Pukul 04.00 pagi aku terbangun. Untung Bang Kay belum bangun, aku bergegas kekamar. Masih ada waktu untuk mandi sebelum waktu subuh masuk. Aku masuk kekamar mandi untuk mandi. Air terasa sangat dingin menusuk tulang, aku menggigil kedinginan, kurang dari 5 menit aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh gemetar dan gigi gemeretak. Ku taburi bedak ke tubuhku dengan bedak bayi agar hangat, tidak lupa ku oleskan minyak kayu putih di perut, pinggang, ketiak dan telapak kakiku. Setelah menggunakan minyak angin aku merasa tubuhku mulai hangat. Kemudian kugunakan jaket jeansku, tubuhku sekarang benar-benar terasa hangat, segar, nyaman dan bersemangat. Ku rebahkan tubuhku diatas kasur, kemudian.Kuambil gawaiku yang tergeletak disisi bantal. Rencananya,aku akan berselancar didunia maya sampai waktu subuh. Waktu yang hening akan menambah kekhusu’an, tidak hanya ibadah perlu kekhusu’an, online juga perlu kekhusu’an dan ketenangan untuk bisa menghayati setiap kegembiaraan dan keceriaan yang nanti
Ku buka Whatsaap. Di barisan teratas masuk 23 pesan dari Mas Hanafi. Aku paling malas baca pesan yang panjang, apalagi pesan yang banyak. Biasanya setiap pesan yang panjang selalu ku abaikan, begitu juga dengan pesan yang masuk berjejer dari Mas Hanafi, lihat notifikasinya saja udah malas, apalagi bacanya.Pesan Mas Hanafi ku scroll kebawah, hanya pesan terakhir yang ku baca, biasanya pesan terakhir adalah inti dari pesan yang berjejer, pesan yang pertama dan seterusnya itu hanyalah basi.Pesan bagaikan sebuah buku, halaman awalnya pendahuluan dan daftar isi, pertengahannya isi, dan bab terakhir adalah kesimpulan, satu dua lembar bab terakhir inilah inti sebuah buku yang tebal membosan, itulah mengapa saat sekolah aku selalu paling cepat dalam membaca sebuah buku, karena aku tidak pernah membaca isinya, aku hanya membaca kesimpulannya, dengan membaca kesimpulan sebuah buku aku bisa tau isi sebuah buku secara garis besar, dan itu cukup untuk mengantarkanku menyandang juara umum selama
“Assalamualaikum.” Suara Ayah terdengar lantang.“Waalaikumsalam.” Aku dan Mama menjawab serentak.Pintu depan terdengar terbuka, disusul munculnya wajah Ayah dan Bang Kay di ruang makan. Aku bergegas membawakan kopi aren keruang makan, Ayah dan Bang Kay telah duduk manis di kursi, ku suguhkan kopi aren dihadapan Ayah dan Bang Kay.“Ayo Kay minum kopinya. Ini kopi nama nya kopi aren.” Ayah mengajak Bang Kay minum.“Wah kopi bermerk ya Yah? Aromanya sangat wangi.” Puji Bang Kay sembari menghirup asap yang keluar dari gelas kopi.“Sruuuuut.” Bang Kay menyeruput kopinya.“Enak sekali yah, kopi produk mana ini?” Bang Kay takjub dan penasaran.“Ini kopi biasa Kay, Kopi yang dimasak dengan air nira aren. Jadi tanpa air dan tanpa gula, enak dan sehat.” Ayah mulai promosi.“Bisa bikin bisnis baru ni Yah. Jualan air nira atau buat kebun aren.” Seru Bang Kay.“Ya jika kamu minat boleh saja, nanti bapak kenalkan dengan pemilik kebun aren diprovinsi ini. Diprovinsi kita ini hanya ada satu kebun a
Makan usai. Aku dan Mama kembali sibuk mengurus urusan dapur. Bang Kay dan Ayah berangkat ketempat kerja masing-masing. Mama menyalakan mesin cuci dan bergerak kekamarnya. Mama pasti akan kembali eksis dimedia sosial. Aku tak mau melongo sendiri. Aku masuk kamar dan melanjutkan online yang tertunda.[Siang ini ada dirumah?] W-a Mas Hanafi masuk.[Ya Mas, pagi dirumah saja, siang dirumah saja dan malam dirumah aja] selorohku, menirukan iklan covid 19.[Bagaimana kalau kita keluar? Makan siang diluar sama Mas?] balas Mas Hanafi.[Nggak ada duit. Buang- buang duit makan di luar] balasku. Aku berusaha beralasan menghindar.[Ditraktir … nanti Mas jemput kerumah ya.] pesan Mas Hanafi lagi.“Duh ini Mas kok maksa banget, sih?” benakku.[Jangan Mas, nanti Ayah dan Mama marah. Enggak sopan punya tamu cowok] aku menolak halus.[Yaudah, nanti aku kerumah Maya untuk bertemu Ayah dan Mama Maya aja, nggak ketemu Maya.] Mas Hanafi berkelit.[Jangan Mas, kan ga kenal, apa ga malu?]balasku.[Ngapain m
Pramusaji datang membawa hidangan yang aku dan Mas Hanafi pesan,“Silahkan dinikmati hidangannya Mbak, Mas …”ucap Pramusaji itu ramah.“Ya, terimakasih,” balasku tak kalah ramah. Kulihat hidangan di depanku sejenak. Jika kutaksir harganya mencapai hampir 500.000. Semaha itu? bagaimana tidak? sedangkan teh kosong saja harganya mencapai 75.000.“Ini nih rumah makan orang Kaya, pantesan orang kaya jarang ada yang berlemak”. Aku membathin, tidak cocok sekali harga semahal itu, dengan menu yang sangat sedikit.“Pemilik rumah makan ini keterlaluan, pelit bin medit. Mau dapat keuntungan sebanyak-banyaknya nih,” benakku.Aku merasa pemilik rumah makan mewah ini, tidak sedang menjual harga, tapi hanya menjual nama, kemasan, dan pelayanan. “Orang-orang kaya ini Kok kayak ga mikir gitu ya, seharusnya kalau mau makan ya cari tempat makan yang bener-bener menjual makanan, bukan cuma jual merk doang.” Benakku.“Loh, kok termenung? Ayo dimakan …” ucap Mas Hanafi mengagetkan lamunanku.“I, iya Mas, s
“Bagaimana ini? apakah aku harus mengatakan kepada Mas Hanafi bahwa aku telah menikah?”Ku tatap lagi matanya, begitu sayu lebih sayu dari mata Bang Kay yang memelas. Sisi hatiku menyuruh aku harus mengatakan kalau aku sudah menikah, namun sisi hati yang lain menyuruhku untuk jangan mengatakannya.Jika tidak ku katakan bahwa aku telah menikah, aku khawatir akan berlanjut hubungan asmara yang dilarang, karena tidak dinafikan, ada benih-benih cinta di hatiku untuk orang asing didepanku ini yang baru saja ku kenal. Namun jika ku katakan, aku akan menyakiti hatinya. Bagaimana mungkin air susu ku balas air tuba, Mas Hanafi sangat berjasa menyelamatkanku dan kehormatanku, bagaimana mungkin ku balas dengan menyakitinya?” Hatiku berkecamuk, Sisi baik dan sisi buruk saling berargumen.Mengeluarkan hujjahnya, hingga tidak terang mana yang benar dan mana yang salah. Seolah pendapat keduanya sama-sama kuat.Akhirnya setelah cukup lama berfikir, kupilih saja menyembunyikan kebenaran, khawatir pria
“Alhamduillah ... Kita sampai.” ujar Mas Hanafi.Mobil Mas Hanafi berbelok kekanan. Sebuah gerbang besar setinggi tiga tombak menyambut kedatangan kami. Pintu gerbang masih tampak tertutup rapat. Seseorang menghampiri Mas Hanafi, mereka berbicara beberapa saat, lalu Mas Hanafi menyerahkan uang seratus ribu rupiah dua lembar. Orang tadi kembali kearah dia datang, tiba-tiba pintu gerbang terbuka. Mobil bergerak melewati gerbang besar itu. mobil bergerak perlahan, didepan sana terhampar pemandangan yang memukau, danau besar dikelilingi pohon-pohon tinggi tampak begitu indah. Jalan kearah danaupun tak kalah hebatnya, patung-patung ikan raksasa berjejer sepanjang jalan.Mobil berhenti disebuah tanah lapang dipinggiran danau. Hampir seisi tanah lapang itu diisi oleh mobil, hanya sedikit motor yang terparkir disini.“Ayo turun….” Ajak Mas Hanafi.Tiba-tiba dia sudah berada diluar mobil dan membukakan pintu mobil untukku. Romantis sekali bukan? Aku turun dengan perlahan, jantungku berombak se
“Hati-hati dijalan, bawa motor jangan kencang-kencang.” ucap Mas Hanafi memberi perhatian.Aku mengangguk dan menutup kaca helmku, dan motorku pun melaju. Azan Magrib berkumandang. Ku arahkan motor kearah asal suara azan. Aku shalat dimesjid dipinggir jalan raya, setelah salam aku bergegas melanjutkan perjalanan, Khawatir sebenarnya pulang agak malam sendirian, tapi mau bagaimana lagi, daripada nanti ada masalah jikalau diantar oleh Mas Hanafi.“Assalamualaikum Ma!” ucapku saat telah masuk kedalam rumah.“Waalaikumussalam.” jawab Mama sambil monoleh kearahku.Mama duduk di sofa ruang tamu. Tangannya menggenggam remot TV, dimeja penuh dengan cemilan, ada kacang goreng, kue bawang, kerupuk udang dan lainnya. Mama pasti sedang nonton drama Korea favoritnya, drama Korea tentang si gadis cantik nan anggun berubah jadi gadis macho yang sedang tenar dan selalu jadi bahan diskusi emak-emak kala beli sayuran ditukang sayur.“Dari mana saja jam segini baru pulang?” selidik Mama. Nada suaranya m