“Inggit! Apa yang terjadi? Apa ada ular?!” teriak ibunya memanggil dari luar pintu toilet yang terkunci.Inggit tidak menjawab. Perempuan itu malah menangis dan tidak peduli dengan panggilan wanita di luar sana yang tengah mencemaskannya. Dia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada ibunya itu nanti?“Inggit! Kamu ini kenapa? Malah nangis? Nggak dibuka? Kamu kesurupan?” Wanita itu semakin panik. Apalagi Inggit datang magrib –magrib begini, wajar jika dia berpikir anaknya itu sedang ketempelan.Tak membuang waktu dan terjadi hal yang mengerikan ... Rus berlari mencari bantuan ke luar. Dia harus menghubungi Wawan, pria itu pasti bisa menenangkan putrinya sekarang.__________________Salma harus tetap waras jika ingin lekas sembuh. Namun, menurut Ameeena, tampaknya akan jadi hal sulit, jika Haris tetap berada di sisinya. “Jika itu yang terbaik, saya hanya bisa mendoakan saja Uni. Semoga Allah mudahkan dan Uni diberi kelapangan hati.”Genggaman tangan Ameena mengerat, sampai Salma menu
Rania menyempatkan datang ke rumah Salma selagi jam istirahatnya. Dia bahkan harus makan siang di atas mobil sambil menyetir untuk mengisi perut yang keroncongan. Perempuan yang telah memegang komitmen dalam pekerjaan itu, tidak mau menjadi contoh buruk untuk juniornya di kantor, saat dia ke luar dari jam kerja hanya karena urusan pribadi. “Hem, lihatlah, Salma. Betapa pengorbananku sangta besar untuk masa depan kamu. Kenapa kamu bisa menyia –nyiakan hidup demi lelaki yang sudah jelas –jelas berkhianat?” celetuknya selagi mulut penuh dengan makanan. “Satu jam perjalanan bolak –balik meringkas waktu jadi satu jam 15 menit. Ditambah satu jam kerja yang kuminta. Itu akan cukup.” Wanita yang mengenakan kemeja dipadu blazer panjang itu manggut –manggut. Dia harus mempertimbangkan waktu yang bisa dia gunakan untuk bicara dengan Salma. “Jangankan satu jam, Ibu Pengacara ini bisa mempengaruhi pikiran orang lain dan mengubahnya dalam waktu sepuluh menit,” ceplosnya menyemangati diri sendiri
Ameena senang suaminya itu peka, dan menuruti kemauannya. Namun, belum lagi langkah mereka menjauh. Tiba –tiba muncul seorang perempuan yang memegang ponsel dan menempelkannya di telinga berjalan mendekat ke arah Haris. Wanita itu adalah Rania, yang ingin memastikan apakah ponsel Salma ada bersama pria pengkhianat dan ambisius tersebut?Namun, Rania jadi bingung sendiri, setelah begitu dekat dengan Haris. Justru nomor yang dituju sedang tidak aktif. Ini membuatnya semakin bingung.Melihat bagaimana ekpsresi wajah Rania yang berubah, Haris merasa senang dan menyembunyikan senyum. Dia tahu apa tujuan Rania sekarang, adalah mencari tahu apakah ponsel Salma berada di tangannya.Sebagai lelaki, dia tidak mengerti, kenapa semua wanita baik begitu mudah membuang suami dan tidak memberi maaf untuk kekhilafan para pria normal. Dan bahkan Rania, yang notabene adalah sahabat Salma, malah memprovokasi agar mempercepat perceraian.Karenanya, Ameena dan Ustaz Fawwas menghentikan langkah. Wanita yan
“Apa yang terjadi, Inggit? Kenapa menjerit –jerit di dalam toilet magrib –magrib begini?” tanya Rus pada putrinya yang berbuat hal aneh dan tak lumrah pada umumnya.Mana pintu dikunci? Jelas saja hal itu membuat panik. Tidak hanya ibunya, tapi semua orang yang ada di sana. Wawan sendiri juga tampak bingung, kenapa ponakannya berbuat hal tak jelas begitu.Mata Wawan menyipit memperhatikan gerak –gerik ponakannya itu. merasa miris. Hidup perempuan tersebut terus saja mengalami kesulitan bahkan sejak kecil. Bukan hanya soal ekonomi, dia juga disulitkan dengan pria –pria tidak bertanggung jawab. Andai, Karim tidak kolot dan mau ke Majlis bersamanya, tentu saja tidakan setragis ini.Menurutnya, Karim sampai syok dan jatuh pingsan karena dia tidek memahami aqidah dengan benar. Dia bahkan tidak mengerti bahwa setiap hal yang terjadi di dunia ini tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah, sehingga tidak bisa menerima kala takdir itu berjalan bertentangan dengan keinginannya sendiri.Kalau saja,
“Ah, ya, aku lupa bilang. Aku sekarang pindah ke samping rumah kalian.” Pria itu mengucap dengan senyum di wajahnya.“Apa?” Semua orang terkejut, terutama Haris. Yang merasa Reynand tidak mau melepaskan peluang kecil untuk terus berada di sisi Salma.“Kenapa semuanya terkejut begini?” Reynan tersenyum kecil. “Bukannya kalian senang punya tetangga baik sepertiku? Aku juga akan bantu mencari …..” Ucapannya menggantung. Hampir saja dia keceplosan menyebut nama Agni.“Mencari apa, Mas?” Salma mengerutkan kening. “Mungkin maksud dia mencari makanan untuk kita, karena kita baru dari rumah sakit.” Ibu Salma langsung menimpali. Paham situasi di depannya. Dia tidak mau meneruskan ucapan Reynand yang keceplosan. Untungnya tidak sampai menyebut nama Agni.Salma bahkan sampai menunda proses gugatan cerainya karena ingin fokus cepat sehat. Kalau sampai tahu Agni hilang, entah apa yang akan terjadi._____________“Assalamualaikum, Ustaz! Bukannya Allah membenci perceraian, tapi kira –kira adakah m
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka tampak serius sekali?” gumam Reynand yang memperhatikan rumah Haris.Dari balik jendela kaca terang yang terbuka gordennya itu, si duda tampan melihat empat orang di sana tampak serius dalam berdiskusi. Sekali wakti, ia bisa melihat ekspresi tegang dari semua orang. Bahkan Haris dan Salma yang juga bersitegang dan berdebat.Reynand mendesah berat. “Dasar Haris plin plan. Bukannya dia kemarin memintaku untuk menikahi Salma. Setelah bangun, pikirannya langsung berubah. Hiss.” Diarahkan tinju ke arah pria di kejauhan. Seolah dia ada di depannya.Ini adalah masa –masa terberat Salma, juga untuknya. Namun, satu hal yang ia yakini, kalau semua hal berat ini akan segera berlalu.Farhan rupanya memperhatikan itu. Jagoan kecil yang baru saja punya adik itu akhirnya tidak tahan untuk menanyakannya secara langsung.“Om, sedang apa?” tanyanya polos.“Ah?” Mata Reynand melebar dan seketika menurunkan pandangan menatap anak itu. “Oh ya ... ha ha. Om sedang pegel ini
Mata Haqi dan Farhan berbinar melihat kotak berisi bermacam –macam es krim. Dua tangan mungil mereka langsung bergerak membolak balik makanan dingin tersebut, untuk memilih mana yang akan mereka ambil. Melihat itu, Reynand tersenyum senang. Menyenangkan anak kecil tidak sesulit yang dibayangkan.“Kalian mau yang mana?” tanya pria itu.Haqi atau pun adiknya tidak menjawab dan terus membolak balik es krim –es krim itu karena bingung mau mengambil yang mana. Raynand mendecih karenanya. Kelakuan anak –anak memang konyol. Kalau saja hanya memberinya satu mereka pasti akan langsung mengamblilnya. Namun, karena banyak pilihan malah tidak tahu harus mengambil yang mana.“Kalian bingung, ya?” tanya Reynand lagi.Lagi, ke duanya tetap tidak menjawab.“Hei, Taqi. Kamu tidak menjawab Om? Uwahhh ... jadi Om diabaikan begitu kalian menemukan benda –benda ini? Ckck.” Reynand menggeleng –gelengkan kepala.Haqi mendongak sambil meringis ke arah Reynand. “Hehe, semuanya enak, Om. Jadi bingung.” Anak ke
“Ini soal Agni dan Lily, aku nggak terima ya Mas. Aku akan laporkan anak kamu!”“Apa? Agni? Dia sudah ketemu!? Tapi ....”“Cepat kemari!” teriak Nanda tak sabar.“Nan, ada apa sebenarnya?” tanya Haris yang kemudian jadi ikut panik juga bingung. Namun, tidak ada jawaban dari ujung telepon tersebut, dan begitu memeriksanya dengan melihat layar ponsel, rupanya Nanda sudah memutuskan sepihak panggilan mereka.Ibu Salma yang tahu bahwa Haris menerima telepon, menghentikan langkah tanpa menoleh ke arah pria yang masih berstatus sebagai anaknya itu. Dia ingin tahu, sebenarnya apa saja yang Haris lakukan? Kenapa dia keukeh sekali ingin kembali pada Salma.Jujur saja meski Haris mengatakan dia sudah benar –benar berpisah dengan istri mudanya, Ibu Salma memiliki rasa dan pikiran yang sama dengan putrinya –bahwa dia tidak percaya ucapan pria itu. Sekali berbohong seseorang tidak akan dipercayai lagi, apa lagi Haris sudah melakukannya lebih dari sekali. Dan bahkan Salma sudah pernah memberinya ke
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku