Tangan ini dipegang oleh lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Pandangannya tajam dan ingin menusuk jantung ini serta mengobrak-abrik raga yang tidak berdaya dan tak bertulang. Sakitnya hati ini membuat semuanya hitam nan kelam, bahkan pikiranku seolah buntu dan tidak normal."Duduk!" tegas Mas Yanuar memintaku kembali pada posisi semula."Sudahlah, Mas. Aku rela kamu tinggalkan untuk orang tuamu lebih-lebih ibumu. Nggak apa aku dan Raka hidup berdua, kami pasti bisa hidup tanpa kamu. Pulanglah!" ucapku sambil menahan amarah dalam dada."Lihat itu, istri macam apa menyuruh suaminya untuk pergi, kamu setelah mendapatkan semuanya dari anakku lalu memintanya untuk pergi. Dasar wanita jalang!""Diam! Cukup sampai disini hubungan kita, aku sudah cukup tahu siapa ibu sebenarnya. Andai ibu tidak setuju perjodohan itu kenapa tidak menentangnya? Ibu ingat apa yang pernah ibu ucapkan saat melamarku untuk menjadi istri dari anak lelakimu!" bentakku lantang dengan air mata yang tak henti-henti
"Ibu sewaktu pulang dari rumahmu cerita semuanya, hingga kemarahanmu yang besar itu. Memang ada sedikit kesalahan yang kamu lakukan, tapi menurut saya itu benar. Soalnya kalau kita sedang dalam situasi panas pasti segala sesuatu yang menggumpal di hati akan keluar." Senyum Mbak Salsa menenangkan diri ini.Napas lega pun akhirnya aku keluar tanpa ada beban yang menghimpit. Kini aku bisa sedikit mengambil udara yang bersih dengan rakus, karena ternyata aku tidak sendirian di tempat asing ini."Aku sudah berpesan kalau ada hal yang buruk dari depan rumah, abaikan. Namun, ibu justru memikirkan hal itu penuh emosional. Mereka itu membenci aku dan juga keluargaku, Bu." Mas Yanuar mencoba menceritakan segala hal yang terjadi selama tinggal disana.Ada gurat sedih dan kecewa saat mata itu memandang ibunya dan juga aku bergantian. Aku tahu, pasti Mas Yanuar juga bimbang dan nggak enak hati di posisinya. Antara aku dan ibu dia pasti telah banyak memikirkan bagaimana baik serta buruknya.Jujur a
Mas Yanuar mengajakku pulang ke rumah, tadi pamit sama Ibu mertua. Namun, saat kami mengetuk pintu kamarnya tidak ada sepatah katapun dari beliau. "Maafkan ibu," ucap Mas Yanuar saat kami sampai di rumah dan duduk di kursi sambil menikmati teh hangat.Sepanjang perjalanan kami membisu, aku pun malas rasanya untuk berbicara karena hati yang sedang sakit akan sikap yang berubah pada Ibu mertua juga Julia yang sudah kembali mengibarkan bendera perang.Ibu dan Ayahnya yang sudah mulai sakit-sakitan itu tidak membuat dia jera atau sadar diri jika sikap yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tidak baik untuk ditiru. Justru dia seolah ingin membalas apa yang telah ditanam oleh keduanya pada keluargaku.Tidak tanggung-tanggung, Julia mencoba meretakkan dinding rumah tangga ini berawal dari ibu mertua yang memang juga belum ku kenal dalamnya. Aku berpikir saat menjadi menantunya hingga detik ini tidak melakukan hal yang membuat sakit atau menilaiku buruk. Namun, dalamnya hati seseorang tidak
"Suci!" Suara itu membuat aku dan Mas Yanuar menoleh.Ada Mbah Lastri yang tengah berdiri di depan pintu depan seulas senyum simpul nan merekah. Terasa sejuk dan nyaman, hingga membuatku berlari dan memeluk tubuh renta itu. Meluapkan segala sesuatu yang mencengkeram hati.Entah kenapa sesuatu yang aku sembunyikan ini justru tidak bisa kompromi. Meleleh dan akhirnya turun juga ke pipi. Aku menangis.Punggung ini di tepuk berulang-ulang, menyalurkan kekuatan besar yang menjalar dan membuat tubuhku terasa berisi lagi. Entah kenapa saat ini aku membutuhkan pelukan dari orang-orang terkasih. Inginku berkata, tapi lidah terasa kelu. Inginku menatap mata itu, tapi lagi-lagi aku tak mampu."Raka kemana?" tanya Mbah Lastri menghentikan isakan ini."Tidur, Mbah," jawab Mas Yanuar setelah mencium punggung tangan wanita tua yang kini duduk di kursi bersama kami.Hening. Sesaat kami semua terdiam dan asyik dengan pikiran masing-masing. Tidak ada suara, hanya lalu-lalang kendaraan yang lewat di jal
Malam ini bintang begitu indah di langit biru, seperti gemerlap berlian yang berkumpul dan memukau siapapun yang memandang. Diiringi semilir angin malam yang sedikit dingin aku duduk di teras depan rumah menikmati keindahan ciptaan Tuhan sendirian setelah menidurkan Raka.Sejak kepulangan Mbah Lastri aku dan mas Yanuar menjaga jarak. Entahlah, seperti ada rasa hambar setelah menerima kenyataan pahit dari sikap ibunya kala itu. Masih membekas dan sulit hilang meskipun berulang kali sumaiku itu meminta maaf atas nama ibunya.Rumah di depan sepi, tidak ada jeritan atau teriakan yang memekakkan telinga ketika bulan bintang mulai datang. Biasanya akan ada sesuatu yang membuat orang yang lewat menoleh kesana. Namun, malam ini terasa berbeda, sunyi.Ponsel yang berada di atas meja gelap, tidak ada pesan atau panggilan yang membuat bibirku terbuka. Semua terasa aneh dan di luar nalar. Akankah ada sesuatu yang akan terjadi? Karena biasanya jika suasana seperti ini akan ada kejadian yang membua
Pak Muhsin dan istrinya, Bu Fatim melihat ke bawah, mereka berdua seolah tidak percaya dengan matanya sendiri. Karena berulang kali menggelengkan kepalanya lalu melihat lagi ke arah Julia juga aku.Akan tetapi, Julia berusaha keras untuk mengatakan kalau bukan dia pelakunya melainkan aku. Iya, dia berusaha memanipulasi keadaan, tapi aku tetap menanggapinya santai. Bagiku tidak perlu penjelasan atau pembenaran karena suatu saat nanti kebenaran pasti akan terungkap."Kenapa aku harus melakukan hal konyol seperti ini di rumahku sendiri?" Kini aku bertanya pada Julia yang membelalakkan matanya lebar."Aku memang manusia nggak sempurna, tapi bukan berarti aku bodoh bin tolol. Aku masih waras untuk bersikap baik terhadap orang-orang yang berbuat keji terhadap keluarga sendiri. Lagian, hidup ini cuma sekali dan ngapain juga membuangnya dengan tindakan yang konyol?" Kata demi kata aku pertegas buat Julia, muak rasanya jika harus berhadapan dengan di dan keluarganya terus-menerus. Nggak ada un
Laki-laki itu menatap Julia penuh kasih. Tidak kutemukan sedikit pun kebencian meskipun aku di fitnah seperti ini di depan semua orang yang belum tentu tahu kebenarannya."Nak, sadarlah akan apa yang kamu katakan!" Nasehat Ayah lembut."Justru kamu dan anakmu ini yang harus sadar. Ini, lihat ada kembang dan minyak yang akan di sebarkan di rumahku. Namun, jatuh dan aku pergoki aksinya, untung ketahuan kalau tidak? Orang tuaku dan aku bisa celaka!" pekiknya memekakkan telinga hingga berdengung.Semua kaget, melihat ke arahku tanpa kedip. Namun, dari sekian orang di sini ada satu orang yang tersenyum simpul serta menggeleng. Dia adalah Bu Retno, wanita yang tak lain adalah teman dari Bi Salimah saat sehat dulu."Julia, jangan suka fitnah!" ucapnya."Bi, aku nggak fitnah, Bibi tahu, 'kan, jika merekalah yang suka menggunjing Ibu dan aku. Namun, Suci berlagak menjadi korban selama ini padahal dia pelakunya. Busuk!" Julia bersedih. Dia mengusap matanya yang tak berair, aku tahu itu.Orang i
"Kita ke rumah Julia sekarang!" ajak Mas Yanuar yang saat kami selesai sarapan pagi ini."Terlalu pagi untuk perang.""Semakin cepat semakin baik, aku lihat semalam dia juga seperti sudah terlalu nekat. Ini semua harus berakhir!" tegas Mas Yanuar dengan pandangan tajam.Berkali-kali aku menghembuskan napas kasar, menetralisir gemuruh di dada bercampur emosi."Ajak ibumu juga, aku ingin mendengar mereka saat di pertemukan.""Kamu ingin membuat suasana lebih kacau? Suci, ibu itu benci kepadamu saat ini dan itu justru akan membuat keadaan runyam. Satu-satu dulu kita selesaikan, lalu ibu itu urusanku," kilah Mas Yanuar bimbang."Kalau ada sekali bisa selesai kenapa tidak? Aku nggak akan kesana jika ibumu pun di rumah. Malas!" ketusku lagi.Entahlah, rumah ini terasa semakin semrawut setelah masalah dengan Julia. Wanita itu mungkin sengaja ingin menghancurkan rumah tanggaku juga supaya bisa sama dengan jalan hidupnya. Dan sialnya aku pun ikut larut dalam permainannya."Bersiaplah, ibu akan
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan