Inggit dan Bapaknya akhirnya pulang. Setelah berusaha keras inilah hasilnya. Tetap saja Karim harus merelakan harta senilai lebih dari 30 juta pada Mbah Wono. Hal yang tak diinginkan lain pun muncul. Pria itu semakin geram saja dibuatnya.“Haiss, apa lagi ini?” gumamnya ketika melihat sang sopir babak belur. Pria tua itu menghela napas berat lagi dan lagi.Pemuda yang menunggu mereka itu meringis menahan sakit. Albi masih beruntung karena dua algojo itu tidak mematahkan ke dua lengan dan kakinya, sehingga mereka masih bisa pulang dengan selamat. Karena tak ada orang lain yang bisa menyetir selain pemuda itu.Karim masuk mobil begitu saja. Dia tak habis pikir kenapa sopir taksi itu terlalu penasaran dan ingin tahu urusan orang lain. Sekarang dia harus menanggung sendiri akibatnya. Namun, melihat itu, Karim juga jadi berpikir, mungkin kalau tadi dia menahan emas di tangan Inggit, bisa jadi mereka bertiga bernasib lebih buruk dari sopir taksi itu.“Kamu baik –baik aja, kan?” Inggit mengh
Dua tangan Salma tertaut dan saling menekan satu sama lain. Ia berusaha keras mengendalikan perasaannya yang belakangnan memang sulit dikendalikan.Mendengar pengakuan Haris yang mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, Salma tak yakin soal itu. Karena di saat bertemu, pasti belum ada interaksi antara Inggit dan Haris, yang bisa menjadi media sihir untuk menghubungkan.Atau jangan –jangan bukan karena sihir? Haris bisa jadi memang jatuh cinta pada Inggit, dan semakin tak bisa mnegendalikan keinginannya setelah Pak Karim menempelkan sihir. Salma menghela napas berat. Malang sekali nasibnya, suaminya bisa jatuh cinta pada gadis lain pada pandangan pertama. Bahkan dulu, cinta yang tumbuh antara Salma dan Haris berproses, bukan pada pertemuan pertama.“Ehm, pandangan pertama? Apa Abi yakin?” Salma ingin mendengarkan jawaban lain. Diangkat dua tangan yang sedari tadi dimainkan di pangkuan ke atas meja. Ia ingin tampak lebih tenang.“Mi, Abi ....”“Pasti Abi sangat menikmati tidur den
Haris berada di atas ranjang dengan gelisah. Bukan cuma rasa bersalahnya telah mengintimidasi Salma barusan, tapi juga lebih pada rasa lapar yang dirasakannya sekarang. Pria itu membolak –balik tubuhnya sampai kasur yang ditempatinya terlihat berantakan. “Haisss .... lagian kenapa juga dia membicarakan hal sesensitif itu di saat suaminya makan,” omel pria berusia 39 tahun itu.Kalau sudah begini, mana bisa dia tidur. Perutnya akan sakit, karena sudah menahan lapar sejak siang. Untung saja pagi hari, Hania yang sifatnya bisa dikata dewasa mendekatinya dan meminta Haris makan sebab gadis cantik itu sudah menyiapkan sarapan untuk Abinya itu. “Sekarang bahkan Hania sudah tidak ada. Pada siapa aku minta makan?” Kalau saja tidak memikirkan bagaimana perasaan Salma, pria itu akan memilih ke luar rumah setelah bertengkar dan makan makanan enak di luar rumah. Namun, hal itu akan mempeburuk situasi. Hal itu yang selama ini Haris jaga, saat marah atau Salma yang marah, dia tidak akan meningga
[ Kamu kenapa langsung ngibrit pulang? Harusnya nginap saja di sini! ] protes Ibu Inggit, yang kesal karena adiknya pergi begitu saja tanpa bicara apa –apa, selain memintanya untuk pulang dan tidur di rumahnya sendiri.[Ada yang nggak beres Mbak. Duh, ngirim WA ini saja bikin aku merinding.] Wawan membalas pesan itu.[ Apa maksudmu? Bicaralah yang jelas! ][ sepertinya bapaknya Inggit main dukun, Mbak. Bagaimana ini? ] Wawan semakin cemas. Bahkan tanpa kesalahan itu saja posisinya sudah sangat terjepit di antara Ustaz Fawwas dan istri pertama Haris. Jujur dia jadi merasa bersalah, karena kenyataannya Haris nekad menalak Inggit. Hal yang tak mustahil ia lakukan kelak pada Salma ketika hatinya kembali merindukan Inggit.[ Jangan ngawur kamu! ] Ibu Inggit tidak terima. Suaminya mungkin kadang memang bisa licik pada orang lain demi keluarga.Tapi Karim tidak mungkin main pelet dan mencelakakan orang.[ Nanti aku jelaskan ketika kita bertemu, Mbak. Tapi sebaiknya Mbak hati –hati. sholat ja
Salma masih membeku di tempatnya. Sama seperti hatinya yang mulai beku dan mati rasa. Kenapa dia tidak berlari dan bertanya ke mana suaminya pergi terburu –buru begitu? Apa iya untuk menemui Ustaz Fawwas? Bukankah seharusnya dia bisa janjian bertemu di Masjid atau setelah mennuikan kewajbannya sholat berjamaah di Masjid?Karena tidak mungkin Ustaz Fawwas akan membiarkannya meninggalkan kewajiban Haris sendiri hanya untuk bertemu dengannya.“Umi.” Suara pelan diikuti usapan di perut Salma membuat wanita berusia kepala tiga itu menoleh.“Agni? Sudah sholat?” tanya Salma pada anak ke duanya tersebut. Agni mengangguk. “Kenapa Mi? Umi sakit, ya? Adek nakal?” tatapan remaja berusia 11 tahun setengah itu turun ke perut Umi yang dipegang.Dia ingat pesan Hania sang kakak, saat mereka hanya bicara serius berduaan, kala kakak sulungnya belum berangkat ke pondok. Mereka kadang kali seperti partner kerja di rumah. Karena hanya Agni yang bisa mendengar kata –kata Hania. Dia adik paling besar, yang
Salma menyempatkan melngintip ponselnya sendiri di sela aktifitasnya di rumah. Aktifitas yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dilakukan. Ada senyum di wajahnya, kala melihat balasan dari Umi Ameena untuknya.[ Ohya benar, Unie. Tadi Abinya sudah meminta Pak Haris bertemu. Katanya sih, secepatnya. ][ Dibawa tenang saja, Mi. Banyak –banyak berdoa. Serahkan pada Allah. Dia yang berkuasa atas segala sesuatu. ]Ameena menulis pesan itu bukan tanpa tujuan. Dia juga seorang wanita. Pastinya tahu kalau Salma pasti sudah mengantisipasi sesuatu setelah tahu suaminya menikah lagi. Begitu mengupayakan dan berikhitiar untuk mempertahankan suami demi kebahagiaannya dan anak –anak, satu –satunya hal yang harus dilakukan berikutnya adalah berserah diri.Terserah Allah. Akan membawa ke mana hidup mereka. Toh, manusia hanya menjalani apa yang Allah tetapkan untuk mereka. Jika pun itu terasa pahit, semua akan menjadi penebus dosa –dosa di masa lalu serta pemberat amal pahala kelak jika mereka bers
Karim masuk ke rumah Inggit yang sempat ia tinggalkan beberapa jam karena ada Haris di sana. Tampaknya mereka ingin bicara empat mata, yang ke dua orang tuanya tidak boleh tahu.“Inggit!” panggil Karim pada puterinya.“Ya, Pak!” teriak Inggit dari dalam.Semenit menunggu, akhirnya perempuan itu muncul dari kamar dengan pakaian rapi. Karim menatapnya dari atas hingga bawah. Penampilannya jelas berbeda dari saat Haris masih ada di rumah tadi. Pria itu jadi heran, apa yang Inggit rencanakan sebenarnya.“Kamu mau pergi?” tanya pria tua yang kini duduk di kursi. Rasanya lelah ke sana ke mari dan menjelaskan banyak hal pada Haris. Lalu tadi, dia juga harus menemui Willis menjelaskan apa yang terjadi, bahwa pria itu salah lihat.Karim bahkan bicara dengan nada lemah dan sopan, hanya saja seolah mengancam Willis jika macam –macam. Dia juga menceritakan kalau tadi Haris datang dengan marah yang membabi buta.Willis lalu meminta maaf pada pria tua itu, walau entah dalam hatinya. Apa bisa meneri
“Oke, biar Abi saja, Mi.” Haris lalu berjalan ke arah Agni, karena merasa lebih kuat dibanding Salma yang sedang hamil.Namun, hal mengejutkan terjadi.“Jangan sentuh aku!” teriakAgni dengan nyala marah di matanya. Ditepis tangan Haris dengan kasar.Haris terkejut, begitu jugadengan Salma. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Agni memperlihatkanbetapa dia sangat benci pada Haris. Bahkan didekati saja tidak mau.Untuk sesaat suasana jadi aneh. Agni berusaha mengendalikan emosinya, ia kemudian minta maaf pada Haris.“Maaf, Bi. Agni hanya risih saja kalau Abi yang memapah dan memegangi tubuh Agni. Em, Agni sudah gede ....” Gadis kecil itu menyahut pelan, seolah –olah telah menyesal karena bersikap kasar pada orang tuanya.“Ah, ya sudah sama Umi saja.” Salma tidak berpikir panjang dan membawa Agni ke kamarnya.Saat ke duanya sudah bergerak menjauh, Haris tiba –tiba memanggil Salma.“Mi!”Salma berhenti sejenak, begitu juga Agni. “Ya?” wanita itu pun menoleh.“Ehm, kita bicara sekarang ya
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku