Jantungku berdebar tak menentu, bahkan ketika sudah lebih satu jam berada di dalam mobil. Jauh sekali alamat ini.
Suara notif di ponsel mengalihkan perhatian. Menjeda ketegangan yang merayap memenuhi hati sampai kepala. Aku seperti akan menemui hal besar di depan sana. Padahal, belum pasti itu apa.Kurogoh ponsel dalam tas jinjing yang kubawa. Mengambil benda pipih yang tadi berbunyi dan langsung fokus pada pesan yang masuk ke sana. Pesan itu rupanya datang dari Hania.[ Umi, sudah di mana? Apa sudah sampai? Apa Umi baik –baik saja? Nggak usah pikirin kami di sini. Kami baik –baik saja Umi. Ini juga udah bilang ke Mbak Mur kalau Umi ada urusan.Katanya mau nginep sini, nemenin Hania. ]Aku tersenyum. Lega juga mendengar Mbak yang biasa dipanggil bantu –bantu ke rumah saat benar –benar keteteran mau datang. Beliau ini hanya tinggal dengan suaminya yang sakit –sakitan. Rumahnya juga hanya berjarak satu rumah dengan rumah kami.Aneh juga, kenapa aku tidak kepikiran sama sekali untuk meminta bantuan Mbak Mur. Padahal, kalau dari awal pasti bisa pergi lebih awal pula. Mungkin, karena pikiranku terlalu fokus dan curiga pada Mas Haris, sampai mengenyampinkan hal lain.Aku pun membalas pesan anak sholehahku tersebut.[ Alhamdulillah kalau begitu, Sholihah. Baik –baik, ya. Umi usahain pulangnya cepat. ]Tak sampai satu menit, pesan balasan kembali muncul.[ Inggih, Mi. ]Bibirku sontak tertarik ke kedua sisi membentuk senyuman. Gadisku itu sudah memiliki pemikiran orang dewasa, yang membuatku sebagai Ibu terharu.Akhirnya mobil yang membawaku memasuki perumahan yang lumayan bisa dikata mewah, sebab bangunan per rumahnya dipagar tinggi. Aneh. Kenapa Mas Haris memilih kantor cabang di tempat begini? Bukannya dia bilang kemarin di jalan besar? Apa dia benar –benar berbohong padaku? Atau aku yang salah ingat ucapannya sebab fokus pada nomor Pak Karim dan nomor baru yang masuk.Entahlah, semuanya akan terjawab sekarang. Setelah aku masuk dan bertemu penghuni rumah itu. karena tampaknya semua rumah lampunya menyala di sini, jadi aku yakin tidak ada rumah kosong.“Mbak, nanti tunggu saya sekalian, ya. Mungkin paling lama satu jam, saya hanya perlu memeriksa sesuatu,” pintaku pada driver wanita yang kini menunggu pembayaran tarif dariku.“Baik, Mbak. Kalau gitu saya buka orderan di sekitar sini dulu.”“Terima kasih.”Kakiku pun terayun ke tanah asing kota ini, jangan ditanya bagaimana debar jantungku? Aku seperti sudah tahu kalau suamiku berselingkuh dan akan menangkap basah wanita yang menggodanya. Yah, seperti itu sakit hatiku hanya karena prasangka. Berharap semua itu tak akan pernah menjadi nyata.Namun, nyatanya aku salah.“Assalamualaikum,” ucapku pada seorang pria yang berjalan dari arah dalam kompleks.“Waalaikumsalam.” Pria paruh baya itu tersenyum ramah. “Ibu sedang mencari siapa?”“Saya ingin berkunjung ke alamat ini, Pak.” Kuperlihatkan kertas yang kubawa, berisikan alamat rumah dari token listrik.“Oh ya benar yang itu rumahnya! Beliau menyewa rumah saya. Wah, keluarganya ya Bu? Keluarga Mbak Inggit?” tanyanya kemudian.“Siapa Mbak Inggit?”“Itu istrinya Bapak Haris. Mereka kan tinggal di sini. Mereka itu memang baik sekali pada warga di sini.”Seperti ada palu yang menghantam kepalaku. Nyeri sampai ke hati. Ya Allah apa aku tidak salah dengar.“Bapak Haris Cahya bukan Pak?” tanyaku lagi memastikan.“Benar.”“Saya istri Bapak Haris Cahya Pak!” ucapanku menekan. Tidak terima wanita lain disebut sebagai istri dari suamiku.Seketika wajah pria itu pias. Air mukanya berubah. “Ehm, itu ....”Tak ingin berlama-lama membuang waktu aku pun melewati pria yang katanya pemilik rumah kontrakan tersebut, bergerak ke arah rumah yang ditunjuknya tadi. Kugedor-gedor pagar agar orang di dalam mendengar dan segera ke luar. Tapi tak juga ada jawaban, padahal orang tadi bilang kalau perempuan bernama Inggit ada di dalam sana bersama suaminya.Astaghfirullah, dadaku rasanya terbakar dan rasanya ingin membakar bangunan ini segera.Bersambung .....Selamat ya buat nama2 pemenang koin. Jangan lupa digunakan buat buka bab2 berkunci cerita Wafa nantinya. Haha.Keringat dingin memenuhi telapak tangan. Sementara aku berjalan menuju pintu rumah yang ditunjuk pemiliknya tadi dengan gemetar. Pertanyaan demi pertanyaan semakin banyak dan menumpuk memenuhi isi kepala. Sedang apa Mas Haris di sana? Ya Tuhan, katanya mereka sudah menikah? Apa ini benar? Apa dia Mas Harisku? Suamiku dan ayah dari anak –anakku? Jangan –jangan bukan? Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu bukan? Semunya sudah jelas. Betapa banyak Mas Haris selama ini berubah dan berbohong tentang penerima token listrik itu, sudah cukup menjelaskan bahwa lelaki di dalam sana memang Mas Haris. “Assalamu alaikum!” Aku berteriak mengucap salam diiringi gedoran yang kulakukan lantaran tak sabar, ingin pintu pagar ini lekas dibuka oleh pemiliknya. Dua kali, tiga kali tak juga ada jawaban. Bahkan untuk ke sekian puluh kali aku menggedor dan memanggil nama suamiku, pria itu tak juga kunjung dibuka.“Abi! Abi! Buka Bi!” Wajahku sudah penuh jejak air mata. Sesuatu yang tak bisa kutahan –tahan
Dan betapa terkejutnya aku, melihat suami bersama seorang wanita muda yang kulihat tempo hari. Wajah cantik gadis belia yang tak bisa kulupakan, anaknya Pak Karim.“Astagfirullah.” Kupegangi dada yang terasa begitu sesak. Tak ada kata yang bisa kuucap selain istigfar dan dilanjutkan teriakan bercampur tangis meluapkan keterkejutanku.Kontan Mas Haris mendekat dan berusaha memelukku. Pasti niatnya adalah agar aku tenang dan bisa diajak bicara. Aku berontak dan menepisnya agar menjauh. “Apa ini, Bi?!” tanyaku dengan suara serak.“Tenanglah, Mi. Biar Abi jelasin.”Aku menggeleng. Tak butuh penjelasannya. Semua sudah jelas bahwa pria itu telah menipuku. Jika dia menjelaskan, pasti isinya juga tipuan –tipuan.“Mi ... ayolah. Nggak enak.” Pria itu berusaha membujukku agar bisa diajak bicara baik –baik.Wanita muda yang dipanggil Ibu Inggit oleh pemilik rumah itu hanya membeku di sudut ruangan itu. Aneh juga, padahal dia masih muda dan cantik begitu, kenapa dipanggil ibu oleh orang itu? Ket
“Ya, sudah. Kalau memang Abi lebih mencintai dia ketimbang Umi dan anak –anak, ceraikan saja Umi. Abi nggak bisa kaya gini! Pilih salah satu! Umi dan anak –anak atau dia! Ceraikan Umi atau dia!”Mungkin aku terlalu gegabah tanpa memikirkan apa yang akan kulakukan jika Mas Haris benar –benar menceraikanku nanti? Amarah sedang menguasai. Yang kumau sekarang masalah ini selesai dalam sekejap dan melonggarkan dada ini.Tapi setidaknya aku bisa menggertak. Lihat apa dia sanggup melepaskan wanita yang meski tak lagi secantik perempuan muda itu, aku adalah seseorang yang sudah bertaruh nyawa melahirkan anak –anaknya. Mungkin, saat bermesraan dia lupa, kalau dulu menangisi keadaanku yang sempat drop usai melahirkan Hania. Lalu dia berjanji tidak akan membuat menderita dan membahagiakanku selamanya.Yah setan memang begitu, bisa mengajak orang lain lupa di mana tempat yang seharusnya. Aku sangat membenci perempuan bernama Inggit Binti Karim itu. Pantas saja Bapaknya terus memberi upah besar se
“Ya, ya baik. Aku ceraikan Inggit, Mi!” Ucapan itu akhirnya terdengar juga.Untuk sekarang aku menang. Tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada tiga bulan, untuk memastikan bahwa Mas Haris benar –benar menceraikannya dan tak akan pernah merujuknya.“Inggit Winarsih Binti Abdul Karim aku jatuhkan talak satu padamu.” Mas Haris mengucap itu seolah –olah adalah legalitas untuk perceraian mereka.Inggit menangis tersedu –sedu. Ke dua bahunya terguncang. Lebih menyedihkan tak ada yang berusaha menenangkannya. Karena kami di sini bahkan hanya bertiga. Ke mana Pak Karim? Bapak yang sudah menyodorkan anaknya untuk menghancurkan kehidupan orang lain?Sekarang, dia terang –terangan jadi pengecut yang bersembunyi meski mendengar suara ribut di rumah anak dan menantunya tinggal. Benar –benar pria tak tahu malu. Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan, karena jelas –jelas tadi pemilik rumah –rumah yang disewakan di lingkungan ini bilang bahwa Mas Haris tinggal berdekatan dengan mertuanya.Dan
Kuarahkan tatapan ke depan, di mana Mas Haris berdiri membeku menghadap ke mobil. Akan tetapi tatapannya mengarah ke pintu di mana dia dan Inggit tinggal. Tempat yang menjadi saksi bisu mereka menghabiskan waktu bersama selama ini. Hatiku sakit membayangkan itu, sampai –sampai kupejamkan mata menahan nyerinya.Apa saat bersama Inggit, tak sekalipun Mas Haris ingat padaku?Padahal dia satu –satunya pria yang kuterima cintanya. Seorang pria yang dulu mengucap janji akan terus setia dan membahagiakanku.Apa dia juga tidak ingat pada anak –anaknya yang lahir dari rahimku? Anak –anak yang membuatnya ikut menangis saat mereka menangis kali pertama di dunia ini? Anak –anak yang katanya lebih dia cintai dari harta dunia?Hebat sekali Inggit bisa membuat Mas Haris melupakan semua itu.Mataku memanas. Air mata kembali mengalir hangat merayap di pipi. Bahkan mata ini sudah terasa perih karena terus menangis dari tadi. Tapi tetap saja ke luarnya tak bisa ditahan –tahan.Dari ekor mata, kulihat Ma
“Mas!” Suara berat seorang pria terdengar.Namun, karena merasa tak dipanggil, sebab di sini, yang bergerak ke luar Mushola, ada banyak sekali orang. Tentu saja mereka semua adalah para laki –laki yang juga memiliki panggilan sama ‘Mas.’“Mas Haris!” Begitu tepukan kecil di bahu diikuti menyebutkan namaku, lalu dilanjut dengan usapan beberapa kali di sana. Barulah aku sadar bahwa memang panggilan itu ditujukan untukku.Aku yang tengah mengepaskan sandal di ke dua kaki pun menoleh, untuk melihat siapa orang tersebut. Sebuah senyuman lebar kutemukan di wajah seorang pria paruh baya. Pria yang sedari awal menyapaku dengan hangat. Ya, walau semua orang di sini sikapnya ramah dan hangat, pria ini adalah salah satu yang paling ramah itu.“Bagaimana kabarnya?” tanya pria yang wajahnya selalu dihiasi senyuman itu. Entah kenapa dia selalu tampak bahagia begitu, apa karena hidupnya sangat bahagia? Padahal kudengar istrinya sedang menuntut cerai.Pak Wawan lalu menyodorkan tangannya.“Alhamdulil
“Nggeh, Pak. Istirahat saja.” Salma mengingatkan orang di ujung telepon yang tak lain adalah mertua. “Tadi pagi Salma sudah mengirim uang titipan Mas Haris buat Bapak. Nanti kalau ada keperluan lagi Bapak tolong bilang. Jangan diam saja.”Kubiarkan Salma bicara bebas dengan orang tuanya. Aku memang rutin menyisihkan uang untuk mertua yang notabene adalah juga dua orangku. Mereka tidak punya siapa –siapa selain Salma. Pekerjaan dan sumber keuangan hanya berkutat dari jualan di warung. Tidak seberapa, tapi mereka tak pernah mengeluh pada Salma. Sampai Salma tahu sendiri dari orang lain, kalau Bapaknya perlu uang cek up setiap Minggunya.Salma anak satu –satunya. Jadi sudah sewajarnya di saat kesulitan seperti sekarang aku memberinya izin memberikan uang itu.“Oh sudah ada perubahan?!” Salma melebarkan mata. Dua matanya yang memang tak sebening dulu, tapi terlihat berbinar saat ia mengarahkan tatapan padaku selagi ponsel masih menempel di pipinya.Aku mengangkat ke dua alis dengan mata m
“Ada apa Pak?” tanyaku bingung. “Apa Bapak mabuk perjalanan kalau naik mobil?”“Ah, bukan begitu, Mas. Saya membayangkan anak saya punya suami sukses kaya gini, pasti saya dan istri saya sangat senang sekali.” Pak Karim kembali bicara yang tidak –tidak.“Ya?” Kulebarkan mata, meminta penjelasan darinya.“Ah, nggak, Mas.” Pak Karim tersenyum. Ia kemudian masuk ke dalam mobil, begitu pun aku yang kemudian duduk di kursi kemudi.“Abi! Tunggu!”Namun, suara panggilan dari dalam membuatku seketika menoleh dan mengurungkan niat menyalakan mesin mobil dalam waktu dekat.“Abi!” suara itu terdengar lagi kemudian, diikuti munculnya seorang wanita yang tak lain adalah Salma –istriku. Wanita itu datang dengan terburu –buru membawa cangkir di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri.Aku pun menurunkan kaca jendela mobil, agar tahu apa keperluan Salma sampai harus menghentikanku sekarang. Namun, melihat cangkir di tangannya kupikir dia akan memintaku meminum sesuatu.“Ya, Salma?”“Bi, maaf. Ini tele
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku