"Kamu yakin akan mencabut laporan itu, Mas?" Aku bertanya saat Mas Yanuar selesai mandi dan air itu menetes di seluruh tubuhnya.Suamiku terlihat sangat gagah jika bertelan jang dada seperti ini, sungguh ciptaan Tuhan yang teramat sempurna. Baik, sopan, pecinta keluarga, tapi sayang jika ngambek bisa tahan sampai berhari-hari. Ah, nggak jadi sempurna kalau begitu, banyak kekurangan."Lebih baik begitu, aku takut jika masalah ini nanti membuat kita malu sendiri. Saksi dari perangkat desa saja tidak ada yang mau menjelaskan. Lagian niat kita juga hanya ingin membuat efek jera buat dia supaya kepalanya nggak gede-gede amat." Mas Yanuar menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Wajah ini bahkan sampai kecipratan karena tingkahnya yang memang yang disengaja itu. Aku menautkan kedua alis, bingung dengan cara berpikir dia. "Sudah, nggak usah di pikirkan lagi. Besok kita ke kantor polisi untuk mencabutnya. Biar Lek Santoso tahu bahwasanya uang yang selalu di agungkan itu nggak ber
Menoleh ke arah kami dengan disambut oleh senyum manis. Satu persatu aku melihat mereka yang tak lain adalah kerabat dari Mbah Lastri meskipun ada sebagian kecil dari saudara Mbah Darma juga. Bersalaman dengan semua, aku dan Mas Yanuar tak lepas dari ucapan salam saat tangan kami saling bersentuhan. "Sini duduk disini!" ucap Mbah Darma dengan wajah seperti kelelahan.Lelaki tua yang beruban hampir memenuhi seluruh kepala itu terbaring lemah tak berdaya di atas ranjangnya. Wajahnya yang begitu banyak lipatan kerut seakan mengajakku untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku tergugu, kasih sayang yang seharusnya aku terima dari Mbah Lanang justru kudapatkan dari beliau. Tangan inilah yang selalu mengelus rambut ini saat sakit panas waktu kecil, memijat kaki ini jika pegal karena berlarian sepanjang hari waktu dulu. Sungguh indah kenangan bersamanya dan aku tak ingin itu berakhir. Hingga detik ini jika aku merasa kangen maka akan datang ke rumah ini yang penuh dengan kasih. Bermalam dan
Para tetangga kanan kiri semakin banyak memasuki kediaman Mbah Darma, gotong royong dalam acara duka ini menjadi kebiasaan kami yang tinggal di desa. Semua lalu mencari sendiri pekerjaan yang bisa dikerjakan. Mendirikan tenda, menata kursi dan semua macam peralatan untuk mandi saat jenazah nanti akan disucikan.Aku menemani Mbah Lastri yang duduk termenung di samping jenazah sang suami tercinta. Tak ada air mata, pandangan mata sayu itu pun tetap tertuju pada sang belahan jiwa. Sungguh pemandangan yang memilukan bagiku. Setiap orang yang datang mengucapkan bela sungkawa, Mbah Lastri tidak pernah mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya senyum tipis yang diterbitkan kala jabatan tangan itu melekat erat dan seolah memberikan kekuatan untuk tetap tegar."Mbah, aku mau ngaji dulu. Nggak apa di tinggal sendiri?" tanyaku yang membuat beliau menoleh sekilas lalu menjawab dengan anggukan kepala saja. Lelaki yang terbujur kaku di atas meja itu ku pandangi tanpa kedip. Wajahnya yang ditutupi den
"Ini yang ingin aku bicarakan, hati-hati Mbah nanti kalau giliran sampean untuk dijadikan kayu pesugihan!" imbuhnya lagi dengan sedikit suara yang ditinggikan intonasinya. "Ngawur, dalam keadaan berduka begini kamu malah berpikir macam-macam. Kamu waras?" tukas Mbah Lastri dengan mata memandang tajam.Semua mata tertuju ke arah beliau, berbisik-bisik para saudara dan tetangga yang masih duduk di ruang tengah dengan berselonjor di lantai. Tak ada yang menggubris perkataan Bi Salimah, mereka justru menggeleng pelan kepalanya. Memang tidak bisa mencari waktu yang tepat, kesedihan yang baru saja dialami Mbah Lastri harus ditaburi sebuah drama yang di ciptakan oleh wanita aneh seperti Bi Salimah. Aku masih setia memandangnya dengan tanpa kedip, bahkan seakan diri ini enggan sekali memutar bola mata untuk berpaling. Bi Salimah mencebik dan berlalu meninggalkan kami yang malas untuk menanggapi ghibahannya. Dia mendekati sang anak perempuan yang masih duduk dengan tangan sibuk memegang pon
Kursi sudah lagi di tata rapi karena Magrib pun hampir tiba. Semua sanak famili yang dekat rumahnya berkumpul di rumah duka. Bahkan aku melihat ada Lek Santoso beserta keluarga juga duduk di sebuah kursi bersama yang lainnya.Memasuki rumah yang telah menjadi saksi bisu indahnya sayang yang aku dapatkan ini, Mbah Lastri berdiri tersenyum dengan membawa mukena di tangan kirinya. Setelah mencium punggung tangan wanita itu aku pun duduk ikut bersama ibu yang sedang menata hidangan di atas meja makan."Sudah makan?" tanya Ibu singkat. Aku pun mengangguk. "Mereka kok rajin banget sudah sampai disini semua. Jangan-jangan ada sesuatu!" ucapku dengan mengambil kacang goreng di meja. Lagi-lagi aku di buat kesakitan karena ulah ibu, pinggang ini di cubit kecil. Saking kecilnya aku pastikan membekas merah tua di kulit. Sedikit meringis demi menahan rasanya yang begitu membuat diri ini ingin berteriak. Ku elus berulang kali tempat ibu mencubit tersebut."Kenapa kamu selalu berpikir buruk tentan
Aku yang hendak pergi ke dapur, seraya tangan ini dicekal oleh wanita yang masih terlihat cantik, tapi sedikit berisi itu. Bukannya nggak sopan ketika diajak orang berbicara malah pergi, tapi aku sengaja menghindar demi sebuah kalimat bernama gosip.Nggak etis jika dalam keadaan seperti ini malah membicarakan saudara sendiri yang sudah berada di bawah dan titik terendah dalam hidup. Tidak ada seseorang yang menghendaki rumah tangganya akan kocar-kacir, pun dengan aku. Akhirnya terlintas sebuah ide kebohongan kecil untuk terlepas dari jerat ghibah."Mbak, aku mau pipis, sudah nggak tahan, permisi," pamitku yang meninggalkan dirinya terpaku.Di belakang aku sengaja masuk ke kamar mandi terlebih dulu, mencuci muka dan setelah itu kembali kumpul bersama ibu. Iya, akan jauh lebih baik aku duduk berdekatan dengan beliau.Para jamaah lelaki sudah mulai memasuki rumah dan halaman. Kami para saudara yang memang sengaja ingin bermalam disini menunggu mereka mengaji dengan duduk di ruang makan y
Malam yang panjang, aku pun turut serta tidur di rumah Mbah Darma. Mas Yanuar juga bermalam di rumah ini, para lelaki saling berbincang di luar sedang kami sudah mulai menaikkan selimut di ruangan yang luas ini bersama-sama. Menjadi kebiasaan di tempat kami jika ada salah satu kerabat yang telah meninggal maka sanak-saudara akan menginap dan tidur bersama hingga hari ketujuh.Sungguh suasana yang sangat hangat dan kental. Namun, saat aku mengedarkan pandangan di setiap sudut rumah tidak menemukan Bi Salimah juga anak gadisnya. Mungkin mereka telah pulang tanpa aku tahu kapan keluarnya dari sini.Saat hendak pergi ke kamar mandi karena kandung kemih mulai sakit saking banyaknya menampung, ada suara yang sangat aku kenal pemiliknya. Menggelegar bak petir kala hujan turun ke bumi membasahi semua yang ada di alam ini. Bi Salimah, iya, beliau ternyata ada di dalam kamar Mbah Lastri dengan suara setengah berbisik menyebut namaku. Pintu yang terbuka dan hanya ditutupi kain tirai itu seolah
"Jangan pernah membantah, karena kalau orang tua bicara itu pasti demi kebaikanmu. Paham?" imbuhnya. Semenjak kejadian beberapa tahun silam yang masih membekas di hati ini aku selalu saja tidak berani berkutik jika Mbah Lastri mengatakan sesuatu yang harus didengar dengan seksama. Takut jika kejadian yang sama akan berulang kembali, ceramah panjang lebar. Berjalan menikmati udara pagi setelah berpamitan untuk pulang. Aku dan Mas Yanuar bergandengan tangan sambil melihat sinar matahari yang masih malu-malu menampakkan wujudnya. Semburat jingga pun menghiasi langit berwarna biru muda itu dengan indah, sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.Udara yang segar menyapa wajahku, terasa damai hidup di dunia cerah ini. Burung yang hinggap di dahan pepohonan bernyanyi, bersiul-siul mengikuti ritme daun yang bergoyang. Sangat istimewa. Lalu lalang kendaraan pun belum sepenuhnya lewat, jadi udaranya masih begitu bersih. Apalagi ditambah dengan hamparan sawah yang menghijau bak karpet permad
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan