“Abi!” seru Abram yang melihat sosok Abi –nya memasuki ruang Mushola.Di mana semua orang tampak khusyu.’ Melakukan sholat qobliyah yang pahalanya lebih berharga dari pada dunia dan seisinya, sebagian wirid usai sholat sembari menunggu Imam naik ke tempatnya dan memulai sholat berjamaah. “Hem, Sayang. Kalian baik –baik saja?”Abram memeluk Haris, begitu pun adiknya, mengekor dan melakukan hal sama dengan kakaknya. Haris pun duduk dengan memeluk anak –anaknya di ke dua sisi. Betapa dia sangat merindukan moment ini. Padahal baru sehari mereka tidak bertemu, tapi rasanya sudah sangat lama. Mungkin, karena hubungan mereka sedang tak baik –baik saja. Haris merasa ini adalah detik –detik terakhir yang menyiksa. Dia bisa jadi akan kehilangan komunikasi dengan anak –anak itu lebih lama.“Abi baru datang?” tanya Adik Abram menjauhkan kepala agar bisa melihat ekspresi sang ayah.“Ehm, kapan ya?” Haris pura –pura berpikir. Miris sekali rasanya.“Nanti aku mau pulang bareng Abi saja ya? Ikut A
“Halo, Al.” Inggit menyapa orang di ujung telepon. Suara perempuan itu serak karena menangis.“Ya? Ada apa? Kenapa kamu menangis?” Albi merasa heran. Padahal Inggit sudah mendapat uang darinya. Apa dia tahu kalau uang itu hanya sebagian kecil dari apa yang harus dia bayar semuanya? Atau terjadi sesuatu yang lain? Pertanyaan –pertanyaan itu berkelabatan di kepala Albi.“Apa terjadi sesuatu pada Bapak?” tanyanya ingin memastikan dugaan.“Iya, Al. Bapak kena serangan jantug, dan ternyata jantungnya perlu dioperasi agar Bapak tetap hidup normal.” “Operasi? Wah, maklum sudah tua itu, Nggit. Mungkin, dokter perlu menggantinya ya, tapi harga jantung aja satu Miliyar koma enam.” Albi menyebut nominal dengan sedih. “Kalau orang miskin macam kita yang sakit begituan, ya sudah, pasrah saja.” Dia tahu nominal itu saat iseng –iseng bertanya pada temannya yang ikut sindikat jual beli organ dalam. Ilegal di dunia medis, tapi nyatanya bisnis itu tetap eksis sampai sekarang karena ada aliran dana be
"Apa masih panas?" tanya Nenek ikut panik. Pasalnya sudah dari pagi, ketemu pagi lagi, tapi panas Abram belum juga turun. Padahal, mereka sudah memberikan obat penurun panas. Dingin sebentar. Sekarang panas lagi."Ya, Bu." Salma mengucap lemah.Meski sekarang Abram terlihat pulas. Namun, masih suka mengigau dan memanggil Abinya. Sebagai seorang Ibu, Salma tahu, bahwa anaknya sedang mengalami fase malarindu ke pada abinya."Apa mau dibawa ke puskesmas? Tapi kalau ke sana juga cuma dikasih obat-obatan kaya gini." Nenek duduk di sisi ranjang. Mengamati satu per satu botol obat di nakas. Bukan hanya Paracetamol, Salma juga membeli vitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh Abram.“Apa kita bawa ke rumah sakit dulu, Mi?” usul Agni. Dia sudah lelah. Jenuh. Merawat adiknya membantu Uminya yang sedang hamil besar.Walau pun banyak hal yang ia kerjakan, tetap saja adiknya masih sakit begini. Belum lagi Farhan yang sering rewel dan Agni yang mengandel. Dia bahkan sampai harus bolak –balik ke w
Salma menunggu jawaban perempuan di ujung telepon dengan gelisah. Dia tak sabar ingin mengatakan pada Maya agar menjemputnya, dan wanita itu segera datang. Tak tega rasanya melihat Abram tergolek tak berdaya begitu. Mungkin dari luar, orang –orang melihatnya sebagai seorang Ibu yang sangat tenang dalam merawat anak.Namun, mereka tidak tahu, betapa bergemuruh hatinya, dan pikiran tak menentu kala anak sakit. Dia takut sesuatu yang tidak diprediksi terjadi.Wanita hamil yang terlihat lebih muda dari usianya tersebut berubah air mukanya, ketika panggilannya diangkat oleh Maya. Lega dan bersemangat.“Halo, Mbak Maya! Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam! Enggeh, Mi. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya.“Mbak, mohon maaf bisakah menjemput kami sekarang, karena kami harus ke rumah sakit!” Wanita menjelaskan keperluannya. Berharap Maya mengiyakan dan lekas datang dalam waktu dekat.“Wah, maaf sekali, Umi. Ini saya sedang ada orderan ke luar kota. Mungkin paling bisa selesai ini sekitar lima
Karena terlalu fokus pada kemarahan dan sakit hati yang Haris rasa, pria itu sampai tidak sadar benda pipih miliknya bergetar dalam saku. Ponsel yang tadi dimatikan nada deringnya dan hanya getaran yang dimunculkan, agar nanti ketika ada panggilan masuk, tidak terlalu mengganggu peserta lain. “Dasar tidak sopan! Saya ini lebih tua dari kamu!” Wawan tidak terima dengan perlakuan Haris dan membalas pukulan itu.“Mas, Mas, sudah!” Seseorang yang mengenakan tagname peserta datang menghampiri Haris yang kalap melampiaskan segala amarah dan kekesalannya pada Karim. Haris bukan hanya menghinanya, Wawan jauh lebih kesal ketika ponakannya Inggit dimaki –maki dengan kalimat tak pantas.Jadilah mereka sekarang adu jotos, satu dengan yang lain, dan di antara ke duanya tidak ada yang mau mengalah. Mereka sama –sama merasa benar. Terutama Haris yang merasa hidupnya dihancurkan oleh Wawan yang gemar mengompori orang lain untuk poligami. Bukan hanya akhirnya Salma pergi, tapi juga akhwat yang Wawa
“Ada apa dengan mereka?” ceplos Reynand kala melewati sebuah lobi hotel bersebelahan dengan rumah sakit. Pria itu melihat dua pria adu jotos di sisi vasum, disaksikan teman –temannya.Salma penasaran apa maksud ucapan Reynand yang terkesan bicara sendiri. Wanita itu celingukan ke luar, tapi tidak menemukan apa pun. Lalu memilih tidak mempedulikannya. Dan kembali fokus pada tempat yang sudah terlihat di depan sana, dia tak sabar ingin segera membawa masuk Abram, dan melihatnya sembuh.“Salma,” pelan suara Reynand terdengar. Pria itu hanya memiliki sedikit kesempatan sebelum mobil diparkir dan mereka disibukkan dengan urusan Abram.Lagi, tak ada jawaban dari Salma. Tapi Reynand tahu, kalau Salma sedang mendengarkannya.“Aku serius dengan ucapanku tempo hari.”“Ucapan yang mana, Mas?” Salma benar –benar tidak mengerti maksud pria itu.“Aku bisa menggantikan posisi Haris, dan mencintai mereka seperti ayah kandung mereka sendiri. Aku juga akan menjadi suami yang tidak membuatmu kepikiran k
“Sugar Baby?” dahi Ibu Inggit berkerut. “Apa itu?” Wanita tua itu memikirkan jenis pekerjaan apa yang disebut oleh anaknya tersebut.“Sugar Baby, Sugar Baby,” gumamnya berusaha mengingat –ingat. Karena rasanya dia pernah mendengar tapi lupa di mana.“Bu, tidak usah dipikirkan. Yang penting bukan melacur, kan?” Kini Inggit memeluk tangan Ibunya dan berjalan menjauh, menuju kamar Karim dirawat. “Dari gaji itu aku bisa membiayai rawat jalan Bapak sementara sampai uangnya terkumpul, terus bisa bayar angsuran Bank juga. Mana sekarang selain cicilan Bank Bapak, aku juga harus membayar cicilan Bank yang Albi ambil untukku.” Perempuan muda itu menjelaskan.“Sebentar, apa maksudmu membayar civilan Bank Albi? Dan uang untukmu? Hei, anak polos ... dia mengambil semua uangnya tadi di depan mata kamu. Apa kurang jelas? Terus kenapa kamu yang bayar??” Ibu Inggit tidak terima. Beban utang atas nama Karim saja sudah cukup banyak, sekarang malah ditambah beban hutang dari yang lain.“Bu, dia hanya men
“Kamu benar sudah menggugatnya ke PA Bekasi?” tanya Reynand kepada Salma. Mendengar pertanyaan itu, Haris tersenyum masam. Dia pikir, Reynand berpura –pura tidak tahu, padahal Haris yakin kalau ini adalah bagian dari rencananya. Sok baik menasehati Haris agar pulang dari Bogor, demi Salma. Kalau saja dia bertahan, mungkin Salma bisa luluh. Dari situ Haris yakin kalau ini akal –akalan Reynand agar dia punya waktu lebih banyak bersama Salma dan mencari perhatian wanita itu.Salma mengangguk pelan menjawab pertanyaan Reynand yang ditujukan untuknya. “Tapi kapan ka ...?” Pertanyaan Reynand menggantung. Dia tidak tahu apa ini benar. Bukankah terlalu cepat, apa lagi kondisi salah satu anaknya sedang drop.Papa Abyaz itu pikir, kalau selama beberapa hari ini Salma ada di Bogor. Lalu kapan ke Pengadilan Agamanya? Apalagi banyak surat –surat yang harus diurus.“Ya, bukan aku yang urus, Mas. Aku cuma duduk manis di rumah Ibu, kebetulan Rania bisa bantu mengurus semua.” Salma menjawab seolah t
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku