Lani masih mengingat semuanya. Ingatan itu rupanya masih membekas dan dia memang ketakutan saat itu. Beruntung Kak Nur datang tepat waktu dan menyelamatkan kami. Masa-masa itu memang begitu menyakitkan untuk kami. Namun, akan tetap menyakitkan jika kita tidak mengambil hikmah dari semua kejadian itu."Dan dari kejadian itu, kita dipertemukan dengan Kak Nur yang sampai sekarang bersama kita. Kalau tidak ada kejadian itu, kita tidak mungkin bertemu dengan Kak Nur dan juga akhirnya bertemu Mbak Fika. Terus, sekarang ada Nuri kecil yang sangat cantik. Iya, kan?"Lani hanya mengangguk meski terlihat terpaksa dan pandangannya tertuju padaku, sementara Fajar hanya diam mendengarkan. "Aku juga senang karena bertemu dengan Kak Nur, lalu kita tinggal di rumahnya. Baik sekali Kak Nur ya, Kak, dia malah tidur di tempat lain agar kita bisa tidur nyaman di rumahnya. Beruntungnya punya Kak Nur." Ayah menjadi menangis tersedu-sedu, mungkin karena mendengar ucapan Lani yang merasa beruntung memiliki
"Aku masih menyayangi Ayah meski rasanya kecewa, tapi aku juga senang bertemu Ayah lagi." Lani tersenyum diiringi tangisnya. "Semoga aku selalu bisa memeluk Ayah."Aku pun tersenyum penuh haru. Lani memeluk Ayah, kami semua berpelukan. Meski rasa sakit itu masih terasa, tetapi tidak ada salahnya mencoba untuk mencari obatnya. Dan obat dari rasa sakit adalah mencoba menghilangkannya, meski tidak akan bisa hilang seketika. Syukurlah, Lani bisa menghilangkan rasa sakit hatinya."Kenapa semua berpelukan dan menangis?" Fajar bertanya lagi karena masih belum mengerti. "Kak Lani, kenapa menangis?""Kakak sedih, tapi juga bahagia." Lani menjawab."Aneh banget, Kak. Pilih salah satu aja biar aku paham.""Tapi aku merasakan keduanya, nggak bisa milih salah satu, Jar.""Sudah, sudah. Fajar belum mengerti, tapi nanti Kakak yang akan jelaskan," selaku."Fajar, maafkan Ayah." Ayah memeluk Fajar, Fajar hanya diam saja. Mungkin karena dia merasa tidak mengenal ayahnya sendiri. Selama ini dia mengangg
Hari ini kami mengadakan acara syukuran atas keberhasilan Andi, dan juga atas kelulusan Lani yang selalu meraih juara pertama. Beberapa tetangga sudah membantu acara ini berlangsung. Tenda dan kursi disiapkan oleh bapak-bapak, sementara ibu-ibu menyiapkan makanan yang akan disajikan. Hanya acara doa bersama dan makan-makan, tetapi hal ini membuatku begitu bersemangat. Mbak Fika dan Kak Nur juga sudah datang dengan Nuri yang kini sudah sekolah TK. "Semua orang sudah hadir, ayo kita mulai doanya. Nanti setelah itu dilanjut dengan acara makan-makan." Andi mengingatkan. "Sebentar ya, Ndi, tunggu dulu," ujarku. "Nunggu siapa, Kak? Oh iya, pasti nunggu Pak Mardi, ya?" tanya Andi seraya menepuk keningnya. "Iya." "Kalau gitu, aku ke sana dulu sambil nunggu. Temen-temen deketku juga datang, Kak. Nggak apa-apa, kan?" "Iya, nggak apa-apa, kok." Aku biarkan Andi bergabung dengan teman-temannya terlebih dahulu. Aku bukan hanya sedang menunggu Pak Mardi, tetapi juga Ayah. Sejak istrinya men
Aku menyernyit mendengar ucapan Ayah barusan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa yang melakukan hal kejam itu pada Ayah."Kenapa dipukuli? Apa Ayah tahu siapa yang melakukan itu?" tanyaku merasa kasihan."Sudahlah, Nak, tidak usah dipikirkan. Lagi pula Ayah tidak ingat siapa saja yang memukuli Ayah waktu itu. Yang penting sekarang Ayah bisa lihat kalian tumbuh dengan sehat dan bahagia, itu saja," papar Ayah, sembari tersenyum padaku.Sebenarnya aku masih penasaran, tetapi tidak mungkin bertanya lagi. Aku tidak ingin membuat Ayah sedih lagi. Sepertinya Ayah tidak ingin aku mengetahuinya."Ya sudah, aku akan panggilkan Kak Nur untuk mengantar Ayah pulang." Ayah mengangguk dan aku keluar dari kamar."Kak, Kak Nur bisa tolong anterin Ayah pulang, nggak?" Aku menghampiri Kak Nur yang sedang menyuapi Nuri. "Biar aku yang suapin Nuri. Nuri mau, kan, disuapin Tante Vina?""Iya, Tante, mau banget! Papi kalo nyuapin banyak banget soalnya, mulut Nuri jadi penuh kalo ngunyah," jawab Nur
"Dia yang kamu maksud itu adalah ayah kita, Ndi. Kamu nggak mau Ayah tinggal bersama kita, dan aku memang memintanya tinggal di rumah itu. Lagi pula Pak Mardi juga tinggal di sana, mereka hidup berdua. Lalu kenapa?" "Iya, Kak. Ayah memang pernah salah sama kita, tapi dia tetaplah ayah kita. Ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita, dan kita tidak bisa mengelak hal itu," sahut Lani.Andi menoleh pada Lani, lalu tersenyum kecut. "Jadi kamu juga sudah menerima dia, Lan? Baguslah! Pasti Fajar juga sudah kalian ajari untuk menghormatinya, kan? Ya, sekarang hanya aku yang dianggap sebagai anak yang durhaka karena tidak mau menerima dan memaafkan orang itu. Kalian adalah anak-anak yang baik, dan aku anak yang buruk.""Bukan begitu, Ndi." Aku mendekatinya."Bukan begitu lalu apa, Kak? Sudahlah, silakan saja kalian lakukan yang kalian mau. Aku benar-benar kecewa pada kalian! Kupikir hidup kita akan tenang, ternyata malah semakin rumit. Aku hanya ingin kita hidup berempat tanpa orang-or
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku dengan cepat."Kondisi pasien sangat kritis. Saat ini harus segera dilakukan operasi karena asam lambungnya sudah parah dan terjadi perdarahan. Operasi harus dilakukan dengan segera, jika tidak, maka akan memicu perdarahan kembali," papar dokter."Tapi, apakah dia bisa membaik setelah operasi?" tanyaku lagi."Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, tapi tentu saja, semua kembali lagi pada Sang Pencipta. Kita berdoa bersama untuk kesembuhan pasien, dan memasrahkan semua pada-Nya." Dokter menjelaskan."Baiklah, jika itu yang terbaik, kami setuju, Dok."Dokter mengangguk dan meminta perawat untuk segera mengatur jadwal operasi. Ibu dipindahkan dari ruangannya menuju ke ICU untuk perawatan lebih intensif sebelum operasi dilakukan. Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu, mengingat Ibu juga terkena demam berdarah."Semoga Bu Ratih segera membaik," ujar Mbak Fika."Kita doakan untuk kesembuhannya. Semoga operasinya berjalan dengan l
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita