Albi kesal, sudah dua hari, menghubungi nomor Inggit tidak juga diangkat. Dia bahkan sampai nekad semalam, menerobos masuk ke rumah itu. Namun, tidak menemukan siapa pun. Sepertinya Inggit benar –benar menghindarinya, dengan tidur di rumah orang tuanya.Pemuda itu mana berani nekad ke sana? Bisa –bisa dia dilaporkan keamanan, atau paling parah dikirim santet. Albi bergidik membayangkan betapa Bapak Inggit sangat berambisi ketika menginginkan sesuatu.Kekesalannya sekarang, membuatnya ingat kejadian dua hari lalu, di rumahnya. Inggit serius ketika mengatakan jangan menghubunginya. “Heh, hanya karena kondom!”“Kamu sudah mau pergi?” tanya Albi pada Inggit yang sibuk mengenakan pakaiannya. Hari itu Albi menegur Inggit. Padahal mereka baru saja selesai melakukan sesuatu. Dia bahkan juga memuaskan wanita itu.Inggit belum menjawab. Matanya kemudian tak sengaja melihat dompet yang menyembul di kantong celana Albi. Celana itu tergeletak persis di depannya duduk di sisi ranjang menghadap lant
“Halo, Adek Agni!” Pak Willis menggerak –gerakkan telapak tangan tepat di depan wajah Agni yang sedang melamun.“Ah, ya.” Gadis remaja itu tersentak. Ia lalu memandang wajah Pak Willis dalam. “Pak, bukannya Bapak bilang ke Abi kalau istri mudanya berselingkuh?” Gadis itu terpikirkan sesuatu sekarang.“Hah?” Mata Willis melebar menatap Agni.Bagaimana anak sekecil ini bisa membahas perselingkuhan? Dari mana dia bia tahu kalau Willis sudah memergoki istri ke dua Bapaknya berselingkuh? Tidak mungkin kan Haris curhat pada orang lain, apa lagi pada anaknya sendiri.“Bapak tidak usah kaget begitu.” Agni menggigit bibir bawahnya. Ternyata begini rasanya bicara dengan gaya orang dewasa dan menghadapi lawan bicara orang dewasa pula dengan bahasan –bahasan dewasa.“Sudah, sebaiknya kamu pulang saja, Dik. Nanti orang tua kamu cemas.” Pak Willis tidak mau terlibat dalam masalah yang serius. Pria itu lalu berjalan pergi meninggalkan Agni.Namun, dengan cepat gadis kecil itu meraih tangan Pak Willi
“Buanglah, Pak. Bisa jadi nanti sudah hilang syirnya karena ada masa kedaluarsanya.” Inggit mengingatkan.“Kamu pikir roti!” Karim membantahnya. Dia tidak mau kehilangan Haris lagi. Inggit bahkan tidak bisa diandalkan. “Pak, ayolah. Apa Bapak akan baik –baik saja dengan ini? Bukannya yang Bapak mau cuma Mas Haris. Dia udah balik loh, Pak. Dia minta ini bukan tanpa alasan, karena Ustaz –nya sudah tahu dan sudah memperingatkan!” Inggit mulai kesal.“Apa itu artinya Haris juga sadar kalau dulu dia juga ....”“Ya, pasti Pak. Tapi, Mas Haris menepis pikiran –pikiran itu. Bapak tau anak Bapak ini cantik, jadi tanpa itu pun dia pasti benar –benar mencintaiku.” Inggit mengucapkan dengan percaya diri. “Nah ... bener kan? Kalian main dukun?!” seru Ibu Inggit yang tiba –tiba saja datang. “Haiss ....” Karim mendesis. Malas sekali membahas hal seperti ini dengan istrinya yang bawel. Mungkin dia sejalan dengannya, tapi walau bagaimana, Ibu Inggit adalah kakak dari Wawan yang sok agamis, jadi pas
“Apa kamu akan mengatakan semua yang kamu ketahuii pada Umi?” tanya Maya, sang driver ke pada gadis kecil yang berada di seberang meja.Mereka kini berada di sebuah Kafe dan memakan menu sederhana yang disediakan. Perjalanan masih jauh. Karena merasa tak nyaman pada Pak Willis, mereka memilih langsung pulang ketimbang merepotkannya dengan makan siang.Agni terkesan menyuap makanan dengan engga. Dia tahu meski tak berselera tetap saja harus makan. Kalau tidak, dia akan sakit dan menambah beban Uminya yang sudah begitu berat.“Umi sedang hamil, Mbak. Hamil besar.” Agni menyahut lemah. “Apa akan baik –baik saja kalau tahu Abi masih menipunya?” Kini Agni mengangkat kepala menatap wanita dewasa yang mentraktirnya makan tersebut.Maya tersenyum miris. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan? Benar juga, Uminya Agni sedang hamil tua dan harus bersiap melewati proses persalinan. Bagaimana jika masalah berat yang disandingkan dengan kondisi itu, akan berefek pada kesehatannya dan janin dalam k
Haris terus tersenyum. Salma rupanya selain baik juga polos. Dia juga sangat mencintai Haris, sehingga pria itu tidak kesulitan mengatasi situasi rumit yang menerpa. “Maafkan aku Salma.” Pria itu bicara seolah Salma ada di hadapannya. “Bukan aku tidak mau menginggalkan Inggit, tapi aku harus memperhatikan keselamatan kamu, mengingat betapa Pak Karim bisa melakukan apa pun demi ambisinya. Aku juga tidak mau berdosa karena menelantarkannya. Bayangkan saja, aku yang pertama kali menikahinya. Dia kehilangan kegadisan karena aku. Apa iya aku dengan begitu jahat dan mudahnya menjadikannya janda? Bukankah perceraian sangat dibenci Allah, dan kita diperbolehkan berbohong untuk menjaga keharmonisan rumah tangga? Itulah yang aku lakukan sekarang. Aku tidak mau merusak rumah tangga kita yang kata kamu bahkan sudah kita jaga selama lebih 15 tahun. Karenanya aku berbohong. Suatu saat kamu pasti paham. Toh waktuku tetap lebih banyak buat kamu dan anak –anak kita. Inggit sudah mau mengalah, dan b
Haris baru saja ke luar dari mobil dan menutup pintu dengan mengklik pengaman di tombol kunci dalam genggaman. Raut wajahnya berubah bingung ketika melihat pemandangan di depannya. Istri dan anaknya sedang bicara serius sambil menangis.“Ada apa ini? Apa mungkin ada hubungannya dengan kesalahanku?” Feeling Haris langsung hidup kala melihat air mata mereka.Salma dan Agni menyadari kedatangan seseorang. Begitu mata Agni melihat sosok abinya mendekat, gadis remaja itu lekas pergi. Ia tak mau berpapasan dengan pria yang paling dibencinya di dunia ini sekarang.Sedang Salma, wanita itu lekas mengusap air mata –kasar. Lalu menyimpan flashdisk yang didapat dari Agni. Ia tak mau memperlihatkan air mata lagi pada Haris, padahal tak ada masalah yang harusnya diributkan.Untuk kepergian Agni, biarlah dia sendiri yang akan mengurus, tanpa melibatkan dan menambah beban sang suami. Pria yang sudah letih bekerja untuknya dan anak –anaknya. Bahkan sekarang merangkap Ibu Salma juga. Sejak Bapak menin
“Waalaikumsalam!”Salma menggeser tubuh Haris agar bisa melihat siapa yang datang. Dia sudah lama sekali tidak melihat kakak sepupunya itu, dan sekarang setelah sekian lama, dia datang ketika kondisi tidak sebaik dulu. Tak ada yang akan ia ceritakan, Salma juga tidak berniat berbagi rahasia tentang suaminya.Biarlah semua orang di luar sana berspekulasi sendiri, mereka berhak mengatakan apa pun yang mereka mau. Yang penting semua tetap baik –baik saja. Kondisi Salma, anak –anak juga janin yang masih berada dalam kandungan.Dia bahkan sempat berpikir untuk tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan suami, demi kewarasannya. Karena bukankah hati manusia itu Allah yang memegang. Namun, bukankah sudah cukup dia berjanji dan tak akan mengulangi. Salma semakin tenang karena itu.Tubuh Haris yang tengah menggendong Farhan, sampai oleh ke samping. Dieratkan pelukan ke tubuh munguil Farhan, khawatir kalau dia akan jatuh.Matanya makin terbelalak melihat bagaimana Salma begitu bersemangat menya
“Biar aku bantu!” Reynand berjalan cepat ke arah Salma yang tengah membawa nampan berisi minuman dan beberapa potong cake di atasnya. Rasanya tidak elok saja melihat wanita hamil dan perutnya sebesar itu berjalan membawa sesuatu dan tampak kesulitan. Ucapan Reynand membuat Haris yang berada di samping sang istri melebarkan mata. Reynand tanpa sungkan melakukan hal seperti ini pada Salma bahkan di saat suaminya ada. Apa lagi melihat respon Salma. Wanita itu tersenyum. Tampak senang. Dan memberikan apa yang Reynand minta. Melihat bagaimana suntuknya wajah Haris, Reynand menyembunyikan senyum. Dia makin senang saja. Seharusnya Haris tidak melakukan hal tak baik jika tak ingin memanen keburukan pula untuknya. “Harusnya tidak perlu repot –repot begini. Kalian kan mau pergi!” ucapnya ketika meletakkan nampan itu di meja. “He he. Ya nggak papa lah, Mas. Masa tamu jauh yang gak ketemu bertahun –tahun tidak dijamu,” sahut Salma yang kemudian duduk di sofa lebih dulu. Ia ingin sejenak meng
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku