"Apa maumu? Dengar Sintya, kalau sampai sekarang aku masih diam mentolerir semua tingkahmu, itu karena aku masih menghargai persahabatan ayah kita, dan juga kerja sama ini. Tapi dengan tindakan menjinakkan darimu seperti ini, rasanya lebih baik aku batalkan saja kerja sama kita!""Dewa! Kamu apa-apaan, sih? Apa yang salah?" Sintya mengambil posisi ternyaman di sofa putih di ruang tamunya. Wanita itu tampak mempersiapkan penampilannya dalam mengambil kedatangan Dewa karena begitu yakin kalau pria itu akan muncul setelah pesan dan gambar yang dia kirim.Sintya merasa ada yang janggal dengan sikap Dewa terhadap Dinda. Tidak seperti bos dan karyawan pada umumnya. Sintya tebak, kalau Dinda salah satu saingannya dalam merebut perhatian Dewa. Dia ingat bagaimana panik Dewa saat Dinda memergoki mereka tempo hari di ruang kerja pria itu. Bertemu di ruang meeting dan diperkenalkan sebagai sekretaris, membuat Sintya semakin yakin kalau Dinda bukan gadis biasa.Selama di perjalanan dia gelisah. S
Semilir angin sore menyapu wajah Dewa. Dari balkon ruangannya dia melihat Dinda berjalan menuju halte kecil yang tak jauh dari kantor. Biasanya para karyawan atau yang beberapa orang yang bekerja di sekitar menunggu bus atau jemputan.Hingga tubuh Dinda menghilang dari pandangannya, barulah Dewa menghela napas panjang. Jam kerja sudah usai, hampir semu karyawan juga sudah pulang, tapi Dewa enggan untuk keluar dari ruangannya.Dia harus menerima situasi ini dengan berlapang dada. Dia bersalah, oleh karena itu sudah sepatutnya jika dia menerima permintaan Dinda yang ingin menjaga jarak darinya. Memberikan waktu seperti yang wanita itu inginkan.Sakit, tidak rela, tapi Dewa sadar bahwa dia tidak sedang berada pada posisi bisa memaksa. Dalam kesendiriannya, kembali pertengkaran mereka menggema di telinga Dewa."Menyerah?" Wajah Dewa memucat. Ketakutan di wajahnya seakan membuat semesta jadi gulita. "Aku perlu waktu. Aku ingin sendiri memikirkan semua ini.""Dengan pergi dariku? Bukankah
Dinda tak kuasa menyimpan pelik di hatinya. Meski tidak ingin membuat sang mertua risau, tapi desakan Reni ditambah dengan tatapan penuh khawatir, membuat Dinda akhirnya terbuka."Kamu yang sabar ya, Din. Mama tahu gimana perasaan kamu, tapi Mama mohon jangan mengambil keputusan di saat amarah sedang menguasai diri." Reni mengambil tangan Dinda dan menggenggamnya. Terlihat jelas keinginan hati Reni mengharapkan mereka tidak berpisah."Aku juga gak tahu, Ma. Aku juga bingung harus apa." Dinda menunduk mencoba menyembunyikan cairan yang mulai menggenangi netranya.Lama mereka berbincang, terputus kala Dito dengan kursi rodanya turun bersama Leon. Beruntung di rumah itu ada akses lift hingga memudahkan Dito naik turun.Keempatnya makan malam bersama. Dinda harap cemas kalau Dewa datang. Tidak akan mudah membuat sikap biasa di depan mertuanya yang sakit. Dinda masih sangat menghormati dan peduli pada kesehatan Dito, jangan sampai karena persoalan mereka kesehatan Dito yang saat ini sedang
Dinda masih berusaha menenangkan pikiran, menyingkirkan prasangka buruk yang kini berkembang di dalam pikirannya.Sejak dulu, Sintya sudah tergila-gila pada Dewa, tapi pria itu tidak pernah memedulikannya. Namun, tampaknya penolakan Dewa tidak membuat Sintya mundur. Dia tetap berusaha mencari celah untuk bisa masuk dalam hati Dewa. Barulah setelah Dewa menikah dengan Helen, Sintya memilih pergi ke luar negri untuk mengobati patah hatinya.Kini, dia kembali. Entah karena mendengar Dewa dan Helen bercerai, atau tidak, yang jelas dia ingin kembali mencoba peruntungannya.Satu hal yang pasti, Dinda tidak akan menyerahkan yang menjadi miliknya. Kalau soal gaya, mungkin penampilan Sintya jauh lebih modis dari dirinya, tapi yang tidak dimiliki gadis itu adalah cinta Dewa, karena hanya miliknya seorang.Lamunan Dinda buyar bersamaan dengan dering ponselnya. Segera dia merogoh tas tangan dan mengangkat panggilan yang berasal dari Dewa."Iya, Mas?""Kamu dimana? Udah selesai belanjanya? Biar ak
Takut-takut Dinda melirik ke arah Dewa lagi, ini entah sudah keberapa kalinya. Sejak pulang dari rumah mertuanya, Dewa diam seribu bahasa. Pada saya pamit pada Reni dan Dito juga terlibat ketus dan tidak bersemangat.Ingin sebenarnya Dinda mengajak ngobrol, tapi melihat ekspresi Dewa yang dingin dan tak bersahabat, membuat ciut nyalinya Dinda dan memutuskan untuk diam saja."Mas, mau aku buatkan teh?" tanya Dinda setelah keluar dari kamar mandi dan mendapati Dewa tengah duduk di meja kerjanya. Begitu sampai rumah, Dinda memutuskan untuk mandi, keramas agar tubuhnya terasa wangi dari ujung kepala hingga kaki. Dia pikir, sedikit menggoda Dewa malam ini, akan membuat pria itu kembali jadi good mood."Gak usah, Din. Aku gak haus." Hanya singkat, dan itupun tanpa melihat wajah Dinda saat mengatakannya.Siapapun pasti tahu, sikap Dewa yang seperti ini menunjukkan kalau dia sedang marah pada Dinda. Tapi, apa salah gadis itu?Dinda menarik diri. Dia merangkak ke atas tempat tidur setelah meny
"Sudah jam berapa ini?" Dewa mencoba membuka matanya setelah cahaya surya masuk menembus kaca jendela kamar, tepat saat Dinda menyingkap gorden.Dinda berdiri di depan jendela dengan melipat tangan di dada. Tatapannya lurus pada Dewa yang masih memijit keningnya. Kepala terasa berputar, sakit sekali. Tampaknya efek minuman yang tadi malam dia habiskan masih tersisa hingga pagi ini."Kenapa kamu menatapku? Jam berapa ini?" Dewa berusaha mencari jawaban dengan menoleh pada jam weker yang ada di atas nakas."Ck! Udah jam sembilan. Rasanya kepalaku masih sakit. Hari ini aku tidak akan ke kantor." Dewa sudah berbalik, menungging Dinda dan melindungi matanya dari cahaya yang masuk.Harusnya Dinda yang bersikap cuek pada Dewa setelah sikap pria itu tadi malam padanya. Dia mendiami Dinda, bahkan lebih bersemangat mendengar perkataan Sintya kala bercerita.Baru beberapa hari lalu Dinda menyakinkan diri untuk tidak lagi mencari masalah dan akan menjadi istri penurut pada Dewa, hari ini janjinya
Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam benak Dewa. Dia melangkah keluar dari rumah sakit dengan kepalan tangan dan emosi yang memuncak.Obat itu masih dia genggam. Ingin melemparkan ke hadapan Dinda dan mendengar penjelasan wanita itu."Ck! Aku seperti orang bodoh!" Dewa tersenyum mengejek dirinya kala mengelus perut Dinda setiap kali mereka selesai bercinta. Membisikkan harapan dan tak lupa berdoa. Tapi, kenyataannya? Dewa memukul keras setir mobilnya. Dia masih bingung harus kemana melanjutkan langkahnya. Ingin pulang, mencari Dinda, tapi dia juga belum yakin harus berkata apa.Dia takut terlalu emosi hingga melakukan tindakan di luar kendali. Akhirnya Dewa memutuskan untuk menghibur dirinya, pergi ke sebuah bar, tanpa ada yang tahu."Sialan kamu, Dinda! Kenapa kamu permainkan aku seperti ini?" umpatnya menghabiskan satu gelas minuman beralkohol yang sejak tadi dia tenggak.Pikiran buruk mulai terbersit dalam benaknya. Apa mungkin Dinda tidak ingin mengandung benih darinya karena ingin
Tebakan Dinda benar. Setelah mencari ke sana kemari, bahkan ke rumah mereka sendiri, tapi tetap tidak menemukan pria itu. Dewa ternyata berada di rumah orang tuanya. Dia menemukan pria itu terlelap di ranjang kamar mereka setiap kali menginap di sana, dengan suasana kamar yang gelap. Semua akses cahaya ditutup, lampu pun sengaja dipadamkan.Dengan hati-hati, Dinda mendekat. Rasa khawatir muncul di benaknya. Apa suaminya sakit, kenapa jam segini justru tertidur."Mas," panggilnya setelah duduk di tepi ranjang. Dia mengamati setengah wajah Dewa yang mampu terlihat karena posisi tidurnya yang tengkurap."Mas," ulang Dinda menggoyangkan dengan pelan punggung Dewa, tapi pria itu bergeming. Dinda meletakkan telapak tangan di kening, Dewa baik-baik saja, tidak demam."Mas, kamu dari mana?" tanya Dinda sedikit lebih kencang."Hem..." hanya gumaman tidak jelas dari bibir Dewa. Dinda pun menyerah, membiarkan suaminya untuk melanjutkan tidurnya. Nanti saja dia ajak bicara yang terpenting Dewa su
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me