“Aduh … Gimana ini.” ucap Bang Kay khawatir, Aku dan Bang Kay bingung. Kami benar-benar tidak tau apa yang harus dilakukan.“Aduh ... sakit.” ucap Bang Kay merintih.“Kenapa Bang? Apakah lukanya berdarah?” tanyaku cemas.“Nggak tau nih. Dibalut kain kasa, nggak keliatan ada darahnya, tapi sakit sekali, nyut-nyutan.” ucap Bang Kay kembali mengeluhkan sakitnya barang miliknya.“Sini Maya periksa!” ucapku menawarkan diri.Aku masuk kekamar mandi. Bang Kay kaget dan gelagapan menarik sarungnya, Bang Kay menutup barang berharga miliknya, aku mendekat dan berniat melepas sarung Bang Kay.“Eh Adek mau ngapain?” ucap Bang Kay kaget.“Mau periksa lah Bang!” sahutku.“Nggak perlu Dek, Abang bisa periksa sendiri.” Bang Kay menolak.“Sama istri sendiri saja malu? Nanti juga pasti Maya lihat Bang.”“Itu ‘kan pada waktu nya Dek, bukan sekarang. Malu ah dilihat orang dalam kondisi begini.”“Terserah Abang sajalah.” sungutku kesal.Lagi, Bang Kay memperlakukanku seperti ini. Aku selalu sabar dengan s
“Dek, kan Abang sudah sembuh dari sunat, berarti nanti malam ‘kan udah bisa dong kita bulan madunya.” ucap Bang Kay. Aku dan Bang Kay sedang menonton di ruang tamu. Aku berbaring di atas lengan Bang Kay, sembari menonton Tv. Sedangkan Bang Kay dengan di topang tumpukan bantal menatapku dari atas sembari memainkan ujung rambutku.“Mmmm, Maya ga mimpi ‘kan Bang? Barusan Abang ngomong apa? Ulangi!” ucapku mengalihkan pandangan dari Tv ke mata Bang Kay. Sebenarnya aku mendengar kata-katanya, tapi aku iseng untuk pura-pura tidak dengar. Aku ingin memastikan apakah Bang Kay suamiku, betul-betul mau mengajakku berbulan madu? Selama ini ‘kan, boro-boro mengajakku bulan madu, ku Rayu saja Bang Kay selalu menolak.“Abang bilang, nanti malam, kita bulan madu. Ya!” ucap bang Kay meyakinkan.“Kenapa tidak sekarang aja Bang?” tanyaku sembari menggigit jari malu-malu.“Sekarang ‘kan Abang belum mandi.” Jawab Bang Kay, mengalihkan pandangannya ke Tv.“Bang, selama satu tahun belakangan ini, Maya sela
Aku masuk kedalam rumah, ku naikkan ujung dasterku hingga sepinggang, kemudian kuikat kencang supaya tidak terjatuh dan mengganggu aksiku. Hiasan-hiasan dekorasi kamar pengantinku dulu, masih tersimpan apik di dalam koper. Aku akan segera memasangnya.Dengan cekatan, kamar kuhias seindah mungkin, tidak lupa kusediakan secangkir madu di atas meja, dan beberapa piring kecil untuk tempat lilin nantinya. Ku fikir, dengan mendekor kamar dengan konsep reman-remang, akan menambah romantisnya suasana.Sedang asik-asiknya mendekor, suara Adzan Ashar menghentikan aktifitasku sejenak. Setelah adzan Ashar berhenti, aku segera menyelesaikan pekerjaanku menghias atau mendekorasi kamar. Setelah selesai mendekor, aku shalat ashar, kemudian memasak makanan kesukaan Bang Kaylani. Ayam sambal.“Assalamualaikum.” Terdengar olehku ucapan salam dari suamiku, diiringi suara mobil. Sepertinya tu Bang Kaylani dan mobil yang membawa spring bed kami.“Waalaikum salam, ucapku meninggalkan ayam yang baru saja ku
Perpaduan gaun putih dengan nuansa gelap nan temaram, sangat serasi, membuat penampilanku menarik sempurna, pasti Bang Kay yang melihatku akan klepek-klepek.Ckleek, gagang pintu kamar terbuka. Kulihat Bang Kay tersenyum mengembang ke arahku. Dia datang mendekat dan mencium keningku. Sebelum kami betul-betul berbulan madu, aku dan Bang Kay terlebih dahulu saling merayu, dan memuji.“Indah sekali, matamu ini sayang … bagai bintang berkilau dimalam hari.” ucap Bang Kay.“Abang juga, semua yang ada pada diri Abang sangat mempesona.” balasku berbisik di telinga Bang Kay.Suara angin malam masuk dari celah-celah jendela, menambah khidmat nuansa bulan madu kami. Lama sekali malam ini kutunggu-tunggu, akhirnya terjadi juga setelah melalui malam yang panjang. Aku tidak sabar.“Maya pengen anak berapa dari Abang?” tanya Bang Kay di telingaku, masih sambil merayu.“2 Bang, kembar.” balasku. “Kalau Abang pengen punya anak berapa?” tanyaku kembali.“Sebanyak mungkin, Dek Maya, siap mengandung zur
Tekadku benar-benar sudah bulat. Aku tidak mau terus bertahan dan bersabar hidup dengan Bang Kaylani. Rasanya sudah cukup setahun aku bersabar untuk semua hal, dan untuk semua kekurangannya.Setelah semua barang-barangku ku masukkan ke dalam koper, tanpa berbasa-basi dan meminta izin kepada Bang Kay suamiku, aku pergi. Kutenteng koperku keluar dari rumah, walau rasanya agak berat membawa koperku itu, kupaksakan saja.“Dek, jangan pergi! Sudah malam ini Dek.” Bang Kay mengejarku dan menarik tanganku.“Lepaskan Bang! Biarkan Maya pergi, Maya tidak mau tinggal disini lagi.”“Iya sayang, tapi ini sudah larut malam, kalau Maya kenapa-kenapa nanti bagaimana.”“Biar! Maya sudah dewasa Bang! Maya bisa menjaga diri. ucapku tetap teguh pada pendirian.“Iya Dek, besok aja ya perginya.” ucap Bang Kay memelas. Matanya dibuat sesayu mungkin agar aku luluh.“Enggak Bang! Maya ga bisa bertahan lebih lama disini. Maya ga tahan lihat muka Abang!” bentakku, dengan suara tinggi. Dengan percaya diri, kuba
Selama mobil berjalan, aku dan pria berhati malaikat itu hanya diam. Larut dalam fikiran masing-masing. Kuedarkan pandangan ku ke sekitar jalanan, sangat sepi. Lani kucing persiaku, mahar pemberian Bang Kaylani, tidur dengan begitu nyenyaknya di dalam pelukanku. Ku belai lembut bulu halusnya.Melihat Lani, kucing Persiaku, mengingatkanku kepada Bang Kaylani, pada masa-masa kami bersama mengurus kucing persiaku, mengingat saat-saat menjengkelkan, saat kami harus menyesuaikan diri menerima seekor kucing dengan tingkah menyebalkan dan menyusahkannya di tengah-tengah kami. Banyak rasa yang kami rasakan bersama, ada suka dan duka, tangis dan tawa.“Bang … ternyata Abang menghilang untuk menjemput motorku toh Bang, ku kira Abang pulang karena tidak menyukai tingkahku. Andai saja Abang lebih cepat datang, tentu saat ini aku tidak akan berada disini. Mungkin, saat ini aku sedang berada di belakangmu, dan melingkarkan tanganku ke pinggangmu. Bang, apakah aku terlalu egois ingin meninggalkanmu,
Aku berdiri mematung sejenak. Aku berbohong, pada orang baik tadi. Rumahku bukan disini. Rumahku masih beberapa km lagi di depan. Aku sengaja turun disini, agar tidak terlalu merepotkan Mas Hanafi. Apalagi percakapan kami, semakin larut semakin gurih saja. Aku khawatir, ada yang ketiga. Bukan itu saja, aku ingin menjaga aib suamiku, aku tidak mau orang tuaku tau aku ada masalah dengan Bang Kaylani.“Meeong.” Lani kucing Persiaku menatapku.“Ngapain bangun? Tidur lagi!”ucapku mengusap kepala Lani.Aku berjalan kearah masjid, rencananya malam ini, aku istirahat saja disitu. Lalu, besok pagi-pagi aku naik ojek ke rumah orang tuaku. Sayangnya tidak di kota, kalau di kota, tentu aku akan memilih tidur dihotel.Kubuka gagang pintu Masjid, syukurlah tidak dikunci. Aku masuk, membawa koperku kedalam, lalu kutup kembali. Aku lupa membawa selimut, kuambil beberapa kain sarung yang tersedia di masjid untuk menutupi badanku. Cuaca terasa sangat dingin. Aku menggigil … gigiku, bergemelatuk sangkin
“Assalamualaikum Ma.”ucapku sesampainya di depan pintu.“Waalaikum salam, Loh, Maya? Pulang kok tidak mengabari? ucap Mama menyambutku. Mama sedang menyapu rumah, saat aku datang Mama sedang menyapu ruang tamu. Melihatku datang, Mama segera menghentikan aktifitas menyapunya, menyambutku dan mencium keningku. Maklum lah, aku adalah anak tunggal, dan anak kesayangan. Seperginya aku setelah menikah dengan Bang Kay, Sepupu laki-lakiku yang tinggal menemani Mama dan Papa, sedari kecil diasuh oleh Mama dan Papa karena Bibiku sudah meninggal.“Ayah, mana Ma?”tanyaku karena tidak melihat Ayah. Tidak mungkin berangkat ke kantor, jam masih menunjukkan pukul 7.25 pagi.“Ayahmu, belum bangun. Tadi setelah Shubuh tidur lagi. Katanya kepalanya sakit karena sepertinya tensinya naik.”jawab Mama.“Oh gitu Ma,” ucapku. Aku berjalan ke arah sofa. Kemudian duduk melepas penat, dan disusul oleh Mama.“Dimana Kaylani? Kok tidak ikut mengantarmu kesini?”“Bang Kay, ga bisa ikut Ma, kan dia masuk kerja. Maya
Kata-kata Mbak Wulan membuatku ngeri. Benar kata Mbak Wulan. Wanita hanya mengandalkan kepercayaan saat menikah. Perempuan tidak tahu pasti sama sekali status laki-laki sebenarnya, apakah dia belum pernah melakukan aktifitas suami istri atau sudah berulang kali melakukannya, wanita dan orang tuanya hanya mengandalkan kepercayaan atas kesaksian sebuah KTP. Jika di KTP tertulis “Belum Kawin” maka dia dianggap perjaka. Seharusnya para laki-laki di sumpah sebelum menikah, di sumpah apakah dia sudah pernah melakukan hubungan suami istri dengan wanita atau laki-laki atau tidak. dengan demikian wanita tidak akan menjadi korban para perjaka palsu. Berbeda dengan laki-laki. Status wanita bisa diketahui dengan cepat, suami bisa mengetahui apakah istrinya masih perawan atau tidak saat malam pertama. Bentuk dan kondisi “itunya” bisa diketahui dengan mudah, rasanya juga akan sangat berbeda. Apabila suami merasakan malam pertamanya terasa mudah dan tanpa bercak darah, maka sudah bisa di
“Hahaha ... Mbak Maya ini ada-ada saja. Begini Mbak, Papa yang lagi main sama Devi itu bukan Ayahnya. Tapi temanku, karena dia sering datang kerumah, dia juga akrab denganku dan suamiku, dia sangat menyayangi Devi. Jadi kami mengizinkan Devi memanggilnya Papa. Kebetulan dia juga sangat senang di panggil Papa sama Dewi. Secara biologis dia bukan Ayah Devi, tapi secara perhatian dia lebih perhatian kepada Devi ketimbang Ayah kandungnya.” Mbak Wulan bercerita panjang lebar.Alhamdulillah, lega hatiku mengetahui Bang Kaylani bukan suami Mbak Wulan. Bang Kaylani hanya teman Mbak Wulan dan suaminya. Tapi itu tidak berarti mereka tidak ada hubungan, keakraban Devi dengan Bang Kaylani bisa saja menyatukan Mbak Wulan dan Bang Kaylani.“Apa ada niat di hati Mbak untuk menikah dengannya setelah Mbak bercerai nanti?” aku semakin berani bertanya masalah yang sangat pribadi.“Tidak, itu tidak mungkin. Dia itu sudah seperti Abang kandungku sendiri. Kami berteman dari kecil, kami d
“Ayah lihat kamu sedih terus dari kemaren. Kamu ada masalah sama suamimu?” tiba-tiba Ayah bertanya.“Eh iya Yah, Maya memang lagi banyak masalah.” jawabku.“Cerita sama Ayah. biar Ayah yang selesaikan semua permasalahan itu.” Ayah mendesakku.Aku diam. Aku mau cerita sama Ayah, tapi takut Ayah jadi tambah sakit mendengar ceritaku. Namun aku juga belum menemukan alasan untuk tidak menceritakan semuanya kepada Ayah.“Biar Maya sendiri yang akan menyelesaikannya Yah.” Aku berusaha merahasiakannya dari Ayah.“Begini Nak, suatu pekerjaan akan cepat selesai jika banyak yang mengerjakannya. Begitu juga dengan masalah. jika banyak yang bantu menyesaikannya maka masalah itu akan cepat selesai.” Ayah masih berusaha mengorek informasi.Akhirnya ku putuskan untuk menceritakan semuanya kepada Ayah. ku sampaikan semua kekurangan Bang Kay. ku sampaikan juga kemungkinan Bang Kay selingkuh seperti yang ku lihat kemarin.“Ini memang masa
“Tapi ini beda Ma. meraka makan berdua, di mobil berdua, berjalan berdua, nah sekarang dia bertamu kerumah cewek itu, dan dirumah itu hanya ada mereka berdua. Mau ngapain coba?” aku semakin suudzon.“Sudah. Jangan membayangkan yang tidak-tidak, kalau kamu curiga pergi saja temui dia disana!” teriak Mama. Mama akhirnya terbawa emosi juga.“Ini lokasinya. Pergi sana biar hatimu puas.” tantang Mama.Untung aku punya Mama pintar, saat Bang Kay menerima telepon Mama mengaktifkan pencarian lokasi. Bahkan ternyata Mama merekam panggilan video call tadi.“Itu sudah Mama kirim lokasi dan rekaman panggilan tadi. Sana pergi! Jangan menangis disini, Ayah sedang sakit, nanti Mama marah.” Mama mengultimatum.Aku bangkit memeluk Mama, ku ucapkan terimakasih atas kejeniusan Mama. ku cium pipi Mama berulang-ulang.“Terimakasih Ma. Maya berangkat sekarang Ma.” Aku bersemangat. Sudah terbayang dibenakku bagaimana nanti aku akan menghajar gadis
“Ayo ikut!" Aku mengajak Mas Hanafi mengikutiku.“Kemana?” tanya Mas Hanafi.“Katanya mau kenalan sama suamiku? Itu dia yang duduk diwarung sana. Ayo Maya kenalkan sekarang.” Aku kembali mengajak Mas Hanafi yang terlihat ragu.Aku terus berdoa dalam hati di setiap langkahku, memohon kepada Allah agar Mas Hanafi dan Bang Kay tidak bertarung nanti. Aku melangkah dengan dada berdebar. Kakiku juga gemetar. Ini hal tersulit dalam hidupku, belum pernah aku melalui situasi yang sesulit ini. Semakin dekat dengan posisi Bang Kaylani ombak didalam dadaku semakin menggelora. Kurang dari 20 meter lagi akan sampai ketempat Bang Kay. Kakiku goyah, aku tak sanggup lagi lanjutkan langkah. Ku lirik Mas Hanafi, wajahnya juga memias, sepertinya dia didera ketakutan yang teramat sangat.Didepan sana. Bang Kaylani tampak berdiri dari bangku kayu yang di dudukinya. Gadis cantik dengan masker menutupi mulut dan hidungnya yang tadi duduk di depan Bang Kaylani juga berdi
“Iya. Kangen pake banget. bagaimana shalat istikharahnya? Sudah dapat jawaban?” tanya Mas Hanafi.“Belum. Kan belum 7 hari 7 malam.” Aku mengingatkan.“Mas mau bantu jawab, biar cepat dijawabnya.”ucap Mas Hanafi“Maksud Mas?” aku tidak paham.“Sekarang Mas lagi otw. Mas mau ketemu Ayah dan Ibu Maya sekarang.” jawab Mas Hanafi.“Ayah dan Ibu lagi sibuk kerja. Nggak bisa diganggu.”ucapku, memberi alasan.“Mas akan tunggu sampai mereka selesai melakukan kesibukannya.” Mas Hanafi memaksa.“Terserah Mas saja. Asal jangan bawa-bawa nama Maya jika terjadi sesuatu.” selorohku.“Setuju, deal.” Sahut Mas Hanafi bersemangat.“Maaf, udah dulu ya Mas, Maya sudah ngantuk. Maya mau tidur sekarang.” Aku mau memutuskan pembicaraan.“Baiklah. Selamat tidur siang.” seloroh Mas Hanafi.Aku menutup telponnya. Mataku sudah tidak mampu lagi untuk dibawa kompromi. Ku rebahkan tubuhku dikasur. Sangat nyaman,
Hal pertama yang aku lakukan saat sampai kerumah adalah mengecek tas yang tergantung didekat televisi. Bang Kaylani mengatakan bahwa dia menaroh uang belanja didalam tas dekat televisi. Aku harus mengecek keberadaannya. Ku buka tas, ku temukan didalamnya seikat uang. Ku taksir jumlahnya sekitar Rp. 5.000.000. entah darimana Bang Kay mendapatkan uang sebanyak itu, sekarang bukan waktu gajian, juga bukan hari besar yang ada tunjangan dari tempat kerja.Ku bawa seikat uang itu kekamar. Dikamar kuhitung semuanya. Jumlahnya lebih dari Rp. 5.000.000. kurang yakin ku hitung ulang, hasilnya tetap sama. Ku hitung lagi sampai empat kali hitung, khawatir salah hitung, namun hasil perhitunganku tetap Rp. 7.000.000. Hebat, baru kali ini Bang Kay memberiku uang belanja satu juta untuk satu hari, biasanya Bang Kay memberiku uang belanja satu juta untuk satu minggu. Mungkin Bang Kay mau menyogokku dengan uang ini, Bang Kay sengaja memberi banyak uang belanja agar aku tersentuh dan membatal
“Jangan sampailah, saya yakin masih ada laki-laki perjaka yang mau denganku.” jawabku. Aku tersenyum membayangkan wajah Mas Hanafi, namun aku tidak yakin dia akan mau jika tau bahwa aku seorang janda. akan segera ku beritahu Mas Hanafi.“Wah kayaknya sudah ada calon nih?” Mbak Wulan menebak.“Ada seorang pemuda yang menyatakan ingin melamarku, aku belum memberi tahu dia statusku. Aku khawatir dia akan berubah pikiran setelah tau statusku.” jawabku sedih.“Waduh … waduh … waduh … ini kejam!Sumpah ini kejam! Kasihan suamimu. Seharusnya Mbak selesaikan dulu urusan Mbak dengan suami, seharusnya Mbak jujur dari awal. Mbak bisa menghancurkan kedua laki-laki malang itu.” Mbak Wulan terlihat prihatin dengan nasib Bang Kaylani dan Mas Hanafi.“Maya akan segera memberi tahukan status Maya, Maya janji.” ucapku.“Bagus. Semoga semua berjalan lancar.” sahut Mbak Wulan.“Aamiin.”Hampir dua jam aku dirumah Mbak Wulan. Aku pa
Mobil Mbak Wulan berhenti didepan sebuah rumah makan yang cukup besar dan mewah. Aku memarkirkan motorku ditempat parkir motor dan menunggu. Mungkin Mbak Wulan akan membeli makanan untuk makan siang kami nanti. aku duduk menunggu di atas motorku. Aku tak mau membayar uang parkir hanya karena menunggu seseorang. Mbak Wulan yang keluar dari mobil melambaikan tangan kearahku. Terpaksa aku turun dari motor dan berjalan kearahnya.“Iya Mbak?” ujarku saat berada didekat Mbak Wulan.“Kita makan siang disini ya. nanti kalau masak dirumah bisa mengurangi waktu kebersamaan kita.” Mbak Wulan menjelaskan.“Ini restoran saya, sudah 5 tahun saya mengelola restoran ini sendiri. Orang tua saya meninggal saat saya masih gadis. Jadi saya yang melanjutkan usaha ini. Sekitar 4 tahun yang lalu saya menikah dengan salah seorang karyawan saya, dia lelaki yang baik saat itu, dia pintar dan cekatan. Selama menikah aku tidak pernah menuntut nafkah kepadanya, karena aku tau aku lebi