Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d
AmiraKupandangi punggung Yoona dengan rasa iba. Sebagai anak seusia kelas 2 SMA, anak itu terlalu dini untuk bisa mengurusku sejauh ini. Bahkan dia tak segan-segan menjual kue hanya untuk mencukupi keuangan kami. Aku merasakan jika Yoona memang mengharapkan kesembuhanku. Yoona, dia adalah alasan mengapa aku harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Aku harus sembuh dari penyakit ini. Aku harus memperjuangkan putri semata wayangku itu.Sebelumnya aku hampir saja berputus asa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Aku pun tidak mengerti mengapa aku harus jatuh sakit di tengah-tengah himpitan ekonomi yang sedang tak baik. Boleh dikatakan Aku tak punya banyak tabungan untuk bisa kupakai berobat. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, ketika aku berjuang untuk sembuh, justru mas habib suamiku sibuk dengan Laila. Wanita yang sejak dulu memang sering ia puji-puji. Bahkan tindakan mas habib didukung pula oleh ibunya. Dua ujian ini seolah menyergapku pada masa titik terendah. Membuatku tidak p
Yoona"Yoona, kamu nampak sedih, kenapa? Bagaimana kondisi ibumu sekarang?" Jordan menghampiriku. "Ya, ibuku lebih baik sekarang," jawabku singkat."Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya," ucapnya kemudian."Kita ke kantin, yuk! Biar aku yang traktir," ajaknya.Aku menggeleng."Terimakasih, tapi aku sedang tidak lapar sekarang." jawabnya.Entahlah rasanya aku sangat tidak berselera. "Yakin tidak mau? Atau mau kubelikan lalu dibawakan kesini makanannya?"Lagi-lagi aku menggeleng."Tidak usah, Jordan! Aku beneran tidak lapar!" ucapku."Hmm.. baiklah kalau begitu. Aku tinggal dulu ya," dia tersenyum lalu melangkah meninggalkanku."Eh, Jordan! Tunggu dulu!" Sergahku cepat.Jordan sontak berhenti lalu memandangku."Kenapa?" katanya seperti heran."Menurutmu seperti apa wajahku?" tanyaku."Maksudmu?""Ah, tadi aku belum selesai bicara! Hmm, maksudku, menurutmu aku lebih mirip ibu atau mirip ayahku?" Tanyaku.Jordan tampak mengernyitkan dahi."Pertanyaanmu aneh, Yoona. Semu
Sudah dua minggu akhirnya aku terpaksa stop mengunakan skincare. Termasuk skincare paling basic sekalipun. Mas Habib sangat pelit mengeluarkan uangnya untuk itu. Tipe kulitku yang kering ini terasa semakin kusam tanpa adanya pelembab. Benar-benar aku tak memegang uang sepeserpun. Bagi seorang wanita yang terbiasa mandiri, tentu saja Ini adalah sesuatu yang sulit.Bahkan ketika aku meminta uang sedikit saja untuk membeli skin care termurah yang kuketahui, mas Habib menolak dengan halus."Uang dua Puluh ribu lebih bermanfaat kalau kita belikan bumbu dapur daripada untuk beli skin care, Sayang. Kan Mas sudah bilang sama kamu, kalau kamu tetap cantik apa adanya. Sehingga tidak perlu dipoles dengan bahan-bahan kimia buatan manusia, Aku khawatir nanti benda-benda seperti itu yang bisa merusak kecantikanmu. Tentu kamu sudah pernah lihat kan korban krim-krim yang katanya bagus itu? Aku tidak mau kalau kamu jadi korban selanjutnya." Begitulah jawaban yang ia berikan."Lagi pula, lebih baik
"Mas, aku tidak pernah melarang niatmu untuk membahagiakan keluargamu. Tapi tolong, jangan abaikan kami, Mas!" Aku berkata jujur dari lubuk hati yang paling dalam."Jadi kamu anggap aku abai? Mir, jangan jadi istri yang tidak pandai bersyukur! Kamu lihat sendiri, setiap hari kalian masih bisa makan dengan kenyang! Kalian belum pernah merasakan kekurangan. Kamu tahu itu! Aku mencukupi semuanya dengan tanpa kurang suatu apapun. Tapi sekarang kamu malah menganggapku abai. Apa maksudmu?" ujar Mas Habib."Iya aku tahu kami tidak pernah kelaparan! Tapi apa yang kami dapatkan memang sungguh benar-benar sekedar makan, tanpa memikirkan apa kandungan gizi yang kami makan. Tapi, Mas, hidup ini bukan hanya tentang bisa makan! Bahkan yang dimakanpun lseharusnya dipikirkan kelayakannya.""Jadi kamu pikir makan kalian tidak layak?" Mata Mas Habib melotot.Aku mengucapkan istighfar dalam benak ini. Sepertinya perselisihan tidak akan mudah selesai meski berdebat seharian."Sebenarnya aku hanya ingin M
Aku sedang membereskan dapur sebelum berangkat ke rumah Bu Sarah. Kulihat mas Habib sedang memperhatikanku. Entahlah apa yang dia pikirkan."Mir!" ujarnya."Ya, Mas,""Kenapa sekarang aku lihat kamu semakin kusam saja! Penampilan semakin kucel, apa kamu tidak pernah mandi? Tidak pernah wudhu? Rambutmu juga terlihat sangat kering dan berketombe begitu!" Aku tertawa lirih mendengar perkataannya. Tapi ini bukan tawa bahagia. Ini tawa yang mewakili kesedihan."Apa aku akan jadi cantik dan glowing hanya dengan mandi dan wudhu, Mas?" Tanyaku datar."Dan rambut ini kering dan berketombe karena tak cocok dengan shampo yang kamu beli, Mas! Tak ada pelembab rambut atau apa. Jadi maklum jadi kusam begini." Ketika membeli sesuatu, Mas Habib tidak pernah memberikan pilihan padaku, termasuk shampo, dia akan membeli yang termurah dan dapat lebih banyak. Tak peduli rambutku cocok atau tidak. Untuk protes, itu tidak berguna. Aku sudah mencoba, tapi dia hanya akan mengatakan aku terlalu banyak menunt
"Mbak Mir, ibu minta tolong sama mbak buat bantu-bantu." Elia berujar."Bantu-bantu rumah?""Iya, Mbak.""Maaf, El. Bukannya mbak tidak mau, tapi Mbak sibuk. Kamu saja yang bantu-bantu ibu ya, kan libur sekolah," ucapku.Seketika Elia mendelik."Aku?" ucapnya."Ya, kamu," jawabku."Apa mbak tidak tahu kalau aku belum terbiasa dengan seabrek pekerjaan rumah?" ucapannya seperti kurang suka demgan ucapanku tadi."Makanya harus dibiasakan, El. Kamu sudah cukup besar untuk bisa mengerjakan hal semacam itu. Kamu sudah Kelas dua SMA, sepertinya bukan anak kecil, kan?" Elia semakin tak suka. Tatapan matanya begitu tak bersahabat. "Ibuku saja tidak pernah bicara seperti itu, Mbak! Tapi baiklah, manti aku bilang ibu kalau Mbak tidak mau membantunya," Setelah selesai berbicara demikian, Elia langsung meninggalkanku dengan mulut mencibir. Anak itu memang terlalu dimanja. Aku tidak bisa terus-terusan menuruti keinginan mereka. Selain itu aku juga sibuk. Aku harus pergi ke rumah Bu Sarah. Beker
Bab 45Seharian ini pikiran tak tenang. Bayang-bayang Amira bersama seorang pria yang kulihat kemarin terus menghantui. Ada semacam rasa tak rela melihat kebersamaan tersebut. Aku tahu ini adalah perasaan yang salah, aku dan Amira sudah bercerai. Jadi tentu tidak ada hak bagiku untuk melarangnya Bersama siapapun yang dia sukai. Tapi masalahnya tidak sesingkat itu, jujur rasanya aku masih belum bisa berdamai dengan hati. Terlepas dari kesalahan apa yang telah Amira lakukan terhadap kami, rasa cinta masih tersisa untuknya.Amira memang sudah banyak berubah sekarang. Dan apakah dia memang mempunyai hubungan spesial dengan dokter tersebut atau tidak aku tidak tahu pasti. Tapi dari penglihatanku memang ada sebuah kedekatan di antara mereka. Hingga menyalakan api kecemburuan di hatiku. Memang aku mengetahui siapa Amira, dan rasanya susah dipercaya apabila seorang dokter bisa mencintai seorang wanita seperti Amira.Namun, jauh daripada itu aku harus mengakui jika Amira cukup bisa dise
Bab 44Sebenarnya aku ingin mengejar jejak langkah Amira. Tetapi lagi-lagi satpam sialan ini mencegah. "Amira ini adalah mantan istriku! Kamu tidak berhak untuk masuk ke dalam ranah pribadiku!" Aku menggertak."Kalau benar-benar masalah pribadi yang ingin anda bahas, sebaiknya jangan bahas di! Karena keamanan wilayah perkantoran ini berada dalam tanggung jawabku. Jadi tentu saja aku akan berusaha maksimal untuk turut menciptakan keamanan di sini!""Silakan pulang!" Satpam tersebut mengusir. Aku terpaksa menyingkir. Aku menelan saliva pikiran ini sungguh dibuat campur aduk.Melihat Amira yang meninggalkanku begitu saja, sungguh diri ini merasa tak berharga. Bahkan seseorang yang dulu takluk padaku pun sekarang sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Amira benar-benar keterlaluan.Terasa semua usahaku hari ini sia-sia. Bayang Ibu melintas di pelupuk mata. Maafkan anakmu ini Bu, belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Hati Amira amatlah busuk, bahkan untuk berbagi uang dari ruma
Bab 43Siapa gerangan yang berani diam-diam menggadai rumahku?Oh ya Tuhaan, aku melupakan sesuatu selama ini. Aku lupa bahwa sertifikat rumahku hilang. Aku memang ceroboh. Tapi siapa yang lancang mencuri sertifikat tersebut? Selama ini hanya beberapa orang saja yang bisa bebas keluar masuk di rumah.Yang pertama adalah ibuku. Apa ibuku yang mengambilnya? Tidak mungkin l! Ibuku bukan pencuri. Yang kedua Elia, tapi sama seperti Ibu Elia bukan pencuri.Lalu Laila, Aku ragu bila menuduh Laila yang mengambilnya. Toh dulu ketika mengetahui sertifikat itu hilang Laila juga turut bersamaku mencari sertifikat tersebut. Jadi Laila aku skip dari daftar orang-orang yang patut dicurigai.Kemudian orang berikutnya adalah Yoona dan Amira. Sesuai dugaan awal, kecurigaan ku tetap jatuh pada mereka berdua. Menemui mereka adalah sebuah pilihan yang tepat. Mereka tidak bisa semaunya menggadai rumah orang. Tidak tahu diri sekali mereka.Tapi jika aku menemui mereka sekarang juga, bagaimana dengan ibu
Bab 42"Tutup mulutmu Laila! Aku tak suka kamu mengatakan Ibuku seperti ini! Apa kamu menyumpahi agar Ibuku cepat meninggal? Haaa?" Aku sudah tak tahan lagi menahan kemarahan ini."Aku dan Aliya sibuk-sibuk di rumah sakit mengurus ibu yang tengah kesakitan memperjuangkan rasa sakit. Sedangkan kamu Ternyata sedang senang senang di sini! Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku! Di mana nuranimu!" Bibirku terus berkata. Amarahku benar-benar memuncak sekarang. Perbuatan Elia benar-benar sudah keterlaluan. "Kamu marah Aku di sini di rumah orang tuaku? Tidak bisa, Mas! Kamu tidak bisa mencegahku untuk pergi ke rumah orang tuaku! Kamu tidak bisa memaksaku hanya untuk mengurus keluargamu saja!" Laila malah melawanku dengan tidak menunjukkan rasa segan sedikitpun. Melihat kelakuannya saat ini, Aku sungguh dibuat murka. Dia adalah cerminan seorang istri yang tidak bisa menghormati suami dengan cara yang patut."Aku tidak memaksamu! Tapi kamu sendiri tidak ada inisiatif sedikitpun untuk me
Bab 41Ibu mertuaku stroke? Aduh ini tidak bisa kubayangkan. Tentu saja aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebab, jika mertuaku sakit, suamiku pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak Bersama sang ibu. Dan juga tentu kami akan kerepotan sekali. Ini nih definisi orang tua merepotkan.Dalam kekacauan ini, mataku mendapati satu sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.Elia? Dia ke sini? Apa maunya? Ck ck ck"Ada apa El?" Tanyaku cepat."Mbak, keadaan Ibu semakin memburuk. Dokter bilang kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oleh karena ini kita sebagai anak beliau, mau tidak mau harus saling topang menopang untuk membiayai ibu. Supaya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."Apaa? Dia bilang harus topang menopang dalam membiayai ibunya?"El, Mbak tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Karena Mbak sendiri tidak mempunyai cukup uang. Kamu tahu sendiri kalau selama ini kakakmu itu nganggur. Tentu saja kami tidak punya apa-apa. Jadi bagaimana mungkin kami bisa ikut mem
"Ibuuuu...!" Kekhawatiranku sedikit mulai berkurang ketika aku lihat ibu telah bisa membuka kelopak mata."Bu, Ibu sudah siuman. Syukurlah...," aku memeluknya erat.Namun sesaat kemudian, aku menyadari bahwa Ibu tidak menanggapi ucapanku. Aku menatap Ibu beberapa saat."Ha... Habib....," suara Ibu terdengar aneh.Mataku menyipit tatkala kudapati kenyataan bahwa wajah Ibu terlihat tidak simetris. Bicaranya tidak terdengar sempurna, tidak jelas, dan yang pasti ini tidak seperti biasanya."Ibuuu?" Kepanikanku mulai naik satu tingkat lagi.Sepertinya Ibu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terlihat tidak bisa menyampaikan keinginan beliau."Kita harus membawa ibu ke rumah sakit!" ucap ucapku cepat. "Bawa saja, Mas!" tanggap Laila."Kamu ikut?""Tidak."Aku kembali dibuat termangu."Kenapa tak ikut, Dik? Kalau kamu tak ikut bagaimana aku bisa membawa ibu ke rumah sakit? Siapa yang akan membantuku nantinya?ujarku padanya."Kamu bisa minta bayar taksi, Mas! Di rumah sakit ada dokter, p
Satu lagi kekecewaanku bertambah terhadap Laila. Aku sanggup menjual perhiasan ibuku demi untuk memberinya uang, akan tetapi ternyata Laila menggunakan uang-uang tersebut dengan membeli barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting.Seumur-umur Aku menikah dengan Amira, Amira tidak pernah menghambur-hamburkan uang secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh Laila.Ini bukan maksud membanding-bandingkan. Akan tetapi antara Laila dan Amira memang memiliki perbedaan yang kentara. Aku berkata begini karena aku memang merasakan perbedaan tersebut.Aku tahu Laila memang cantik, tapi tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar. Apalagi sampai memberi perintah pada orang tuaku seolah orang tuaku bukan sosok yang harus dihormati. Apabila ku tegur, dia malah main mengancam dengan membawa-bawa nama abahnya. Ini yang membuat situasiku sulit. Mengapa ya kalau dipikir-pikir rasanya hidup bersama Laila lebih membuatku kesusahan daripada ketika dulu masih bersama Amira. Dulu memang Amira tidak
HabibKutatap ponsel ini dengan hati yang menanggung pilu. Aku tahu status ini sudah bercerai, tapi apakah pantas seorang Amira berkata demikian padaku? Mengapa Amira tidak menerimaku bekerja di sana? Padahal seandainya saja Amira mau berpikir lebih panjang, mungkin dia tak akan lupa akan jasa yang pernah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun buruknya dia memandangku saat ini, tapi dia pernah menggantungkan hidup denganku. Apa dia lupa masa-masa itu?Tidak patut bagi seorang Amira mengabaikan aku dengan cara seburuk ini. Dia tak mengerti bagaimana kondisiku sekarang yang bisa dikatakan dalam kondisi sulit. Sudah sekian lama aku mencari pekerjaan belum ada yang cocok sama sekali, lebih tepatnya belum diterima. Seharusnya sebagai seorang yang pernah menjalani hidup bersama, Amira harus punya hati untuk menerima lamaran kerja aku. Sebegitu sulitnya bagi Amira untuk melakukan hal kecil tersebut? Benar-benar tidak mempunyai rasa terima kasih.Padahal sebelumnya kupikir Amira tidak akan b
"Yoona kamu habis bicara sama siapa?" Aku bertanya."Sama ayah," Yoona menjawab.Aku memperhatikan raut wajahnya yang nampak muram."Ibu lihat Yoona tampak sedih, memang apa yang telah ayah katakan?" aku kian menyelidiki."Rupanya Laila memberikan laporan palsu pada Ayah, hingga membuat ayah marah besar padaku," anak itu menjelaskan dengan raut wajah yang jauh dari kata ceria."Lalu? Apa kamu sudah coba jelaskan pada ayahmu tentang kebenarannya?""Sudah Bu. Tapi ayah lebih percaya perempuan itu," Sudah kuduga. Beginilah sifat laki-laki kebanyakan, selalu menukarkan anak di urutan kedua atau bahkan yang terakhir dalam prioritas hidupnya. Mau mengatakan sedih tapi ini memang kenyataan. Aku merangkul pundaknya. Aku kenal betul bagaimana kondisi anak ini ketika sedang dilanda kesedihan. "Bisa Yoona ceritakan kesedihan Yoona sama ibu?" Aku berujar lembut.Yoona menggangguk."Tentu,"Mulailah Yoona bicara. Menceritakan dari awal hingga akhir penggalan cerita yang menjadi sebab musabab ke