“Assalamualaikum, Bu.”“Waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam sambil menangis.“Ada apa, Bu?” tanyaku dengan jantung berdebar. Firasatku sangat buruk tentang ini.“Nduk, Salma. Bapak meninggal. Ibu sekarang ada di rumah sakit.”Aku tak bisa berkata –kata mendengarnya. Dalam sekejap, keinginan untuk mencari tahu alamat rumah yang kudapat dari token listrik tersebut hilang. Aku terlalu syok. Dan hanya bisa memikirkan Bapak. Pria yang selama ini merawat dan menjagaku dengan segenap jiwanya telah kembali ke pangkuan Tuhan. Dia meninggalkanku.“Umi ....” Suara lembut anak sulungku Azkia terdengar. Gadis berusia 14 tahun tersebut menarik dasterku.Yah, andai dia tidak sedang libur dari pondok, aku pasti sangat keteteran ditinggal Mas Haris begini. Dialah yang membantu, dan satu adiknya lagi yang belum mondok berusia 11 tahun, Hania.“Ada apa, Umi?” tanyanya yang melihatku masih syok dan menangis tanpa suara.Anak –anak yang lain pun datang, karena Hania menggendong adiknya yang balita ikut me
“Pak Karim?” gumamku.“Yah?” Suamiku terhenyak mendengar nama itu. “Siniin ponselnya!”“Hem?” Aku jadi ikut heran sekaligus bingung kenapa sikapnya langsung berubah begitu? [ Mas, ada rencana ke sini? ] tulis nomor kontak bernama Pak Karim.“Kenapa sepertinya ini bukan chat pertama ya, Bi?” ketusku.“Umi ngomong apa, sih? Ya, biasa aja orang chat Cuma nanya gitu. Salahnya di mana?” Mas Haris mulai terlihat sewot menanggapiku.“Ya aneh gitu, Bi. Nggak ada angin nggak ada hujan lho. Tiba –tiba tanya, Mas Haris ada rencana ke sini? Apa Mas terbiasa berkunjung ke sana?” tanyaku.“Enggak. Umi lihat ada chat lain gak selain itu? Kalau enggak ya berarti emang nggak ada apa –apa. Lagi pula untuk apa Abi jauh –jauh ke sana? Rumahnya itu di luar kota. Umi tahu lho betapa sibuknya sehari –hari. Semua waktu Abi kan buat Umi. Apa kurang?”Kenapa dia jadi bicara panjang begitu. Aku nggak perlu penjelasan sejauh itu. Mengungkit apa yang seharusnya menjadi hakku sebagai seorang istri. Dia bekerja da
Diam –diam aku akan mencari tahu sendiri apa yang ingin aku ketahui. Lalu berniat mencocokkan dengan perkataan Mas Haris. Ya Tuhan, baru ini aku meragukannya. Sebelumnya mana pernah ucapan pria itu mengganggu pikiran. Karena memang tak pernah ada hal mencurigakan yang Mas Haris lakukan sebelumnya.“Oya, Bi sepertinya Umi sudah cukup lama gak ke Majlis.” Aku meminta izin ke majlis. Pasti akan ada info yang bisa kudapat di sana juga. Aku penasaran kenapa Pak Wawan dan jamaah lain tidak pernah lagi menggoda dan memprovokasi suamiku?“Untuk apa?”“Untuk apa? Bukannya dulu Abi yang bilang kalau kita harus menyisihkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Abi tidak pernah ada waktu mengajarkan apa yang Abi dapat di Majlis dan ....”“Umi tahu bukan kalau kalau Abi sibuk. Dan bukankah Umi sedang hamil? Apa tidak sebaiknya di rumah saja, mendengar kajian di radio kan juga bisa. Sama saja isinya.”“Justru sedang hamil itu harus lebih sering dibawa ngaji. Jadi bayi kita akan terbiasa. Apa lagi, baru i
Sampai di rumah, aku masih beraktifitas seperti biasa. Tidak ingin memperlihatkan bahwa sedang bergerilya mencari kebenaran. Mas Haris juga berusaha memanjakanku, dia bahkan mengajakku berhubungan padahal selama ini dia tidak segila ini memperlakukanku. Sudah lama tepatnya, entah kenapa gairahnya berbeda.Dan akhirnya aku tahu alasannya begitu hangat hari ini. Dia sudah tak sabar kembali ke aktifitas normalnya dulu. Aku tak menunjukkan perasaan tak enakku dan seolah semua berjalan seperti biasa. Aku tahu, dia juga pasti sangat terganggu dengan protesku selama ini.“Abi pergi dulu, ya Mi.” Pria itu mengusap rambutku perlahan. Sudah lama sekali dia tak seperti ini. Apa harus protes dulu, baru dia ingat istrinya ini minta diperhatikan?Ini kesempatan yang tak boleh kusiakan. Mencari tahu segala hal yang selama ini tertunda. Mas Haris pikir, aku pasti memilih menurut padanya dan tak lagi mempermasalahkan. Mana bisa? Aku juga seorang wanita biasa. Tidak akan diam saja ketika hal mencurigak
Jantungku berdebar tak menentu, bahkan ketika sudah lebih satu jam berada di dalam mobil. Jauh sekali alamat ini.Suara notif di ponsel mengalihkan perhatian. Menjeda ketegangan yang merayap memenuhi hati sampai kepala. Aku seperti akan menemui hal besar di depan sana. Padahal, belum pasti itu apa.Kurogoh ponsel dalam tas jinjing yang kubawa. Mengambil benda pipih yang tadi berbunyi dan langsung fokus pada pesan yang masuk ke sana. Pesan itu rupanya datang dari Hania.[ Umi, sudah di mana? Apa sudah sampai? Apa Umi baik –baik saja? Nggak usah pikirin kami di sini. Kami baik –baik saja Umi. Ini juga udah bilang ke Mbak Mur kalau Umi ada urusan.Katanya mau nginep sini, nemenin Hania. ]Aku tersenyum. Lega juga mendengar Mbak yang biasa dipanggil bantu –bantu ke rumah saat benar –benar keteteran mau datang. Beliau ini hanya tinggal dengan suaminya yang sakit –sakitan. Rumahnya juga hanya berjarak satu rumah dengan rumah kami.Aneh juga, kenapa aku tidak kepikiran sama sekali untuk memin
Keringat dingin memenuhi telapak tangan. Sementara aku berjalan menuju pintu rumah yang ditunjuk pemiliknya tadi dengan gemetar. Pertanyaan demi pertanyaan semakin banyak dan menumpuk memenuhi isi kepala. Sedang apa Mas Haris di sana? Ya Tuhan, katanya mereka sudah menikah? Apa ini benar? Apa dia Mas Harisku? Suamiku dan ayah dari anak –anakku? Jangan –jangan bukan? Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu bukan? Semunya sudah jelas. Betapa banyak Mas Haris selama ini berubah dan berbohong tentang penerima token listrik itu, sudah cukup menjelaskan bahwa lelaki di dalam sana memang Mas Haris. “Assalamu alaikum!” Aku berteriak mengucap salam diiringi gedoran yang kulakukan lantaran tak sabar, ingin pintu pagar ini lekas dibuka oleh pemiliknya. Dua kali, tiga kali tak juga ada jawaban. Bahkan untuk ke sekian puluh kali aku menggedor dan memanggil nama suamiku, pria itu tak juga kunjung dibuka.“Abi! Abi! Buka Bi!” Wajahku sudah penuh jejak air mata. Sesuatu yang tak bisa kutahan –tahan
Dan betapa terkejutnya aku, melihat suami bersama seorang wanita muda yang kulihat tempo hari. Wajah cantik gadis belia yang tak bisa kulupakan, anaknya Pak Karim.“Astagfirullah.” Kupegangi dada yang terasa begitu sesak. Tak ada kata yang bisa kuucap selain istigfar dan dilanjutkan teriakan bercampur tangis meluapkan keterkejutanku.Kontan Mas Haris mendekat dan berusaha memelukku. Pasti niatnya adalah agar aku tenang dan bisa diajak bicara. Aku berontak dan menepisnya agar menjauh. “Apa ini, Bi?!” tanyaku dengan suara serak.“Tenanglah, Mi. Biar Abi jelasin.”Aku menggeleng. Tak butuh penjelasannya. Semua sudah jelas bahwa pria itu telah menipuku. Jika dia menjelaskan, pasti isinya juga tipuan –tipuan.“Mi ... ayolah. Nggak enak.” Pria itu berusaha membujukku agar bisa diajak bicara baik –baik.Wanita muda yang dipanggil Ibu Inggit oleh pemilik rumah itu hanya membeku di sudut ruangan itu. Aneh juga, padahal dia masih muda dan cantik begitu, kenapa dipanggil ibu oleh orang itu? Ket
“Ya, sudah. Kalau memang Abi lebih mencintai dia ketimbang Umi dan anak –anak, ceraikan saja Umi. Abi nggak bisa kaya gini! Pilih salah satu! Umi dan anak –anak atau dia! Ceraikan Umi atau dia!”Mungkin aku terlalu gegabah tanpa memikirkan apa yang akan kulakukan jika Mas Haris benar –benar menceraikanku nanti? Amarah sedang menguasai. Yang kumau sekarang masalah ini selesai dalam sekejap dan melonggarkan dada ini.Tapi setidaknya aku bisa menggertak. Lihat apa dia sanggup melepaskan wanita yang meski tak lagi secantik perempuan muda itu, aku adalah seseorang yang sudah bertaruh nyawa melahirkan anak –anaknya. Mungkin, saat bermesraan dia lupa, kalau dulu menangisi keadaanku yang sempat drop usai melahirkan Hania. Lalu dia berjanji tidak akan membuat menderita dan membahagiakanku selamanya.Yah setan memang begitu, bisa mengajak orang lain lupa di mana tempat yang seharusnya. Aku sangat membenci perempuan bernama Inggit Binti Karim itu. Pantas saja Bapaknya terus memberi upah besar se
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku