Reynand baru saja ke luar dari kantor dan akan pergi ke kelas. Mahasiswa sudah menunggu di sana untuk diajar. Namun, langkah lebar pria itu terhenti, kala suara dering ponsel terdengar dari sakunya.Dirogoh benda pipih itu. Dahinya mengerut kala melihat nomor asing di atas layar. "Siapa ini?" gumam Reynand.Diklik fiture menerima panggilan untuk tahu siapa yang menghubungi. "Halo, assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Selamat pagi Bapak Reynand. Maaf jika kami mengganggu. Kami dari Furnitureshop, ingin memberi tahu bahwa barang yang dikirim ditolak oleh penerima di alamat yang tertera.""Ditolak? Maksudnya?" Reynand tak mengerti. "Siapa yang menolak?""Istri Anda." "Heh." Reynand tertawa tragis. Bukan hanya karena disebut Salma sebagai istrinya, andai itu benar. Reynand juga merasa miris, wanita itu menolak barang -barang yang dibeli untuk mereka."Jadi kami harus bagaimana Pak? Apa ada alamat lain? Katanya tadi suruh kirim ke alamat Bapak. Em, maaf kalau saya lancang. Sepertinya manta
Wawan mendapatkan kata-kata menohok dari ponakannya. Sebanyak apa pun dia menyangkal, kalau dia sudah mengurus kakak perempuan dan ponakannya Inggit. Nyatanya sekarang Inggit berada di atas pembaringan setelah menjadi simpanan pria hidung belang, padahal status istri simpanan sebelumnya belum juga kelar. Ya, walaupun Wawan tahu, setelah Karim meninggal, harusnya yang lebih dulu mengurus Rus dan Inggit adalah saudara laki-laki Karim. Tapi bahkan mereka tidak pernah peduli pada kondisi keluarga kakaknya itu."E, itu ... bukan kewajibanku, Inggit. Seharusnya kamu mencari Paman kamu dari pihak ayah." Wawan berusaha menjelaskan dari sisi syariah, walau pada akhirnya dua wanita itu tidak menerima."Cih." Inggit mendecih. Meremehkan."Paman juga bukan waliku, secara syariat kan. Harusnya Paman dr pihak Bapak. Jadi jangan sok ngatur." Inggit Menatap ke arah lain. Padahal, Wawan tahu kalau keluarga yang dia maksud entah ke mana. Mereka sudah dianggap mati karena tidak pernah sekali pun berint
Agni terkejut dengan ucapan Abinya. Apalagi kabar buruk mengenai perceraian itu, datang dengan menyudutkannya sebagai salah satu penyebab perceraian mereka.Gadis itu sadar, tidak bisa memberikan hal terbaik untuk keluarga, terutama orang tuanya. Namun, keinginan dan provokasi pada Uminya agar bercerai dengan Abi, tidak pernah ia sesali. Ia bisa melihat betapa sedihnya Umi dikhianati. Akan sangat menyakitkan jika Umi terus bertahan di sisi Abi."Kamu pasti puas sekarang." Haris mengucap ketus ke arah Agni.Sementara Agni memilih diam. Dosanya terlalu besar, hingga ia merasa tidak lagi punya hak berkomentar dan mengakimi kesalahan Abi. Karena pasti, ucapannya akan dibalik dan dipertanyakan, dengan ucapan menyakitkan "Jangan lupa, kamu sudah membunuh Lily!""Apa maksudmu?" hardik wanita tua yang berada di antara mereka. Dia tak suka tatapan Haris yang ditujukan pada cucu yang sudah merawatnya."Ma, andai Mama tahu apa yang Agni lakukan di belakang kita. Dia sengaja mengompori Uminya un
[ Akhirnya hari yang aku harapkan sekaligus takutkan datang juga. Saat di mana ke dua orang tuaku berpisah. Aku pikir, aku telah menjadi psikopat karena itu.] Tulis sebuah akun dengan nama unik. Poto profil yang dikenakan sebuah anime unik.Abyaz memperhatikan. Mencoba menyelami dan memahami arti status yang diunggah akun fake tersebut. Akun yang meminta pertemanan lebih dulu padanya, dan sekali waktu pernah posting foto asli dengan saudarinya.Akun itu milik Agni. Abyaz yakin, bahwa Agni khilaf memposting gambarnya sendiri kala itu.Dan sekarang, dari status itu, Abyaz tahu, itu adalah isi hati Agni sekarang. Gadis itu tiba-tiba tidak terlihat lagi di rumahnya. Saat bertanya pada adiknya, mereka mengatakan kalau Agni tinggal bersama Neneknya sebab sepupu yang biasa menemani wanita tua itu telah meninggal."Ini pasti menyakitkan. Hania juga pasti sesedih Agni sekarang." Abyaz menggumam. Mereka bersaudara, bedanya Hania berada di pesantren hingga ia tidak bisa dengan bebas bermain ga
"Jadi di sini?"Satu sudut bibirnya terangkat kala melihat Reynand berpamitan pada Ibu Salma di teras rumah. Ia tak bisa berhenti menyalahkan Reynand, meski tak bisa memungkiri bahwa semua terjadi karena kesalahannya sendiri. Sedang Reynand berada di dekat Salma dan anak-anak Haris justru membantu mereka. Sementara anak-anak tengah bermain di salah satu sisi halaman. Melihat mereka, seulas senyum miris kemudian tergambar di wajahnya. Bahagia melihat mereka dan sedih tidak bisa memeluk dan menyentuhnya.Haris memandangi rumah di mana anak-anaknya tinggal sekarang. Mengabaikan banyaknya pesan dan panggilan masuk ke ponselnya. Meski ia tahu itu dari pengadilan, tetap saja Haris memilih tak peduli.Sayang sekali, walau sudah mengumpulkan banyak keberanian mencari mereka, dengan menguntit Reynand. Tetap saja dia tidak punya cukup nyali untuk masuk dan menemui mereka. Bagaimana jika masalah muncul. Bisa -bisa Salma semakin over protektif dan tidak memberinya kesempatan bahkan sekadar meman
"Hem." Umi mencebik. "Waktu itu, kamu bilang senior kamu nikah sama anak sulung Kiai, dan kamu bilang beruntung banget. Bukankah artinya ....."Sebagai seorang Ibu, tentu saja Salma menginginkan anaknya mendapat suami terbaik. Agamanya baik. Perilakunya baik."His, Umi ini. Nggak! Hania ga berani mimpi setinggi itu. Lagian, kan Hania masih harus belajar. Yaudah, kalau Umi nggak setuju." Gadis itu bangkit. Wajahnya makin jutek saja karena kesal. Ia pun meninggalkan kamar dengan wajah tertekuk. Uminya paling bisa membuatnya malu dan tak enak untuk terus bicara mempertahankan argument atas keinginannya.Langkahnya bergerak ke kamarnya sendiri. Ia ingin tak ada yang mengganggu dan menenangkan diri. "Kakak Hania!" seru Farhan manja menghambur ke arah Hania memeluknya."Mau minum susu. Buatin ya," rengek Farhan.Namun, karena situasi hatinya sedang tak baik-baik saja, gadis itu pun melepas pelukan Farhan. Tanpa memberi jawaban, Hania berjalan masuk ke kamar dan menutup pintunya keras. Far
"Rey, kamu harus tahu, Salma sudah mendapatkan akta cerai dari pengadilan." Aminah tidak mau membuang buang waktu untuk menyampaikan kabar gembira ini pada Reynand."Oya?!" Reynand terkejut tapi juga sangat senang. Akhirnya Salma benar -benar lepas dari Haris."Jadi ... kamu harus merencanakan sesuatu untuk mendekatinya." Aminah mengucap lagi."Menurut Bibi, aku harus bagaimana? Maksudku apa yang bisa kulakukan untuk mendekati Salma sekarang. Bibi tahu, bahwa sedari awal datang pun aku sudah mendekatinya." Reynand menyahut. Memangnya kapan Reynand pernah berhenti mendekati Salma, bahkan setelah wanita itu mengatakan agar Reynand berhenti agar tak jadi fitnah. Pria itu tetap datang, walau harus menjaga sedikit jarak."Ya itu ....""Sama dengan Bibi, aku juga takut kalau sampai Salma lebih dulu didekati pria lain. Tapi ... Dia terkesan menjaga jarak dariku. Sedari awal.""Hem, kamu pasti tahu sendiri alasan Salma melakukan itu, Rey. Salma juga sudah mengatakannya padamu, kan? Kalau dia
Reynand pulang ke rumah. Dia berniat bicara dengan anak semata wayangnya mengenai keinginannya untuk menikah dengan Salma. Tantenya sendiri.Mungkin awalnya, Abyaz akan terkejut mendegar penuturan sang papa. Karena pada awalnya, ketika Abyaz bertanya, Reynand dengan tegas menyangkal kalau dia memiliki hubungan dengan Salma. Tentu saja dia tak mau anaknya berpikir, kalau anaknya berpikir bahwa pria yang menjadi ayahnya adalah seseorang yang menghancurkan hidup rumah tangga orang lain.Namun, sekarang ... Salma adalah seorang single parent. Sejak awal Reynand bukanlah bagian dari sebab perpisahannya dengan sang suami.Saat akan masuk ke rumah, Abyaz muncul di belakang pria dewasa itu.“Papa sudah pulang? Tumben.” Abyaz mengucap datar. Lalu mengambil kunci rumah di bawah pot bunga tak jauh dari pintu. Tempat di mana mereka sudah bersepakat untuk menyimpannya.“Hem,ya. Seperti yang kamu lihat. Papa sekarang ada di sini. Bagaimana kalau kita makan di luar?”“Wah, hari istimewa apa ini? Apa
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku