“Ah, ya, aku lupa bilang. Aku sekarang pindah ke samping rumah kalian.” Pria itu mengucap dengan senyum di wajahnya.“Apa?” Semua orang terkejut, terutama Haris. Yang merasa Reynand tidak mau melepaskan peluang kecil untuk terus berada di sisi Salma.“Kenapa semuanya terkejut begini?” Reynan tersenyum kecil. “Bukannya kalian senang punya tetangga baik sepertiku? Aku juga akan bantu mencari …..” Ucapannya menggantung. Hampir saja dia keceplosan menyebut nama Agni.“Mencari apa, Mas?” Salma mengerutkan kening. “Mungkin maksud dia mencari makanan untuk kita, karena kita baru dari rumah sakit.” Ibu Salma langsung menimpali. Paham situasi di depannya. Dia tidak mau meneruskan ucapan Reynand yang keceplosan. Untungnya tidak sampai menyebut nama Agni.Salma bahkan sampai menunda proses gugatan cerainya karena ingin fokus cepat sehat. Kalau sampai tahu Agni hilang, entah apa yang akan terjadi._____________“Assalamualaikum, Ustaz! Bukannya Allah membenci perceraian, tapi kira –kira adakah m
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka tampak serius sekali?” gumam Reynand yang memperhatikan rumah Haris.Dari balik jendela kaca terang yang terbuka gordennya itu, si duda tampan melihat empat orang di sana tampak serius dalam berdiskusi. Sekali wakti, ia bisa melihat ekspresi tegang dari semua orang. Bahkan Haris dan Salma yang juga bersitegang dan berdebat.Reynand mendesah berat. “Dasar Haris plin plan. Bukannya dia kemarin memintaku untuk menikahi Salma. Setelah bangun, pikirannya langsung berubah. Hiss.” Diarahkan tinju ke arah pria di kejauhan. Seolah dia ada di depannya.Ini adalah masa –masa terberat Salma, juga untuknya. Namun, satu hal yang ia yakini, kalau semua hal berat ini akan segera berlalu.Farhan rupanya memperhatikan itu. Jagoan kecil yang baru saja punya adik itu akhirnya tidak tahan untuk menanyakannya secara langsung.“Om, sedang apa?” tanyanya polos.“Ah?” Mata Reynand melebar dan seketika menurunkan pandangan menatap anak itu. “Oh ya ... ha ha. Om sedang pegel ini
Mata Haqi dan Farhan berbinar melihat kotak berisi bermacam –macam es krim. Dua tangan mungil mereka langsung bergerak membolak balik makanan dingin tersebut, untuk memilih mana yang akan mereka ambil. Melihat itu, Reynand tersenyum senang. Menyenangkan anak kecil tidak sesulit yang dibayangkan.“Kalian mau yang mana?” tanya pria itu.Haqi atau pun adiknya tidak menjawab dan terus membolak balik es krim –es krim itu karena bingung mau mengambil yang mana. Raynand mendecih karenanya. Kelakuan anak –anak memang konyol. Kalau saja hanya memberinya satu mereka pasti akan langsung mengamblilnya. Namun, karena banyak pilihan malah tidak tahu harus mengambil yang mana.“Kalian bingung, ya?” tanya Reynand lagi.Lagi, ke duanya tetap tidak menjawab.“Hei, Taqi. Kamu tidak menjawab Om? Uwahhh ... jadi Om diabaikan begitu kalian menemukan benda –benda ini? Ckck.” Reynand menggeleng –gelengkan kepala.Haqi mendongak sambil meringis ke arah Reynand. “Hehe, semuanya enak, Om. Jadi bingung.” Anak ke
“Ini soal Agni dan Lily, aku nggak terima ya Mas. Aku akan laporkan anak kamu!”“Apa? Agni? Dia sudah ketemu!? Tapi ....”“Cepat kemari!” teriak Nanda tak sabar.“Nan, ada apa sebenarnya?” tanya Haris yang kemudian jadi ikut panik juga bingung. Namun, tidak ada jawaban dari ujung telepon tersebut, dan begitu memeriksanya dengan melihat layar ponsel, rupanya Nanda sudah memutuskan sepihak panggilan mereka.Ibu Salma yang tahu bahwa Haris menerima telepon, menghentikan langkah tanpa menoleh ke arah pria yang masih berstatus sebagai anaknya itu. Dia ingin tahu, sebenarnya apa saja yang Haris lakukan? Kenapa dia keukeh sekali ingin kembali pada Salma.Jujur saja meski Haris mengatakan dia sudah benar –benar berpisah dengan istri mudanya, Ibu Salma memiliki rasa dan pikiran yang sama dengan putrinya –bahwa dia tidak percaya ucapan pria itu. Sekali berbohong seseorang tidak akan dipercayai lagi, apa lagi Haris sudah melakukannya lebih dari sekali. Dan bahkan Salma sudah pernah memberinya ke
“Apa Bibi mau Rey antar ke sana?” tanya Reynand. Dia tak tega melihat Bibi yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri itu tampak begitu gelisah.“Ke mana, Rey?” tanya Aminah.“Menemui Agni, Bi. Bukannya Bibi juga ingin memarahinya karena dia pergi nggak bilang –bilang? Ini tiga hari lho, dan dia nongol gitu aja. Pasti dia sengaja sembunyi.” Reynand sengaja berkata hal tidak –tidak karena tidak mau Bibinya itu terus berpikir hal buruk mengenai kondisi Agni.“Apa kamu tidak sibuk?” tanya Bibi kemudian.“Hem, sibuk mah selalu, Bi. Tapi kalau nuruti sibuk kapan kita bisa santai dan happy?” sahut Reynand.Bibi terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah rumah. Di mana Salma ada di dalam sana. Karenanya Reynand mengikuti arah tatapan wanita tua itu dan menerka apa yang dipikirkan.“Tenang saja, Bi. Ada Hania yang menjaga Uminya. Kalau perlu kita bawa Haqi dan Farhan sekalian jalan –jalan biar tidak merepotkan di rumah.” Reynand menyambung ucapannya seolah tahu apa yang ada di kepala wanita tua it
“Mbak!” panggil Wawan. Pria itu tengah menjaga kasir di klinik menggantikan pegawainya.Rus menghentikan langkah. Menoleh ke asal suara. Saat itu, ia melihat adik lelakinya berjalan mendekat ke arah wanita yang usianya sudah menginjak 60 tahun tersebut. Ibu Inggit itu menghela napas berat.Ia merasa wajar jika Wawan ada di tempat itu, karena memang klinik itu adalah sebagai tempat bekerjanya sehari –hari.“Dari mana?” tanya pria beristri dua itu. Wawan lalu melongok ke arah asal sang kakak berjalan tadi. Lalu dia paham, kalau wanita itu datang dari rumah lamanya. “Oh.” Mulutnya membulat.Wawan seolah sedang menjawab pertanyaannya sendiri.“Sebentar.” Pria itu terpikirkan sesuatu yang membuatnya terkejut.“Apa? Kenapa?” tanya Rus masih menyimpan kesal pada adiknya itu.“Jangan –jangan, Mbak dan Inggit berniat akan tinggal di rumah itu lagi?” Matanya melebar. Menebak sendiri dan bereaksi sendiri.Rus terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa? Karena bahkan dia tidak tahu apa ada uang
Di waktu yang sama, suara ketukan terdengar di pintu. Karena terjadi saat suasana dalam ruangan itu hening, Haris dan semua orang bisa mendengarnya.“Siapa itu? Kamu memanggil polisi!” Mata Haris melotot ke arah adiknya.Dua alis Nanda tertaut. Memikirkan pertanyaan sang kakak. Lalu menggeleng, karena memang dia tidak menghubungi siapa pun sebab larangan Mamanya.“Lihatlah, Ris!” titah sang Mama pada anak lelakinya. Tanpa berpikir panjang, pria itu pun melangkah ke luar kamar dan bergerak ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.Jantungnya terus berdebar tak menentu. Sakit melihat ponakannya mati di tangan anak yang sangat dia cintai. Pikirannya kalut, membayangkan bagaimana Agni digelandang ke kantor polisi, lalu berita tentang perbuatannya viral dan menghancurkan masa depannya.Saat membuka gorden, rupanya Ibu mertua dan Reynand sudah berdiri di sana. Ada perasaan lega, karena yang datang adalah keluarganya sendiri, yang kemungkinan besar ada di pihaknya dan bisa diajak kerja
“Tolong Nanda, aku akan bertanggung jawab. Aku akan mengganti posisi Lily dengan anakku, tapi tolong lindungi Agni sekali ini saja. Kamu juga bertanggung jawab karena menyembunyikan Agni dariku kan?!” Haris melebarkan mata sembari memegangi dua pundak Ibu Lily.“Iya Mas, kamu benar. Tapi menyembunyikan perbuatan Agni dan membiarkanku konyol seperti ini, tidak sebanding dengan itu!”“Heh!” Haris tersenyum miris. Adiknya sangat keras kepala. Apalagi saat ia merasa dirugikan seperti sekarang. “Sudahlah Nanda! Haris benar. Kamu –lah yang salah. Setelah memutuskan menyembunyikan Agni, seharusnya kamu menjaganya. Bukan sibuk sendiri dan membiarkan mereka tanpa pengawasan.” Ibu Haris juga Nanda pun ikut bicara menengahi.“Yah, sekali kamu lapor polisi, aku juga akan memproses perbuatanmu menyembunyikan Agni sebagai tindakan peculikan.” Haris menggertak.“Apa?” Nanda makin kesal saja.“Sudah, sudah. Sekarang bukan saatnya bertengkar. Sebaiknya kita urus jenazah Lily.” Ibu Salma menengahi. “M
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku