Keesokan harinya .....Inggit bersiap akan pergi. Dia harus menemui seseorang dan juga diam –diam membeli tes pack. Kepalanya terus berasa berdenyut sejak bangun dari tidur pagi ini. Lalu mual yang terus muncul secara instens dalam sejam, walau tidak sekuat yang ia rasakan di malam sebelumnya.Mungkin tanah kuburan Karim masih sangat basah, karena belum lama dikubur. Namun, bukan berarti Inggit dan Ibunya harus meratapi kepergian pria itu. Selain itu, kesedihan mereka telah berkurang karena melihat kondisi Salma yang sudah lemah sekarang, mereka yakin Salma –sang penyebab kematian Karim- juga tak lama lagi akan menyusul pria itu.“Kamu sudah mau berangkat?” tanya Ibu Inggit. Diletakkan obat maagh yang tadi dibelinya di warung pagi –pagi sekali.Dia tidak menyarankan Inggit untuk periksa ke dokter. Karena selain sakitnya tampak seperti sakit biasa, mereka juga perlu berhemat. Ada banyak sekali hutang yang harus dibayar dan kebutuhan hidup yang mestinya dipenuhi. “Ya, Bu.” Inggit menya
Reynand kini sedang berada di minimarket seberang jalan rumah sakit. Dia berharap bisa menemukan petunjuk dari sana dengan meminta bantuan salah seorang yang bertugas menjaga toko.“Seharusnya ada petunjuk,” ucapnya yakin, begitu melihat sebuah kamera yang mengarah ke jalan. Bisa jadi jangkauannya sampai gerbang rumah sakit.Sebelum meminta bantuan, Reynand berinisiatif memanggil Ibu Salma dan menanyakan beberapa hal.“Halo, assalamualaikum, Bi.”“Waalaikumsalam, Rey. Kamu sedang di mana?” tanya wanita tua yang terus dilanda ketakutan kehilangan orang –orang yang disayanginya. “Apa kamu menelepon karena sudah menemukan di mana Agni?” tanyanya dengan penuh pengharapan.“Ehm, maaf, Bi. Tapi bukan itu maksud Rey menghubungi Bibi.” Lelaki di ujung telepon menjawab dengan lesu. Dia tak mau membuat Nenek Agni kecewa. Namun, juga tidak mungkin berdusta.Aminah menghela napas berat. Apa yang dipikirkan dan diharapkan rupanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi.“Bi, pakaian seperti apa yang
“Mas.” Salma tersenyum.Wajah Reynand dan Haris yang sempat tegang, seketika tersenyum. Ada kebahagiaan yang menjalar ke ruang –ruang hati yang sebelumnya dipenuhi duka. Namun, dua pria itu mulai berpikir, kala ingat selain rasa sakit yang tubuh Salma rasa, bukankah hatinya juga sedang terluka? Lalu, senyum itu diperuntukkan siapa?Hariskah? Karena dalam tidurnya, Salma membuat perenungan panjang untuk memulai semuanya dari awal lagi. Atau untuk Reynand, pria yang akhirnya dia pilih sebagai penjaga di masa depan. Seseorang yang tidak pernah meninggalkannya, meski Salma terus bersikap dingin dan menolak bantuannya.Reynand atau pun Haris saling melihat satu dengan yang lain karena itu. senyuman mereka redup, berganti ekspresi bingung. Seolah keduanya saling bicara melalui tatapan, sementara dua bibir mereka sama –sama tertutup rapat. Mereka saling bertanya untuk siapa senyum itu Salma hadirkan?Hanya sebuah senyuman, tapi itu sangat berarti bagi Reynand karena seorang Salma yang melaku
“Ada apa Nek?” tanya Hania yang merupakan sebuah proses, karena Nenek menghalangi mereka masuk dan menyeret ke tempat lain. “Sabarlah, Nenek hanya ingin bicara sebentar.” Wanita tua itu tampak serius. “Ya, Bi. Kami akan mendengarkan.” Reynand menimpali obrolan antara cucu dan neneknya tersebut. “Begini, Rey. Kamu pasti mengerti jika ini soal Agni. Tolong jangan pernah membahasnya di depan Salma. Kamu pasti tahu kalau Dokter berpesan agar menjaga suasana untuk pasien.” Ibu Salma menjelaskan apa yang menganggu harinya. “Ya, Hania tahu, Nek.” Gadis kecil itu mengucap lemah. Kebahagiaan mendapati Ibunya sadar, seketika mengecil karena ingat adiknya yang belum ada kabar bahkan hingga sekarang. “Ke mana Agni sebenarnya?” gumamnya dengan mata memanas. Hatinya perih membayangkan sesuatu yang buruk menimpa adiknya tersebut. ________________________[ Ran, maafkan aku. Tapi sepertinya aku akan mencabut gugatan. Aku belum siap untuk bercerai. ] ketiknya di layar pesan. “Heh.” Haris tersen
“Inggit! Apa yang terjadi? Apa ada ular?!” teriak ibunya memanggil dari luar pintu toilet yang terkunci.Inggit tidak menjawab. Perempuan itu malah menangis dan tidak peduli dengan panggilan wanita di luar sana yang tengah mencemaskannya. Dia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada ibunya itu nanti?“Inggit! Kamu ini kenapa? Malah nangis? Nggak dibuka? Kamu kesurupan?” Wanita itu semakin panik. Apalagi Inggit datang magrib –magrib begini, wajar jika dia berpikir anaknya itu sedang ketempelan.Tak membuang waktu dan terjadi hal yang mengerikan ... Rus berlari mencari bantuan ke luar. Dia harus menghubungi Wawan, pria itu pasti bisa menenangkan putrinya sekarang.__________________Salma harus tetap waras jika ingin lekas sembuh. Namun, menurut Ameeena, tampaknya akan jadi hal sulit, jika Haris tetap berada di sisinya. “Jika itu yang terbaik, saya hanya bisa mendoakan saja Uni. Semoga Allah mudahkan dan Uni diberi kelapangan hati.”Genggaman tangan Ameena mengerat, sampai Salma menu
Rania menyempatkan datang ke rumah Salma selagi jam istirahatnya. Dia bahkan harus makan siang di atas mobil sambil menyetir untuk mengisi perut yang keroncongan. Perempuan yang telah memegang komitmen dalam pekerjaan itu, tidak mau menjadi contoh buruk untuk juniornya di kantor, saat dia ke luar dari jam kerja hanya karena urusan pribadi. “Hem, lihatlah, Salma. Betapa pengorbananku sangta besar untuk masa depan kamu. Kenapa kamu bisa menyia –nyiakan hidup demi lelaki yang sudah jelas –jelas berkhianat?” celetuknya selagi mulut penuh dengan makanan. “Satu jam perjalanan bolak –balik meringkas waktu jadi satu jam 15 menit. Ditambah satu jam kerja yang kuminta. Itu akan cukup.” Wanita yang mengenakan kemeja dipadu blazer panjang itu manggut –manggut. Dia harus mempertimbangkan waktu yang bisa dia gunakan untuk bicara dengan Salma. “Jangankan satu jam, Ibu Pengacara ini bisa mempengaruhi pikiran orang lain dan mengubahnya dalam waktu sepuluh menit,” ceplosnya menyemangati diri sendiri
Ameena senang suaminya itu peka, dan menuruti kemauannya. Namun, belum lagi langkah mereka menjauh. Tiba –tiba muncul seorang perempuan yang memegang ponsel dan menempelkannya di telinga berjalan mendekat ke arah Haris. Wanita itu adalah Rania, yang ingin memastikan apakah ponsel Salma ada bersama pria pengkhianat dan ambisius tersebut?Namun, Rania jadi bingung sendiri, setelah begitu dekat dengan Haris. Justru nomor yang dituju sedang tidak aktif. Ini membuatnya semakin bingung.Melihat bagaimana ekpsresi wajah Rania yang berubah, Haris merasa senang dan menyembunyikan senyum. Dia tahu apa tujuan Rania sekarang, adalah mencari tahu apakah ponsel Salma berada di tangannya.Sebagai lelaki, dia tidak mengerti, kenapa semua wanita baik begitu mudah membuang suami dan tidak memberi maaf untuk kekhilafan para pria normal. Dan bahkan Rania, yang notabene adalah sahabat Salma, malah memprovokasi agar mempercepat perceraian.Karenanya, Ameena dan Ustaz Fawwas menghentikan langkah. Wanita yan
“Apa yang terjadi, Inggit? Kenapa menjerit –jerit di dalam toilet magrib –magrib begini?” tanya Rus pada putrinya yang berbuat hal aneh dan tak lumrah pada umumnya.Mana pintu dikunci? Jelas saja hal itu membuat panik. Tidak hanya ibunya, tapi semua orang yang ada di sana. Wawan sendiri juga tampak bingung, kenapa ponakannya berbuat hal tak jelas begitu.Mata Wawan menyipit memperhatikan gerak –gerik ponakannya itu. merasa miris. Hidup perempuan tersebut terus saja mengalami kesulitan bahkan sejak kecil. Bukan hanya soal ekonomi, dia juga disulitkan dengan pria –pria tidak bertanggung jawab. Andai, Karim tidak kolot dan mau ke Majlis bersamanya, tentu saja tidakan setragis ini.Menurutnya, Karim sampai syok dan jatuh pingsan karena dia tidek memahami aqidah dengan benar. Dia bahkan tidak mengerti bahwa setiap hal yang terjadi di dunia ini tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah, sehingga tidak bisa menerima kala takdir itu berjalan bertentangan dengan keinginannya sendiri.Kalau saja,
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku