Seperti biasa, Ibu Salma terbangun di jam tiga malam. Wanita itu lekas mengerjap dan bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Namun, baru saja membuka pintu, perhatiannya langsung tertuju ke pada Salma yang ternyata masih berada di tempat terakhir ia melihatnya. Wanita tua itu menghela napas berat. "Subhanallah, kenapa kamu tidur di situ, Salma?" gumamnya di sela langkah mendekati putrinya. Salma terlihat kuyu, tidur dalam posisi menekuk lutut dan meletakan kepala di atasnya."Dia pasti kelelahan menangis dan ketiduran di sini. Salma, Salma. Kenapa anak baik sepertimu mendapat ujian yang kian berat?"Lagi ... wanita tua itu merasa miris. Meratap pada nasib putri semata wayangnya.Ditepuk perlahan bahu Salma. Sontak wanita hamil itu pun terhenyak kaget. Matanya mengerjap untuk melihat sekeliling. Saat mendongak, barulah ia merasa kepalanya berdenyut."Auh," pekiknya pelan."Salma kamu tidak apa -apa?" Melihat ekspresi kesakitan di wajahnya, membuat sang Ibu khawatir._____________Sement
Perhatian Reynand kemudian teralihkan ketika mendengar suara ketukan di pintu.“Siapa ya? Apa jam segini sudahada aktifitas di kampung ini?” Alangkah pria itu terkejut,sekarang ini, orang yang sedari tadi dicari –carinya, ternyata ada dihadapannya.“Hah? Ha –ris? Kamu mau apa?”tanya Reynand bingung.Haris tersenyum miris. “Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumsalam.”Baru saja mengucap salam, dan belum menjawab pertanyaan dari sang tuan rumah, Haris malah berlalu begitu saja melewati Reynand. Kontan hal itu membuat sepupu Salma tersebut bingung.“Di mana kamarmu, Mas?” tanya Haris, celingukan. Kakinya langsung bergerak ke arah kamar –kamar. Saat membuka kamar terdekat, Haris seperti terkejut karena melihat ke dua orang tua Reynand ada di sana.“Ah, maaf!” Haris mengangguk hormat pada mereka.“Hei apa yang kamu lakukan?” tegur Reynand.Namun, Haris tidak peduli dan berjalan ke arah kamar lain. Saat itu dia melihat seorang remaja tengah tidur pulas di atas ranjang.“Ini pasti kamar kam
"Aku tahu bahwa pria itu tulus padaku, sekarang pun dia pasti mau membantuku apa pun kesulitanku!" ucapnya dengan percaya diri. Dia tahu betul siapa Albi. Berapa kali pun Inggit mengusir dan meninggalkannya, Albi selalu kembali mencari wanita itu. Tak peduli banyaknya luka hati karena berada di sisi Inggit hanya sebagai pelampiasan dan bersenang-senang saja.Dikeluarkan lagi ponsel yang sudah disimpan di saku jaket. Lalu menggesernya mencari nama Albi. Dia harus menghubungi pria itu dan menyampaikan niatnya. Dia sangat yakin kalau Albi akan langsung menerima panggilan dan mengamini keinginannya. "Tentu saja karena bahkan dia sedari tadi terus meneleponku!" ucapnya di kala jempolnya mengklik icon panggilan.Sementara itu yang terjadi di seberang telepon .....Albi sedang menyantap bakso, makanan favorit pemuda tersebut. Sejak dari siang perut Albi belum terisi apa pun. Tadi saja akan makan di rumah Inggit, malah diusir tuan rumah. Padahal makanan sudah siap dan dia bahkan sudah berja
“Apa Salma tidak mau diajak pulang?” Rerynand bertanya. Dia sungguh penasaran, apa yang sedang Salma rencanakan dan putuskan. Wanita itu bahkan sama sekali tidak memberi tahu Reynand, kalau dia akan pergi dari rumah dan tinggal di rumah Ibunya.“Dia meminta cerai.” Haris menjawab lemah.“Apa?!”“Tapi, demi Allah, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikannya,” tegas Haris. Kali ini sorot mata pria itu menajam, walau pun tidak diarahkan pada Reynand.“Tunggu!” Haris mengangkat kepala, seolah teringat sesuatu yang membuatnya terkejut.“Jangan bilang kamu nggak tahu, Mas!” terka Haris. Jika tidak, kenapa pria itu bertanya. Dia bahkan sudah punya waktu bersama dan dekat dengan Salma kemarin.Reynand diam tak menjawab. Namun, diamnya sudah cukup membuat Haris paham kalau Reynand mengamini ucapannya.“Kamu pasti senang membuatku merasa bersalahkan,” ceplos Haris sembari kembali menaruh kepala di bantal. “Heuh, nyama sekali rumah ini, begitu tenang adem dan ....” Suara pria itu tidak
Inggit menunggu dengan gelisah di sebuah halte. Tempat tunggu di seberang rumah sakit di mana Karim dirawat sekarang. Sudah lebih lima menit, tapi taksi online yang dipesannya tidak juga muncul. "Kenapa Albi tidak berinisiatif menjemput? Apa dia sedang sakit, ada orderan atau gimana?" keluhnya sembari melihat ke arah jam yang melingkar di tangan. Waktu menunjukkan pukul 22.30. "Tidak mungkin ada orang order jam segini, lagian dia kan bilang kalau malam waktu istirahat dan tidak akan menerima orderan." Wanita itu tiba -tiba ingat ucapan Albi yang memiliki kebiasaan dalam bekerja."Kecuali kalo orderan itu dari kamu, Beb. Jangankan jam sebelas, jam satu dua malam, bahkan begadang pun aku siap antar kamu ke mana pun kamu minta!" seru Albi suatu ketika. Meski begitu, Inggit mulai tak nyaman bertanya, apalagi meminta Albi berkorban datang untuknya. Bahkan, ketika pria itu menawarkan uang, itu sudah lebih dari cukup. Dia ingin tahu diri, agar tidak menjatuhkan mood Albi dan mengurungkan
"Umi!" Agni berseru, memanggil Uminya yang tengah sibuk di dapur membantu ibunya menyiapkan sarapan.Mereka boleh saja sedang sedih, tapi anak -anak tetap perlu makan untuk bertahan hidup. Walau mungkin Salma sendiri tidak akan berselera makan nanti.Mendengar panggilan sang anak, Salma lekas ke luar mendekat pada Agni yang berada di ruang tamu. Mata wanita hamil itu menyipit melihat putrinya tengah berdiri di depan jendela dengan menyibak sedikit gorden, melihat ke arah luar."Ada apa, Sayang?" tanya Salma yang juga penasaran berjalan ke arah jendela itu."Lihat, mobil Abi masih di sini. Apa artinya Abi tidak pulang?" tanya Agni. Dia pikir Abinya pasti sudah pergi begitu Umi menolaknya. Pasti tidak akan masalah bagi Abi Agni. Dia kehilangan Salma yang sudah tua, dan mendapat istri baru yang cantik dan muda. Pria itu juga jadi bebas sekarang mau melakukan apa pun dengan Pelakor tersebut.Salma menghela napas berat. Kalau Haris masih di Bogor, dia harus siap menghadapinya lagi hari in
“Apa kamu mau masuk?” tanya Inggit.Albi sengaja menghentikan mobil di lobi sebentar. Mendengar pertanyaan Inggit, pria itu menggeleng. Untuk apa dia masuk ke dalam? Semua itu hanya akan menambah buruk mood –nya saja. Melihat perempuan tua yang kelakuannya lebih buruk dari Mak Lampir.Sopir yang mengantarkan Inggit, kemudian mengeluarkan kepala dari pintu yang kacanya sudah diturunkan. Lalu mendongak menatap bangunan menjulang tinggi di depannya. “Rumah sakit ini pasti mahal,” gumamnya.“Bangunannya saja seperti hotel, belum nanti alat –alat canggih yang harganya pasti selangit.” Pria itu menyambung. Membayangkan ruangan pasien yang ditempati Karim mirip hotel.Padahal, keluarga Inggit bukanlah orang berada, kenapa nekad mencari rumah sakit mahal dan tidak pergi ke rumah sakit –rumah sakit yang di sana ada subsidi pemerintah.“Ya, bisa jadi. Aku belum pernah datang ke sini dan membayar. Semoga saja tidak mahal dan sisa uang ini lebihan banyak. Aku akan memakainya untuk modal dan mencic
“Abi!” seru Abram yang melihat sosok Abi –nya memasuki ruang Mushola.Di mana semua orang tampak khusyu.’ Melakukan sholat qobliyah yang pahalanya lebih berharga dari pada dunia dan seisinya, sebagian wirid usai sholat sembari menunggu Imam naik ke tempatnya dan memulai sholat berjamaah. “Hem, Sayang. Kalian baik –baik saja?”Abram memeluk Haris, begitu pun adiknya, mengekor dan melakukan hal sama dengan kakaknya. Haris pun duduk dengan memeluk anak –anaknya di ke dua sisi. Betapa dia sangat merindukan moment ini. Padahal baru sehari mereka tidak bertemu, tapi rasanya sudah sangat lama. Mungkin, karena hubungan mereka sedang tak baik –baik saja. Haris merasa ini adalah detik –detik terakhir yang menyiksa. Dia bisa jadi akan kehilangan komunikasi dengan anak –anak itu lebih lama.“Abi baru datang?” tanya Adik Abram menjauhkan kepala agar bisa melihat ekspresi sang ayah.“Ehm, kapan ya?” Haris pura –pura berpikir. Miris sekali rasanya.“Nanti aku mau pulang bareng Abi saja ya? Ikut A
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku