Ruth mendatangi Magdalena, ia mengadukan kecurigaannya pada bundanya sambil terisak. "Apakah kamu yakin, Papa Elkana berlaku demikian?" tanya Magdalena menyentuh pundak putrinya.Ruth tidak boleh kelepasan menangis sebab Elkana masih bersama dengan mereka. Tempat mereka duduk sedikit berjauhan jarak dengan Elkana agar Ruth bisa bercerita lebih leluasa."Malam ini aku akan membuktikan hal itu, Bunda," ujar Ruth menyeka air matanya. "Bila terbukti, besok... kita tidak perlu berada di rumah ini lagi, Bunda," imbuh Ruth menatap manik ibundanya."Aku lelah dengan masalah demi masalah yang disebabkan oleh papa Elkana." Ruth menarik nafasnya dalam. "Aku mendapat sebuah pesan tentang pertemuannya dengan orang yang disebut rekan bisnis. Bunda... sosok itu bukanlah rekan bisnis," lirih Ruth.Magdalena terdiam kemudian menganggukkan kepalanya. Ia tidak ikut campur terlalu jauh untuk kali ini. "Bunda mendukung apapun yang mau kamu lakukan. Ingat, lakukanlah... tapi bukan berdasar rasa benci agar
Ruth kembali ke rumah dengan rasa sedih mendalam. Ia kecewa sebab hingga tiba di lobi hotel suaminya tidak menyusul, padahal beberapa saat ia menanti suaminya di sana.Mama Elkana melangkah masuk tanpa suara, langsung menuju ke kamarnya.Perempuan itu menangis di ranjangnya. Isakan pilu yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "Kamu jahat... jahat..." isak Ruth memukuli bantal dan kasurnya. "Banyak sakit di hati aku dapatkan selama pernikahan ini. Kamu jahat," ucapnya lirih bersimbah air mata.Ruth melangkah ke kamar kecil sembari sesenggukan, ia ingin membasuh wajahnya. Hatinya tersayat memergoki pria yang begitu dikagumi dan dikasihinya, malahan menjalin hubungan mesra bersama perempuan yang tidak disukainya.Ruth keluar dari kamar kecil, lalu ia mengambil koper dan mengemas pakaiannya ke dalam. Besok ia akan pergi dari kehidupan Hizkia dan membebaskan pria itu dari ikatan suci perkawinan. Tidak akan ada yang membelit Hizkia lagi, pikirnya. Pintu kamar Ruth terbuka, sosok suamin
"Lidyaa @#$#¥€!," maki Hizkia dengan sumpah serapah sembari menelentangkan dirinya di ranjang dingin. "Aku ingin membongkarnya, ia malah menjebakku. Sial!" caci Hizkia ke udara, ia pukul kasur dengan punggung tangannya.Hizkia berdiri lagi lalu berjalan bolak-balik mencari cara untuk meyakinkan istrinya. Pria itu tidak tenang karena rumah tangganya menjadi kacau, padahal ia ingin mengungkap kepalsuan Lidya.Sikap ketus Ruth terhadap Lidya bukannya tidak diperhatikan oleh Hizkia. Namun, di awal tidak terlihat tanda yang mencurigakan bagi Hizkia.Ruth perempuan dan seorang istri, nalurinya lebih kuat dari diriku, batin Hizkia. Ia menyesal mengabaikan tanda dari istrinya.Sampai pada permintaan bantuan di klub malam masih dianggap Hizkia wajar. Saat Lidya terus dengan alasan-alasan baru untuk menghubunginya, disitulah Hizkia mulai mengendus ketidakberesan pada Lidya.Rasa curiganya harus terjawab dengan jalan Hizkia mencoba menuruti setiap apa yang Lidya inginkan. Ia berencana membuka ke
Hizkia kembali ke kamar, memutuskan membasuh dirinya untuk mendapat kesegaran fisik. Setelahnya ia kembali ke ruang makan. Di sana Elkana, Ruth, dan Magdalena telah duduk dan bersiap sarapan."Ayo sarapan, Nak," sapa Magdalena.Hizkia mengangguk dan tersenyum ke arah Magdalena. Saat ia melempar senyum pada istrinya, Ruth menyibukkan dirinya dengan menaruh nasi di setiap piring, termasuk milik Hizkia."Selamat pagi, anak Papa," sapa Hizkia sembari mencium kepala putranya. "Makan yang banyak ya, Nak. Biar cepet gede," imbuhnya."Ya, Papa," balas Elkana sambil tersenyum dan menggoyang-goyang tubuhnya. Hizkia membalas senyuman Elkana."Terima kasih," ucap Hizkia saat Ruth menyodorkan piring berisi nasi, lauk pauk, dan sayuran. Rupa Hizkia berbinar, tetapi Ruth hanya berdehem merespon suaminya. Hizkia cukup senang dengan tanggapan istrinya. Pria itu malah merasa Ruth bertambah cantik dan menggemaskan dengan ekspresi dingin seperti saat ini."Nanti pukul berapa Bunda terbang ke Palembang?"
Hizkia memiliki jadwal pertemuan dengan rekan bisnisnya. Sebagai pimpinan perusahaan ia harus bersikap profesional, seperti saat rapat ini ia berusaha fokus pada apa yang disampaikan oleh rekannya.Tidak terasa satu setengah jam berlalu. Mereka mengakhiri pertemuan dengan berjabatan tangan, bersepakat untuk menjalin kerja sama dalam sebuah proyek pembangunan.Setelah kepulangan rekan bisnisnya, Hizkia kembali ke ruang kerjanya. Sekonyong-konyong pria itu merasa pusing dan mual. Ia berlari menuju wastafel yang ada di bilik kecil dalam ruang kerjanya dan memuntahkan cairan dari mulutnya. Ada yang tidak beres dengan perutnya, pikir Hizkia. Pria itu mendudukkan diri di sofa setelah menghubungi Melina untuk meminta teh hangat untuknya dari dapur perusahaan.Rasa pusing melandanya, Hizkia merebahkan tubuhnya di sofa. Saat petugas dapur dan Melina masuk ke ruangan Hizkia, mereka terkejut dengan keadaan pimpinan perusahaan mereka. Semula mereka mengira Hizkia pingsan."Saya baik-baik saja, t
Hizkia dan Ruth tertegun mendengar pertanyaan dokter Ridwan. Ruth menjawab, "Tidak, Dokter.""Oh... maaf Ibu untuk pertanyaan saya," ucap Ridwan. Setelahnya dokter berpamitan, Ruth mengantarkan hingga keluar pintu.Perempuan itu kembali ke ruangan, dilihatnya Hizkia sedang berusaha duduk dari posisi rebah. Gegas ia membantu suaminya.Saat duduk kembali pusing melanda, pria itu memejamkan matanya sembari punggungnya menyender di sofa."Masih pusing ya," ucap Ruth menyimpulkan. Hizkia hanya mengangguk dan berdehem."Tolong ambilkan handphone-ku," pintanya menjulurkan tangan.Ruth mengambil dan menyerahkan ponsel milik Hizkia. Pria itu mencari nomor kontak seseorang, lalu menghubunginya. "Halo Pak Danu, tolong ke ruangan ya, bantu saya. Saya mau pulang," suruh Hizkia. Pria itu kembali memejamkan matanya dan menarik nafas panjang."Kenapa harus Pak Danu, aku bisa bantu kamu turun ke mobil," resah Ruth merasa seperti tidak dianggap kehadirannya.Hizkia menoleh dengan kepalanya menyender d
Makan siang telah disediakan oleh Ruth. Elkana dan Magdalena di meja makan, sementara hidangan untuk Hizkia dibawa Ruth ke kamar.Bersamaan Ruth masuk, Hizkia terlihat sedang bangun dari tidurnya. "Kamu sudah bangun," ujar Ruth basa-basi. Hanya deheman dari Hizkia yang terdengar. "Aku bawakan makan siang kamu," tunjuk Ruth di nakas. "Setelah ini, kamu minum obat sesuai saran dokter," imbuhnya.Hizkia menerima nampan yang diambil Ruth dari nakas. Ia tidak banyak bicara. Saat Ruth menawarkan diri menyuapi makanan untuknya, Hizkia menolak."Tidak perlu, aku sendiri saja," sanggahnya.Ruth membiarkan suaminya untuk menyuapkan sendok demi sendok makanan. "Sudah cukup," ucapnya setelah enam sendok hitungan Ruth."Kenapa? Makanannya tidak enak? Ini makanan kesukaan kamu," kata Ruth menunjukkan rasa heran."Entahlah... kurang nafsu makan," sahut Hizkia."Ya sudah, kalau begitu obatnya diminum." Ruth meletakkan kembali nampan dan mengambil obat yang dibelinya dari apotek tadi.Pria itu meneri
Gegas Hizkia turun dari ranjang menuju kamar kecil. Pria itu kembali memuntahkan isi perutnya, tetapi yang keluar cairan sedikit saja. Hanya saja, ia perlu mengerahkan tenaga yang besar agar puas untuk tidak mual lagi. Rasa kaki Hizkia seperti jeli yang kenyal dan lemas. Kepalanya bahkan sampai menyentuh pinggiran wastafel agar tidak menumpu pada tubuhnya yang terasa goyah. "Aduh... mual terus, kapan berhentinya ini," gerutu Hizkia merasa tidak nyaman. Beberapa saat menunggu, mualnya terasa mulai mereda. Hizkia mendudukkan diri di lantai kamar mandi. Punggungnya menyender ke dinding, kepalanya ditumpu di lutut. Terasa oleh Hizkia, seseorang menyentuh punggungnya, lebih tepatnya mengusap-usap. Dengan sisa tenaga, diangkatnya kepala untuk mengetahui siapa gerangan pelakunya. "Mama El...," lirihnya. "Kamu nasih mual terus ya," ucap Ruth khawatir. "Coba lebih rileks nafasnya," saran Ruth. Perempuan itu masih setia mengusap tengkuk suaminya. "Tidak lagi," ucap Hizkia. Lagi-lagi Ruth