Namun, Mas Yanuar semakin menjadi-jadi. Dia justru berdiri dan mendekati Angga yang berdiri masih belum sempurna itu."Dengar, aku nggak akan takut ancaman dari kalian. Kamu Julia, kalau nggak mau menjelaskan tentang ucapan yang kamu katakan pada ibuku maka akan aku bawa kasus ini ke ranah hukum. Sekali lagi aku nggak main-main, berani menyentuh keluargaku maka harus berani bertanggung jawab jika perbuatan burukmu itu!" Telunjuk itu mengarah pada Julia yang menunduk.Aku rasa dia takut dengan gertakan ini, sejak awal aku lihat wajah cantik itu pucat. Matanya pun bergerak tak tentu arah, seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.Mas Yanuar yang aku kira akan mengajak diriku pulang mala kembali duduk di kursi sofa berwarna merah itu. Kakinya ditumpuk dengan kedua tangan diletakkan di lutut. Seperti menunggu seseorang yang akan segera bersuara.Namun, sekian detik berikutnya malah suasana menjadi hening. Tidak ada suara ataupun sejenisnya, karena Angga pun berubah menjadi diam memb
"Seperti biasanya, Bu," jawabku, tubuh yang terasa kaku ini terasa sedikit renggang kala duduk di kursi sofa empuk.Langit-langit rumah yang kotor terlihat ada pemandangan dengan sarang laba-laba yang berjejer di sudut-sudut plafon. Pikiran pun melayang jauh, tentang kehidupan yang aku jalani sejak kecil hingga sudah menjadi seorang ibu.Tidak ada sama sekali yang namanya kekeluargaan di tempat Ayah ini. Justru permusuhan seolah mendarah daging dan enggan hilang dari pandangan. Saat orang tua sudah istirahat dan fokus terhadap masa tua kini malah berganti yang muda.Bukankah seharusnya yang muda dan waras meluruskan hubungan yang bengkok supaya kelak tidak ada lagi pertikaian yang hanya merugikan diri sendiri? Ah, memikirkan hal ini membuat otakku benar-benar mendidih."Suci! Minum dulu!" titah Ibu dengan menyodorkan segelas air putih.Tanpa aba-aba lagi langsung aku meminumnya hingga tandas. Kerongkongan ini kering seperti sehari tidak ada cairan yang masuk."Kalau tidak selesai, lal
Setelah makan siang Mas Yanuar pamitan untuk keluar sebentar, aku yang masih sibuk dengan aktivitas dapur hanya mengangguk menanggapi ucapannya. Ayah dan Ibu masih duduk menikmati sajian siang di meja makan dengan lahap.Hari ini aku memasak ayam kampung hasil ternak sendiri, Ayah yang membakar ayam itu menjadi beberapa bagian untuk dimakan bersama sangat antusias mengerjakannya dibantu oleh Mas Yanuar. Sedang ibu aku memintanya untuk menemani Raka, selama diri ini menyiapkan segala sayur dan lauknya."Turuti saja apa yang dikatakan oleh suamimu, Ayah percaya dia bakal membuat kalian bahagia. Memang benar apa yang dikatakan oleh Yanuar, jika Julia tidak akan pernah berhenti untuk membuat ulah." Ayah menepuk pundak ini saat selesai mencuci tangannya di wastafel.Tepukan kecil itu seolah membangunkanku dari kesadaran yang belum sepenuhnya hadir. Beliau tahu jika aku memang tengah melamun sambil bekerja, pikiran melayang dan terbang tak tentu arah juga tujuan ini membuat piring yang seh
Ayah ikut bersama para tetangga menyiapkan segala keperluan kematian Bi Salimah. Apapun perbuatannya waktu lampau dia juga tetap saudara Ayah, adiknya. Aku yang ingin ikut ke rumah duka tidak diizinkan oleh Ibu juga Mas Yanuar dengan alasan mempunyai anak kecil dan itu sangat sensitif di lingkungan kami.Rumah terasa sepi, karena semua orang berada di sana untuk ikut berbela sungkawa juga menerima tamu yang berdatangan silih berganti. Baik kerabat, saudara bahkan tetangga dekat yang datang selalu di terima oleh Ayah dan Ibu karena Lek Widi dan suaminya belum juga datang."Semudah itu dia pergi?" gumamku dengan memandang lurus ke depan sana.Pikiran jahat ini selalu saja mencari tempat untuk menguasai jiwa yang sedang sepi. Rasa belum puas karena adik dari Ayah itu nyatanya belum menerima balasan atas apa yang diperbuatnya. Apalagi hati ini yang sakit dan masih menyimpan segala perilakunya di masa lampau.Ada rasa belum ikhlas kala mendengar namanya disebutkan oleh seseorang di Masjid
Ketika hendak masuk ke kamar mandi, aku dikagetkan dengan suara langkah kaki yang diseret, sontak mata ini membulat kala melihat wajah pucat dari Ibu. Beliau tampak tegang dan membuat jantung ini hampir saja copot."Bu, ngagetin saja!" ucapku dengan nada terkejut.Segera aku memandikan Raka yang sudah duduk di ember bayi. Suara celotehnya begitu menyejukkan hati dan menenangkan jiwa, dia adalah obat lara dan gelisah diri ini.Wangi sabun mandi yang menyeruak seakan membuaiku dalam dunia milik Raka yang selalu indah dan ceria itu. Usianya yang kini menginjak setahun dan semakin pintar itu memberikan kebanggaan tersendiri dalam hidupku."Sudah dikebumikan, Bu?" tanyaku saat ibu yang terlihat cemas itu memijat kepalanya pelan."Lho, Ayah pulang, mana Mas Yanuar?" tanyaku dengan melihat ke arah belakang lelaki yang memakai baju koko putih itu."Kamu kesana sebentar, biar Raka dijaga oleh Ibu!" tutur Ayah dengan raut wajah tak biasa.Aku yang penasaran segera mendekati lelaki yang berdiri
Aku grogi, rasanya seperti akan menjalani sebuah peperangan besar. Jantung ini tak bisa sedikit pun tenang meskipun berulang kali aku memintanya untuk tetap stabil dan baik-baik saja.Suara orang mengaji membuat hati terasa tentram dan sejuk. Hingga pada akhirnya semua mata tertuju padaku saat diri ini sudah berdiri di ambang pintu. Sorot mata tajam yang aku lihat dari pemiliknya itu membuat kaki ini hendak berbalik arah, tapi genggaman tangan Mbah Lastri yang masih erat seolah mengajakku untuk segera mendekati jenazah yang ditutupi kain kafan itu.Anggukan serta senyuman teduh dari lelaki yang memakai peci hitam itu menyakinkan diri ini bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sehingga aku pun duduk bersimpuh di samping raga adik dari Ayah tersebut. Sejenak mengirimkan Al-fatihah kepada roh yang kini sudah kembali ke sisi Tuhan semesta alam.Tepukan kecil di pundak yang akhirnya membuat aku terhenyak dan membuka mata, Pak Ustadz Yusuf beliau tersenyum dan duduk di sampingku juga seolah in
Keluarga yang ditinggalkan bersedih, ku lirik sekilas Julia begitu terpukul atas kepergian ibunya untuk selamanya. Dengan bantuan para tetangga yang memang juga tidak begitu akrab dengan keluarga ini, acara pemakaman akhirnya bisa dilaksanakan dengan lancar.Satu persatu para pelayat pun pulang ke rumah masing-masing. Pun demikian dengan aku, tidak ingin menciptakan suasana duka ini menjadi panas, aku pulang tanpa permisi itu pikirku. Namun, saat langkah kaki ini hendak melangkah suara menggelegar dewi si empunya rumah malah membuat suasana kacau.Lek Santoso berteriak kencang dengan memanggil namaku penuh emosi. Kudengar napasnya memburu, meskipun dia sakit, tapi kenyataannya kebencianmu itu masih bersemayam dalam hatinya."Suci! Kamu adalah pembawa petaka di sini, kenapa kamu membunuh istriku dengan cara yang sadis? Kenapa?" teriaknya lantang.Aku yang berdiri kaku dengan memicingkan mata seolah ingin membalas perkataan bodoh yang keluar dari mulut berbisa lelaki yang duduk di kursi
Ayah dan Mas Yanuar sudah berada di rumah, mereka berdua makan dengan lahap setelah usai mengikuti acara pemakaman Bi Salimah. Tidak ada suara di rumah ini hanya celotehan lucu dari Raka saja yang memecah keheningan.Mbah Lastri pun sudah datang lagi ke sini karena tadi pulang ke rumahnya sejenak untuk mandi dan berganti pakaian. Sore telah datang dengan semburat jingganya yang indah di bagian barat. Burung-burung pun mulai berterbangan menuju tempatnya masing-masing.Menunggu adzan Magrib, kami semua duduk di kursi sofa sambil menikmati cemilan ubi rebus dan teh hangat. Suasana masih sepi, tidak ada yang memulai untuk berbicara baik itu aku, Ayah, Ibu ataupun Mas Yanuar juga Mbah Lastri. Semua terlalu asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri.Hingga aku pun akhirnya memecah kesunyian ini tatkala melihat mereka."Lek Santoso masih saja menilai kalau aku adalah pembawa sial di keluarganya," ucapku pelan.Semua mata melihatku, lalu Ibu melirik ke arah Mbah Lastri yang menyunggingkan seny
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan