"Kayak orang pintar saja bisa tahu, sudahlah tidak akan ada apa-apa. Mungkin mau berganti musim jadi ya seperti aneh cuaca malam ini." Ibu menjawab sebentar lalu meneruskan tugasnya. Aku keluar memandang langit yang menghitam, bulan dan bintang yang biasanya selalu menghiasi indahnya malam tidak muncul juga. Mungkin benar apa kata Ibu, jika pergantian musim akan terjadi. Musim penghujan yang selalu dinanti oleh para petani akan datang. "Agus!" teriak Ayah dari dalam rumah, sontak aku kaget dan berlari menuju ke dalam. Diri ini mematung kala melihat Mas Agus yang tiba-tiba kejang dengan mata melihat ke atas. Wajahnya pasi, sedang Ibu membuat aku seperti tak bertulang. Tubuh itu luruh ke lantai dengan pandangan kosong. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena pandangan mata ini tiba-tiba gelap.Suara orang mengaji terdengar sayup-sayup di telinga, serta aroma khas minyak aromaterapi begitu mencuat seiring dengan terbukanya mata ini perlahan. Tak ada suara, hanya air mata yang terus
Kutuntun Ibu yang memang berniat ingin mensucikan raga anak lelakinya tersebut. Banyak dari anggota keluarga meminta beliau untuk tidak melakukan ritual itu, tapi Ibu tetap bersikukuh untuk melakukannya. Tangisan kami pecah kala memandang wajah yang tengah tertidur pulas itu, tak bisa berdiri dengan tegak meskipun niat dalam hati begitu kuat. "Bawa Ibumu masuk, biarkan Ayah sama yang lain meneruskan ini! Masuklah, Bu!" bisik Ayah lembut. Ibu setengah berontak saat tubuhnya aku gandeng untuk masuk ke dalam rumah, tapi berbagai macam bujukan dari saudara membuat hatinya akhirnya melemah dan menurut. Alhasil, Ibu tergugu di dalam kamar ketika menanggalkan pakaiannya yang basah karena memandikan Mas Agus barusan."Ibu, minum dulu! Jangan membuat Suci bersedih, kita jangan terlalu larut dalam kesedihan ini. Yang Mas Agus harapkan adalah doa dari kita yang masih hidup, semangat, Bu, ada Suci!" bisikku dengan mencium pipi beliau yang masih basah karena air mata. "Ibu belum siap ditinggal
Iya, aku hamil, Bu." Diraihnya kembali tubuh ini untuk berada di pelukannya, tangis kami pecah. Hingga tak terdengar jika ada ketukan di pintu dan terbukalah lebar. Ayah memandang ke arah kami berdua yang saling berpelukan. "Ayo keluar, jenazah Agus sudah mau diberangkatkan! Ikhlas, ya, percayalah jika Agus akan bahagia dan tenang di alamnya sana," ujar Ayah dengan memalingkan muka secepat mungkin. Pundak yang kokoh itu ku pegang saat hendak membuka pintu kamar. Ayah lalu terdiam mematung tanpa menoleh. Aku tahu jika hatinya terluka dalam, tapi dengan pintarnya Ayah menyembunyikan itu semua dari kami. Ku peluk erat tubuh itu dan sedetik kemudian berguncang keras. Ayah menangis tanpa suara. Lelaki hebat di depanku ini sedang mengeluarkan rasa sesak dalam hati sama seperti apa yang kamu rasakan."Ayah, jangan sembunyikan luka ini sendiri, kami tahu Ayahlah yang paling sedih di sini dan tidak sepatutnya Ayah menyimpannya dalam. Masih ada aku, Ayah kuat." Sebelum mengangguk, Ayah mem
Mbak Tika menoleh dan mengajak keluar mengikuti jenazah mas Agus yang sudah keluar dari rumah. Tangis keluarga pecah, bahkan Ibu pingsan saat iring-iringan pelayat mengantar ke tempat peristirahatan terakhir. Tubuh ini terasa melayang tinggi, bagaikan kapas putih yang terbang ke langit biru. Pandangan pun tiba-tiba menjadi buram dan suara-suara orang yang berbicara semakin lama semakin hilang. Akhirnya akupun …. Wangi aromaterapi menusuk hidung, perlahan kubuka mata ini dan melihat Ibu yang duduk di sampingku berbaring mengelus lembut punggung tanganku berulang-ulang dengan pandangan kosong. Lagi-lagi aku harus merasakan duka yang mendalam, apalagi melihat orang yang aku sayang seperti tidak bergairah. Kupeluk tubuh Ibu, tangannya pun membelai lembut rambut ini lalu mengecup pelan. Kami sama-sama terbawa suasana hati yang tidak pernah sekalipun terlintas selama ini. Mas Agus yang aku pikir sehat-sehat saja selama ini justru dia berpulang terlebih dahulu dan tanpa diduga-duga. Takd
"Siapa yang bilang seperti itu, Mbak?" tanya Ayah dengan menoleh ke arah kami semua, aku dan Bude Kusrini saling pandang karena kaget dengan pertanyaannya barusan. Tidak kami sadari jika Ayah ternyata sudah pulang dari pemakaman dan mendengar apa yang tengah kami perbincangkan. Sungguh di luar dugaan. Namun, bukankah itu adalah sebuah kebaikan? Supaya Ayah tahu lagi perbuatan dari saudaranya tersebut meskipun itu sangat memalukan karena banyak keluarga dari pihak Ibu yang akhirnya tahu akan sifat Bi Salimah sekeluarga?Ah, entahlah, disini aku sendiri menjadi seseorang yang serba salah. Harus memberitahukan tabiat salah satu keluarga supaya keluarga lain melihat jelas dan menilai sendiri siapa mereka. Namun, itu justru akan membuat Ayah semakin terpojok karena ulah dari adiknya. Kalau hanya diam saja, nanti Ibu yang merasa sakit, seperti seolah tidak ada yang membelanya. Aku menunduk, mengikuti alur yang sedang berjalan seperti hembusan angin yang menerpa wajah."Tuh, adik kamu! Kal
"Bukan ulah kami, Mbah. Namun, sikap dari mereka yang tidak mencerminkan sebagai saudara. Maaf, jika saya mengambil keputusan ini, tapi sekali lagi saya ucapkan, tidak ada yang bisa lagi menghina keluarga kami. Saya tidak akan melepaskannya begitu saja, kecuali mereka meminta maaf kepada Ayah, Ibu juga Mas Agus," jawab Mas Yanuar yang membuat Bude Kusrini menyunggingkan senyum."Bagus, lelaki seperti ini yang saya mau. Lakukan apa yang menurutmu baik!" Bude Kusrini menepuk pundak Mas Yanuar dengan membusungkan dadanya. Wanita itu terlihat sumringah kala mendengar perkataan suamiku. Mbah Darma pun berlalu pulang tanpa lagi menoleh ke arah kami yang masih berdiri di tempatnya. "Sudahlah, persiapkan saja untuk tahlilan nanti malam, untuk masalah ini nggak usah dilanjutkan. Nanti setelah tujuh harinya Agus baru kamu kasih pelajaran mereka, Bude mendukung penuh. Jangan gentar jika benar, bukan begitu Budi?" ujar Bude Kusrini. Sedangkan yang ditanya hanya diam dan menggandeng tangan Ibu,
Seminggu berlalu semenjak kepergian Mas Agus untuk selamanya. Ada sesuatu yang kurang di rumah ini. Apalagi Ibu yang setiap pagi seusai mengerjakan tugasnya, kini menjadi melamun dengan duduk di tempat Mas Agus kala masih hidup. Sungguh pemandangan yang membuat diri ini ikut bersedih. Bagaimana tidak? Keseharian beliau yang memang selalu merawat anak lelakinya tersebut kini harus selesai dan itu menyisakan banyak kenangan yang harus dihapus dari ingatan. Mengikhlaskan adalah cara untuk meredakan rasa rindu yang membuncah ketika sepenggal kisah masa lalu terngiang diantara hari-hari yang kaki lewati.Dan, selama itulah Bi Salimah sekeluarga juga Lek Kandar tidak pernah bertatap muka dengan kami sekeluarga. Entahlah, jarak antara kami semakin membentang. Terlalu jauh untuk didekatkan dan terlalu sulit untuk dieratkan, meskipun ada dua yang terkadang menjadi tali itu sedikit baik. Namun, bukan pada keluarga kami.Aku duduk di teras rumah menikmati semilirnya angin yang menyapa dengan se
Mbak Kiki mengangguk, tangannya mengelus punggung ini berulang-ulang. Hingga terhenti saat mendengar ocehan Bi Salimah yang seolah itu tertuju padaku. Sakit, dia mencoba menyentil luka ini kembali. Entah apa maksudnya? "Sehatlah, 'kan, duitnya banyak. Nggak pernah keluar untuk bekerja, tapi uang selalu saja datang dengan tiba-tiba." Bi Salimah terlihat geram, tangannya yang memegang seikat sayuran dibanting kasar. Kami yang hendak memilih sayuran saling pandang dengan dahi yang berkerut."Benar, Mbak Suci kalau suamimu itu mempunyai suruhan untuk mengambil uang orang lain? Idih, masih muda kok malas bekerja dan nggak suka menggerakkan ototnya. Apa nggak takut dosa, neraka lho jaminannya," celetuk Bu Ita, wajahnya berubah sedikit jutek dengan senyum sinis terhadapku. Bahkan belum berselang satu detik, wajah wanita ayu itu terlihat seperti seseorang yang jijik melihat ke arahku. Mbak Kiki yang tak jauh berdiri dariku seolah tahu apa yang aku rasakan saat ini. Dia berusaha menenangkan
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan