapnya setengah berbisik.
"Kamu mau beli apa sebenarnya tadi?" Pertanyaan itu menyambutku ketika aku masuk ke dalam ruko dan mendapati pria itu sudah ada di depan televisi. Matanya menatap lurus pada benda itu, posisinya tidak berubah bahkan saat bertanya sekalipun. Tapi dari mana dia tahu, kalau aku tidak membawa sesuatu.Jelas saja aku jadi bingung karena memang aku tidak membeli apapun. Padahal tadi pamit mau membeli keperluan pribadiku. Ah, kenapa aku ceroboh?"Eum ... kebetulan barang yang aku mau beli itu tidak ada. Jadi aku tidak jadi belanja," jawabku asal karena bingung harus bilang apa. Sialnya lagi hal ini tidak pernah kepikiran hingga tidak mempersiapkan jawaban."Memangnya yang mau kamu beli itu barang langka? Hingga di kota ini semua toko tidak menjualnya. Kamu bisa pergi ke toko lain 'kan untuk mendapatkannya. Kalau itu hanya sekedar bedak, lipstik atau lotion." Pria itu bangkit lalu berdiri menghadapku.Mendapat pertanyaan seperti itu aku semakin bingung karena jawaban yang tadi aku berikan itu