"Kau magang disini? Bukankah kau baru masuk kuliah? Untuk apa kau magang disini? Apa Dante yang menyuruhmu?" tanya Naomi bingung."Sebenarnya dia baru tahu setelah aku diterima. Seniorku mengajakku magang untuk mengisi liburan dan menambah ilmu," jelasku, lalu masuk ke dalam lift yang sudah terbuka."Ilmu apa? Magang di tahun pertama, hanya akan menjadi pesuruh," cibir Naomi sambil menekan tombol ke lantai tujuan kami.Aku diam saja karena dia benar. Sejauh ini aku hanya menjadi pesuruh."Aku tidak menyangka kau sanggup melakukan apapun untuk mendekati Dante. Dalam hal itu, aku akui kau memang gigih. Tapi untuk menaklukkan hati pria, gigih saja tidak cukup!" tegas Naomi lalu keluar dari lift yang sudah terbuka dan meninggalkanku."Siapa yang mau mendekati Dante?" gumamku cemberut karena kata-kata Naomi.Aku baru masuk ketika Kitty berteriak memanggilku."Anak magang, cepat!"Aku langsung berlari dan menyerahkan pesanannya. Lalu kembali ke mejaku dan mengerjakan tugas yang membosankan
"Pindahlah ke tempat lain. Aku harus duduk di depan," ucap Dante, membuat Joshua langsung berdiri dan mundur ke belakang.Aku mencoba menyembunyikan senyumanku. Aku rasa dugaanku kali ini benar. Dia memang sengaja mengajak para pegawai magang karena aku. Seperti saat ini di sengaja naik bus, karena aku.Aku sangat senang hingga bisa mencium aroma angin, yang berhembus masuk dari pintu bus. Aromanya sangat wangi.Bus akhirnya mulai bergerak maju, sementara suasana yang tadinya gaduh kini sangat sunyi."Apa kau sudah sarapan? Tadi kau keluar dari rumah tanpa makan apapun," bisik Dante kepadaku."Belum," jawabku juga berbisik."Apakah kalian membawa sesuatu untuk dimakan sebagai sarapan?" tanya Dante kebelakang."Ada, Tuan," seru para pegawai cepat.Lalu beberapa orang datang, ada yang membawa roti lapis, roti manis, pasta dan beberapa camilan asin serta minuman kemasan.Dante mengambil roti dan pasta serta sebotol air mineral. Lalu meminta para pegawai kembali ke kursinya."Kau mau yang
"Hei! Anak magang, apa yang kau lakukan? Untung kakiku tidak kena serpihan. Bersihkan cepat!" bentak pegawai yang tadi bicara denganku."Iya, maaf," jawabku panik lalu segera mengumpulkan pecahan gelas tidak sengaja kujatuhkan itu."Apa yang terjadi?" tanya Kitty yang duduk tidak begitu jauh dari tempatku."Tanganku licin, jadi gelasnya jatuh," jawabku berbohong."Biarkan saja, biar petugas kebersihan yang membereskannya," ucapnya sambil menarik tanganku."Kau tidak apa-apa?" tanya Dante yang tiba-tiba muncul di hadapanku."Dia tidak apa-apa, Tuan," jawab Kitty sopan, lalu memanggil petugas kebersihan untuk membersihkan serpihan kaca.Dante menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan wajah khawatir."Apa itu?" tanyanya sambil berjongkok dan mengangkat celana panjangku perlahan."Kakimu berdarah, ada pecahan kaca yang menusuk kakimu!" seru Dante panik. Aku tadinya bahkan tidak merasakan apapun tapi setelah Dante mengatakannya, kakiku mulai terasa perih."Apa kau bisa berjalan
"Nona Kitty, anda masih disini?" tanyaku terkejut."Aku kembali karena ada yang tertinggal. Jadi, bisa kau jelaskan? Apa benar kau sudah bersuami?" tanyanya dengan wajah serius.Aku tertawa canggung."Tidak, itu hanya candaan sahabat-sahabatku, memanggil kekasihku sebagai suamiku," elakku dengan wajah bingung."Kau sudah punya kekasih?" tanyanya lagi. Aku mengangguk."Anak muda sekarang memang luar biasa. Diantara kuliah dan magang masih sempat berpacaran. Ya sudah, istirahatlah!" sahutnya lalu segera keluar dari kamar.Aku mengembuskan napas lega. Untunglah dia tidak memperpanjang masalah suami ini. Selanjutnya aku harus sangat berhati-hati.***Aku terbangun, karena Kitty membangunkanku."Apa kakimu masih sakit?""Sepertinya sudah jauh lebih baik," jawabku masih dengan mata yang berat."Kalau begitu bersiaplah, lalu turun untuk makan malam.""Baik," jawabku sopan.Aku mandi dengan cepat lalu segera turun sebelum Kitty kembali menjemputku."Itu dia anak magang yang kemampuan aktingnya
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke Joshua, dan lanjut bernyanyi hingga lagunya selesai. Para partner dan pengacara senior bertepuk tangan dengan keras. Sementara para pegawai terlihat enggan tapi terpaksa bertepuk tangan untuk menghormati atasan mereka."Bagus, aku sampai terharu mendengar suara kalian," komentar Kitty sambil bertepuk tangan."Nona, apakah aku boleh kembali ke kamarku? Aku ingin beristrahat," ucapku dengan wajah lelah."Tentu, beristirahatlah," jawabnya lalu langsung maju ke depan dan melanjutkan acara.Aku permisi kepada Joshua lalu keluar dari aula pertemuan itu, sambil memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh Dante dan Naomi saat ini.Sepertinya Dante tidak menyukai suaraku, padahal aku berharap dia terpesona dengan suaraku seperti yang dirasakan Joshua. Tapi kenyataannya berbeda, dia bahkan tidak mau mendengarku bernyanyi sampai selesai."Ruby!" Aku menoleh. Dante menatapku lalu berjalan mendekatiku."Kau mau kemana?""Kembali ke kamarku.""Ikut aku," ajakn
Aku terdiam. Dia tahu, pria ini tahu apa yang mau kukatakan tapi dia menghentikannya. Dia jelas tidak ingin mendengar kata-kataku. Dante tidak ingin aku merasakan dan mengatakan cintaku kepadanya."Kau benar. Tentu saja, aku ingat perjanjian itu," jawabku mencoba mempertahankan harga diriku."Sebaiknya aku kembali sekarang. Aku mau istirahat," ucapku segera berdiri, berbalik lalu berjalan dengan cepat.Air mata kembali menetes di pipiku. "Cengeng!" gumamku memaki diriku sendiri sambil berlari sekencang mungkin.Hatiku terasa begitu sakit, hingga aku bahkan tidak merasa takut, berlari sendirian di jalanan sesepi ini. Aku hanya ingin menjauh dari Dante.Entah bagaimana caranya tapi akhirnya aku tiba di penginapan cukup cepat. Dengan napas tersengal-sengal, aku masuk ke dalam penginapan. Aku masuk ke kamar yang masih kosong. Untunglah Kitty belum datang, jadi aku bisa menangis dengan keras, sepuasku. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan pancuran lalu menangis tersedu-sedu. Per
"Tuan Dante, anda disini? Maaf saya tidak melihat anda," jawab Joshua kaget dan langsung berdiri dengan sopan. Membuatku dengan terpaksa ikut berdiri."Selamat pagi, Tuan," sapaku berpura-pura sopan."Apa kau sedang mengungkapkan perasaanmu sepagi ini?" tanya Dante sambil menepuk pundak Joshua."Oh tidak begitu, Tuan. Kami hanya membicarakan-""Kami adalah teman sekampus, Tuan. Dan hubungan kami sangat dekat, jadi membicarakan perasaan kami, adalah hal yang sering kami lakukan tanpa memandang waktu," potongku cepat.Siapa dia berani mengatur kapan waktu yang tepat untuk kami membicarakan perasaan kami. Kalau dia tidak memiliki perasaan kepadaku, sebaiknya dia tidak menggangguku!"Nona, bisakah anda bicara dengan saya diluar?" tanya Dante dengan wajah serius."Maaf, Tuan. Bukannya saya tidak sopan. Tapi semua pegawai sudah membicarakan banyak hal buruk tentang saya di belakang anda, karena Tuan menggendong saya kemarin. Mereka juga menyindir dan menghina saya, meski saya tidak melakuka
Aku tersenyum sinis, bukan pada mereka berdua, tapi pada diriku sendiri. Lagi-lagi aku bersikap besar kepala. Benar-benar menyedihkan!***"Nona, anda sudah pulang?" sapa Myrna begitu aku tiba di rumah."Ya. Apakah Dante sudah pulang?" tanyaku sambil melihat sekeliling rumah."Sudah, Nona. Tuan muda sudah pulang dari tadi," jawabnya sambil tersenyum sopan."Mari Nona, saya akan membawakan tas anda ke kamar.""Tidak usah, aku bisa sendiri," tolakku lalu segera berjalan ke kamar.Dante sedang membaca buku di taman belakang. Dia terlihat sangat serius dan tampan. Tapi entah mengapa melihatnya malah membuatku merasa kesal.Aku masuk ke dalam kamar dan membongkar tasku. Setelah selesai aku segera mandi dan berencana untuk langsung tidur. Aku sedang tidak ingin bertemu atau berbicara dengan Dante."Kenapa lama sekali sampai di rumah?" tanya Dante begitu aku keluar dari kamar mandi."Ha! Kau membuatku terkejut!" seruku kesal.Dante hanya menatapku dengan datar, sepertinya dia menunggu jawaba
"Di ... dimana?" tanyaku gugup sambil memeriksa sekelilingku."Dia menunggu di mobil," jawabnya datar."Baik, aku akan mengikutimu," jawabku berpura-pura tenang, sambil mengeluarkan telepon genggamku, mencoba melaporkan apa yang terjadi kepada Dante.Pria itu masih berdiri di tempatnya."Berjalanlah duluan!" seruku berpura-pura membereskan barang-barangku."Telepon anda," sahutnya sambil menjulurkan tangan.Sepertinya dia tahu kalau aku sedang berusaha menghubungi Dante.Aku menghela napas panjang sambil menyerahkan telepon genggamku. Sial! Aku tidak mungkin lari, karena dia pasti bisa menangkapku dengan mudah. Naomi tampak bingung melihat kami."Sekarang berjalanlah! Aku akan mengikutimu!" tegasku, berpura-pura berani.Pria itu langsung melangkah keluar."Foto kami dari belakang, kirim kepada Dora, minta dia kirim ke Mister X dan bilang aku bersama pamannya!" bisikku dengan cepat kepada Naomi sebelum berjalan dengan cepat mengejar pria berpistol itu.Aku takut tapi juga tenang, karen
"Berhenti!"Aku mengangkat wajahku dan melihat Dante berdiri di pintu masuk. Dia langsung berjalan ke arah kami dan berdiri di antara aku dan Cherry."Berani-beraninya kau mengangkat tanganmu di hadapan istriku! Pergi dari sini sekarang juga!""Aku tidak akan pergi, sebelum kau menghentikan tuntutan kepada salonku!" bantah Cherry dengan marah."Hanya karena aku lupa memberitahu perubahan kostum pesta ulang tahunku, kalian berdua langsung melakukan hal sekeji itu! Aku akan memberitahu ayahku dan kakek!" rengek Cherry sambil menghentakkan kakinya.Dante hanya melipat tangan di depan dadanya sambil menatap Cherry dengan dingin."Kau pikir aku main-main?" teriak Cherry lalu segera mengambil teleponnya dan menghubungi ayahnya.Aku berbisik kepada Dante."Apa yang terjadi?""Tunggu saja, nanti juga kau akan tahu," jawab Dante juga berbisik."Ayahku akan segera datang! Kalian berdua akan berakhir kalau ayahku tiba. Sekarang perintahkan anak buahmu untuk menghentikan tuntutannya, Dante!" teri
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanyaku dengan suara bergetar. Dante mengangguk sambil tersenyum manis.Aku menatapnya tidak percaya, lalu mataku mulai berkaca-kaca. Aku benar-benar cengeng."Hei, kenapa menangis? Bukankah sekarang kau seharusnya bahagia?""Aku rasa ini adalah airmata bahagia."Dante kembali tersenyum lalu meraih tubuhku dan mendekapku dengan erat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan kebahagiaan yang tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Melebihi mendapatkan kemenangan dalam kompetisi atau juara di kelas. Melebihi hadiah yang kudapatkan atau pujian yang diberikan kepadaku. Aku membalas dekapan Dante dengan tidak kalah erat. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya, takut ini hanya mimpi."Aku sangat ingin menciummu seperti saat kita berciuman di kamar waktu itu. Tapi rasanya kurang pantas melakukannya disini," bisik Dante membuatku tersipu malu, lalu kubenamkan wajahku ke pundak Dante.Perlahan Dante melepaskan dekapannya, lalu menatap wajahku dengan lembut.
"Bukan ... Bukan seperti itu," sahut Dante sambil menahan tawa."Kenapa kau menertawakan aku? Apa aku tampak menggelikan bagimu?" tanyaku kesal."Ruby, aku mohon dengarkan aku dulu. Aku tidak bermaksud menertawakanmu.""Lalu?" tanyaku cemberut. Dia harusnya tidak meremehkanku hanya karena tidak memiliki perasaan yang sama denganku."Sepertinya aku harus mengulangi kata-kataku, aku tidak menganggapmu gadis bodoh yang miskin. Tapi sepertinya kau memang cukup polos," jawabnya sambil tersenyum."Berhentilah bermain-main! Kalau kau membenciku katakan saja terus terang. Aku berjanji akan benar-benar menjauhimu dan menghapusmu dari hatiku. Mulai-""Ruby, sudah aku katakan dengarkan aku dulu," potong Dante lalu meraih tanganku perlahan.Apa yang dia lakukan? Kenapa dia memegang tanganku seperti ini? Sial! Jantungku berdetak sangat cepat, aku bisa mati karena perasaan ini.Aku segera menarik tanganku sebelum aku tidak bisa mengendalikan diri."Apa yang kau lakukan?" tanyaku ketus, berusaha men
"Apa maksudmu?" tanyaku langsung bangun dan menatapnya dengan marah."Akhirnya kau bangun juga. Maafkan-""Apa maksudmu?" potongku tidak ingin mendengar permintaan maafnya."Maksud yang mana? Penawaranku kalau boleh terus mencintaiku?" tanya Dante sambil tersenyum."Apa kau pikir lucu mempermainkan aku? Kau melarangku jatuh cinta kepadamu, tapi kau melakukan hal-hal yang membuatku tertarik kepadamu. Kau menciumku lalu mengatakan kau menyukaiku, tapi kemudian meminta kita bercerai karena aku mencintaimu," ucapku dengan suara bergetar.Dadaku tiba-tiba terasa sesak, airmata mulai menetes. Aku marah dan merasa terhina."Lalu aku bertekad untuk melupakan perasaanku demi kakek dan sekarang tanpa ada angin apapun, kau mengizinkanku mencintaimu asal memaafkan kesalahanmu? Siapa kau hingga merasa berhak mengatur perasaanku sesuka hatimu? Apa karena di hadapanmu aku ini gadis polos bodoh yang miskin? Sehingga kau bisa memerintahkan aku harus merasa seperti apa?" bentakku tidak tahan lagi.Meng
Beberapa orang mulai berbisik-bisik dan sebagian lagi menahan tawa. Aku menyapu seluruh ruangan dengan mataku. Semua orang berpakaian resmi, jas dan gaun mewah. Bahkan Cherry mengenakan gaun seorang putri. Aku satu-satunya yang mengenakan piyama dengan rambut terkepang dua."Apakah istri sepupumu akan menampilkan sesuatu?""Apa dia badut?" "Dia benar-benar gila, kenapa dia memakai piyama ke pesta?""Sepertinya dia berencana mempermalukan Cherry. Dasar jahat!"Aku bisa mendengar orang-orang mulai membicarakanku. Seharusnya sekarang aku berbalik dan pulang ke rumah sambil menangis. Tapi entah kenapa tubuhku hanya diam disana, menatap semua orang yang sedang menertawaiku.Otakku masih kesulitan memproses keadaan yang sedang terjadi ini. Aku masih tidak percaya kalau aku dipermainkan dan dipermalukan seperti ini.Tiba-tiba seseorang menarik tanganku."Ayo, pulang!" tegasnya sambil menyeretku keluar."Dante," gumamku pelan.Dante menghempaskan tanganku begitu kami keluar dari Ballroom."A
"Apa?" tanya Dante terkejut."Aku tidak mau bercerai darimu. Aku memutuskan untuk tetap berada dalam pernikahan ini dan melupakan perasaanku. Aku berjanji mulai hari ini, akan berhenti mencintaimu. Jadi kau tidak perlu khawatir."Dante tampak syok mendengar perkataanku. Dia hanya menatapku tanpa berkata apa-apa."Bagaimana apakah kau setuju melanjutkan pernikahan ini?" tanyaku sambil menatap Dante dengan berani."Baiklah. Selama kau bisa mengatur perasaanmu, maka tidak masalah buatku," jawab Dante tenang.Aku mengangguk dengan hati pilu. Entah apa yang membuatku merasa iba kepada pria tua itu, hingga mau memendam rasa cintaku. Pernikahan ini tidak akan sama lagi dengan sebelumnya. Kali ini rasanya pasti lebih menyiksa."Tapi, kenapa? Kenapa kau tidak mau bercerai?" tanya Dante tiba-tiba."Demi kakek," jawabku jujur. Meski kakek memintaku merahasiakan keadaannya, tapi aku tidak punya alasan untuk berbohong. Dante sudah tahu statusnya yang sebenarnya, jadi sekalian saja aku mengatakan
"Ha? Aku?" tanyaku bingung.Kenapa dia tiba-tiba muncul dan mengajakku masuk ke mobilnya? Apa yang perlu kami bicarakan hingga dia menemuiku seperti ini?"Ya, kau! Cepat masuk!" jawab Dante terburu-buru.Aku tersadar, dia pasti ingin membicarakan tentang perceraian kami. Aku langsung menggangguk dan masuk ke dalam mobilnya.Dante melajukan mobilnya, tapi tidak berkata apapun."Apa yang akan kita bicarakan?" tanyaku tidak nyaman dengan suasana sunyi ini."Kita akan tiba sebentar lagi. Mari bicara disana saja," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.Aku tidak menanggapi, lalu suasana kembali hening. Jalanan yang kami lewati tampak akrab. Aku mengenali jalan ini, karena ini adalah jalan menuju ... rumah kakek."Apa kita akan ke rumah kakek?" tanyaku panik."Ya," jawab Dante singkat."Untuk apa kesana? Bukankah kita akan bercerai?""Kakek ingin menemuimu. Kita bicara setelah kau menemui kakek," ucapnya santai, seakan-akan ini bukan masalah besar."Apa maksudmu kakek ingin bic
"Ini Dante, dia sudah pernah mengajar di kelas khusus, kau pasti sudah mengenalnya. Yang satu lagi Felix, dia akan mulai mengajar kelas khusus, bergantian dengan Tuan Dante. Dia adalah seorang jaksa," jelas dekan berapi-api.Aku mengangguk sopan."Dante, Felix. Ini Ruby, dia adalah mahasiswa beprestasi, dan sangat cerdas. Karena kecerdasannya itu, dia mendapatkan beasiswa penuh. Dia belum pernah membayar apapun sejak masuk ke kampus kita. Kalian berdua juga sangat pintar, tapi kalian harus tahu kalau kalian kuliah bersamanya, kalian pasti tidak ada apa-apanya," puji dekan sambil tertawa, membuatku merasa tidak nyaman."Tapi kita semua juga tahu, nilai kuliah sama sekali bukan patokan kesuksesan seseorang. Karena bisa saja gadis secerdas ini pada akhirnya akan berakhir tanpa karir apapun," sahut Dante tiba-tiba.Suasana menjadi canggung karena komentar kejamnya itu."Kau ada benarnya. Kalau begitu ingat Ruby! Bila kau ingin menikah, carilah pria yang akan mendukung masa depanmu dan men