Mungkin akal sehatnya telah hilang dan tercabut dari hatinya. Bersikap baik dan wajar saja sudah tidak dilakukan sama sekali terhadap kami yang justru sebagai saudara tertua dari istrinya itu.Bukankah keluarga itu harus saling menghormati satu sama lain? Lalu apakah ini? Rasanya begitu geram dan ingin menjambak mereka, tapi tak mungkin aku lakukan. Aku masih waras."Kamu terlalu angkuh untuk tidak memberi tahu kami jika besok akan ada pesta pernikahan di rumahmu, kenapa? Kamu takut jika nanti ada kejadian buruk yang menimpamu lalu kami melihatnya?" Berkacak pinggang dengan mata melotot ke arahku dia berucap lantang."Ada masalah?" Aku masih santai menanggapi ucapan kasar yang membuat hati terluka itu. "Kamu, kalian yang akan ada masalah nanti. Kita lihat saja!" bentaknya nyaring memekakkan telinga.Aku menggeleng pelan lalu meninggalkan dia yang masih setia berdiri di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Mata membulat dengan napas memburu bagaikan seekor hewan pemangsa yang kela
Aku memberi minum untuknya, berharap semoga amarah yang membelenggu jiwa segera pergi sejauh mungkin dan Ayah akan kembali tenang. Sungguh aku kasihan jika melihat keadaan Ayah yang marah, karena kesehatannya akan terganggu jika emosi itu bangkit dan mendidihkan darahnya. 🔥🔥 Setiap sore aku selalu menyapu di halaman rumah, dedaunan kering yang berjatuhan menjadikannya tempat seperti pembuangan sampah. Kotor. "Ci, yakin kamu mau menikah dengan lelaki pilihan Mbah Darma? Dia lho bukan lelaki baik-baik, suka mabuk, judi dan main wanita. Kalau aku jadi kamu maka akan menolak perjodohan itu!" Tiba-tiba Bi Salimah datang menghampiriku yang sedang membersihkan selokan yang penuh dengan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga didepan rumah ini.Sebenarnya aku enggan sekali meladeni wanita yang aneh ini, tapi rasanya kalau tidak dilawan akan ada sesuatu yang hilang. Mungkin inilah saatnya aku berani berkata lagi setelah sekian purnama kami tidak beradu mulut. "Kok tahu?" ketusk
Iring-iringan pengantin datang setelah aku duduk di pelaminan seorang diri. Wajah-wajah sumringah terpancar saat kedua keluarga saling bertemu dan menerima semua seserahan. Namun, raut wajah keluarga Lek Santoso seolah sinis dan menghina setelah semua tamu duduk di tempatnya masing-masing.Tak ku hiraukan mereka maupun hatinya, karena sejauh ini hanya kebahagian kami yang lebih penting. Acara ijab qobul pun lancar di ikrarkan oleh Mas Yanuar tanpa mengulang. Tangis bahagia menyambut dunia baru ku penuh haru biru. Kini aku resmi menjadi seorang istri dan bagian dari keluarga Mas Yanuar. Beribu kalimat doa dilantunkan dari keluarga besar untuk pernikahan ini semoga langgeng dan berkah. Lalu acara pun berlanjut ke hiburan, meski tak terlalu megah dan ramai seperti pada umumnya, tapi hati ini sudah teramat sangat bahagia. Senyum sumringah selalu ku ukir ketika para tamu mengucap selamat untuk kami berdua di pelaminan. Hingga tiba saatnya kejadian yang tak pernah aku bayangkan terjadi. K
"Nggak orang kaya kok tamunya banyak, pasti dapat beras dan gula puluhan karung mereka." Bi Salimah bersuara dengan gigi bergemeletuk. "Aku juga heran, kenapa mereka bisa mempunyai tamu sebanyak itu. Padahal Kakak kamu itu nggak pernah main ke warung-warung untuk ngobrol dengan para lelaki di sana. Kok bisa-bisanya tamu datang hingga malam sampai berjubel seperti itu!" balas Lek Santoso. "Alah, paling juga itu tamunya Mbah Darma, tahu sendiri, 'kan, lelaki tua itu terlalu sayang sama mereka. Padahal anak cacat seperti itu apa istimewanya kok selalu diberikan tempat khusus," gerutu Bi Salimah lagi. "Kamu ngapain disini? Mau maling?" Suara Julia mengagetkanku, sontak jantung ini semakin kencang berdetak.Langkah kaki pasangan suami istri itu terdengar mendekat dan belum ada hitungan detik semua mata tertuju padaku seperti hendak menguliti diri ini. Julia yang berdiri dengan bersedekap dada memandang sinis ke arahku yang berdiri di dekat lemari penyekat ruang, lalu mata mereka berpind
Ibu yang berada di sampingku langsung menepuk pundak ini keras. Beliau mendelik tajam, tapi senyum manis tetap terukir indah di sudut bibirnya. Wanita terhebat yang aku miliki di dunia ini."Istri kamu ini memang kurang sajen, jangan lupa nanti malam biar Ibu siapkan sajennya supaya tidak ngelantur kalau bicara!" Ibu berlalu meninggalkan kami berdua yang tertawa mendengar perkataannya itu. Sungguh Ibu adalah wanita hebat, bisa bercanda kala hati sedang terluka demi menutupi sesuatu yang suatu saat suamiku yang telah menjadi bagian dari keluarga ini mengetahui kenyataan tentang arti dari sebuah saudara. Saudara yang seharusnya saling menghormati, menghargai dan mencintai harus berjarak kala harta benda adalah sebuah tolak ukur untuk mengakui bahwa itu keluarga. "Memang ada keluarga seperti itu? Aku lihat saat kita menikah kemarin sikap mereka kayak nggak suka, ada apa? Eh, maaf sih jika aku bertanya terlalu jauh," tanya Mas Yanuar membuka percakapan."Harta benda menjadi hal utama ba
Pasangan pengantin baru masih disematkan para tetangga jika kami lewat, seperti pagi ini. Kala matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya aku dan Mas Yanuar menikmati udara pagi dengan jalan santai bersama. Angin yang masih bersih karena polusi yang membuat udara kotor saling bertemu itu membuat para orang tua ataupun ibu hamil jalan-jalan pagi sekalian olahraga. Sambil bercerita dan tertawa kami begitu bahagia sama seperti mereka."Pengantin baru biasanya wangi ini," kelakar Bu Susi, wanita setengah baya yang berjalan bersama suaminya menyapa kami."Memangnya pengantin lama nggak wangi, Bu?" balasku yang membuat suaminya ikut tertawa. "Bisa saja kamu, Suci. Oh, iya, aku pesan gamis yang kemarin sudah ada belum, soalnya mau dipakai hari Minggu besok?" "Sudah ada, Bu. Nanti saya antar saja ke rumah Ibu Susi, ya." Beliau mengangguk dan berlalu melanjutkan jalan santainya. Tangan ini digenggam erat oleh Mas Yanuar, terasa menghangat hingga relung hati. Indahnya mempunyai
Bapak mertua mengangguk dan memastikan kalau dalam keluarga ini baik dan menerima aku tulus. Hati ini menghangat, tanpa terasa air mata pun mengalir deras membasahi pipi yang dipoles dengan pewarna pipi yang tipis. "Yanuar, sebentar lagi kamu akan panen, apakah tidak sebaiknya datang kesana sekalian menikmati indahnya pemandangan!" tukas Bapak mertua yang membuat dahiku berkerut. "Pemandangan apa, Pak? Jangan mau Dek Suci, panas. Nanti kulitnya gosong, sudah di rumah saja sama kita mumpung kita disini dan menikmati liburan, iya, 'kan, Mel?" jawab Mbak Tania dengan mengerlingkan satu matanya. Mbak Melisa mengangguk setuju lalu dia mengajakku duduk di lantai bersama dengan anak-anak mereka."Nak Suci, Lek kamu yang bicara kemarin itu memang kurang baik yang hubungan kalian, kok, menghina kami karena tidak membawa motor atau mobil saat lamaran?" tanya Bapak mertua yang membuat wajah ini seketika memerah.Semua pandangan tertuju padaku, pun dengan Mas Yanuar, mata tajam itu menyorot pe
"Assalamualaikum, benar ini rumah Mbak Suci?" tanya seorang lelaki dengan dandanan rapi saat aku sibuk mengemas barang-barang pesanan online."Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" jawabku dengan sedikit memicingkan mata."Ini, Mbak!" Lelaki itu menyodorkan sepucuk kertas dan memberikan instruksi kepada temannya yang di luar. Bergegas aku bangkit dari duduk dan mendekati dia yang berdiri di depan pintu. Sontak mata ini membulat karena melihat sebuah kendaraan roda dua diturunkan. Motor berwarna merah itu tampak gagah kala sudah berdiri di teras rumah. Kupandangi tanpa kedip meski tatapan dari kedua lelaki di depanku seakan menatap balik dengan penuh kebingungan.Ibu yang di dalam sedang menyuapi Mas Agus pun turut serta keluar dan melihat aku yang memucat. Mata kami saling beradu sesaat lalu mengedikkan kedua bahu bersamaan."Dari mana, ya, Mas?" tanyaku kebingungan."Dari suami anda, Mbak. Mas Yanuar," jawabnya dengan mengangguk sopan.Tak kujawab lagi ucapan petugas dealer itu, berg
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan