Pesta pernikahan Helen begitu sederhana. Hanya beberapa orang yang diundang, hanya pilihan dengan kepentingan dan alasan yang tepat untuk hadir.Kehadiran keluarga Diraja dianggap pantas karena mengingat hubungan mereka yang lalu. Lagi pula, Helen juga menginginkan Dewa hadir di sana. Dia rindu. Alasan mengundang menjadi alasan agar bisa melihat pria itu."Selamat Bu," ucap Dinda lebih dulu menyalami pengantin. Dewa dan Leon berdiri tepat di belakangnya menunggu giliran."Dinda! Aku 'kan udah bilang, jangan panggil ibu lagi." Helen memasang wajah cemberut saat menerima uluran tangan Dinda. "Panggil Helen aja. Bukankah sudah aku katakan, lupakan masa lalu. Sekarang kita sudah punya jalan hidup kita masing-masing!"Dinda mengangguk. Meski begitu berat memanggil nama Helen, tapi apa yang dikatakan Helen benar. Dia harus menyingkirkan rasa tidak percaya diri dalam hatinya. Dewa juga sudah berulang kali mengatakan untuk membuang pemikiran yang mencap diri sendiri sebagai pelakor, yang sela
"Perkenalkan ini teman baru kalian, Leon Putra Diraja," ujar guru yang berdiri di samping Leon. Hari ini, anak itu mulai masuk ke sekolah baru. Dia terlihat sangat gembira karena tempatnya menimba ilmu sangat berbeda dari sekolahnya yang lama. Gedung yang tinggi serta fasilitas yang lengkap, membuat Leon yakin kalau dia akan betah di sekolah itu."Hai Leon, salam kenal," jawab semua siswa di kelas itu yang hanya berjumlah 20 orang saja. Sangat berbeda dengan kelasnya yang dulu, penuh sesak dengan teman-temannya yang lebih 30 orang. Bisa dibayangkan suasana kelas yang panas dan berisik. Sementara di kelas barunya, Leon merasa adem karena pendingin ruangan selalu menyala, teman-teman barunya juga tidak grasak-grusuk.Bu Rita, wali kelasnya menyuruh Leon untuk duduk di dekat seorang anak yang memakai kaca mata tebal. Anak itu menyambut gembira kehadiran Leon. Tapi hanya sekedar bersalaman sembari tersenyum, lalu kembali fokus mendengarkan guru di depan kelas.Hari itu Leon lalui dengan k
"Hei, Boy, sedang apa?" Dewa mengetuk pintu kamar Leon yang tidak tertutup sepenuhnya. Anaknya sedang berbaring di ranjang menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran melayang. Entah apa yang dia pikirkan, tingkahnya sudah seperti pria dewasa saja."Papa..." Leon mendudukkan diri di tepi ranjang, begitupun dengan Dewa."Bagaimana harimu? Apa di sekolah menyenangkan?" Dewa memulai pembicaraan dengan putranya. Seolah tidak tahu apa yang sudah terjadi, padahal Dinda sudah menjelaskan panjang lebar."Baik, Papa," jawabnya singkat. Masih terlihat lesu dan tidak berminat untuk bicara pada sang ayah atau pada siapapun.Dewa menyadari kalau Leon tidak ingin mengatakan yang sebenarnya padanya."Apa kita sebaiknya mengunjungi Oma Diana?"Leon menyambut antusias ucapan ayahnya. Dia ingin sekali bertemu Diana dan juga teman-temannya. "Benar, Pa? Apa boleh?" Dewa jadi tidak enak hati jika harus mematahkan harapan anaknya ini. Senyum dan anggukan kepalanya menjadi jawaban untuk Leon. Anak itu k
"Akhirnya kalian sampai juga. Kenapa lama sekali?" Reni menyambut kedatangan cucu dan mantunya penuh gembira."Maaf, Ma. Tadi belanja dulu. Isi kulkas habis," jawab Dinda mencoba menyejukkan tampilan wajahnya meski hatinya mengkerut saat ini.Tubuhnya mungkin ada di hadapan Reni, tapi pikiran masih tinggal di restoran itu. Bertanya-tanya apakah mereka sudah bubar atau masih berbincang dengan tawa yang menimbulkan denyut sakit di hatinya.Selama beberapa hari ini, wajah yang ditampilkan Dewa selalu muram dan terlihat tertekan, berbeda dengan yang tadi dilihat Dinda. Apa dia sudah membuat hidup Dewa menderita karena permintaan Leon?"Din, kamu dengar gak?"Panggilan Reni membuat Dinda tersentak. Lamunannya seketika buyar."Iya, Ma?""Kamu kenapa? Kok melamun? Apa ada masalah? Kamu sama Dewa baik-baik aja, kan?"Serangan serangkaian pertanyaan itu membuat Dinda gelagapan. Apa mereka baik-baik saja? Tentu saja baik-baik. Tidak ada pertengkaran dan Dewa masih pulang setiap hari ke rumah. J
Pikiran Dinda kacau. Melakukan apapun tidak bersemangat. Hari ini tanggal merah di kalender. Semua orang berkumpul di rumah. Dia sengaja menenggelamkan dirinya di dapur, memasak banyak jenis makanan, asal dia tidak perlu berdekatan dengan Dewa.Anak dan suaminya sedang bermain play station di ruang tengah. Sementara Diana sedang arisan lingkungan. Jadi, Dinda tidak punya pilihan lain selain mengurung diri di dapur saja.Dinda marah!Wajar saja. Istri mana yang tidak akan marah ketika mengetahui suaminya bersama wanita lain di luar sana. Kalau memang tidak ada apa-apa diantara mereka, kenapa dia tidak cerita apapun padanya. Padahal, sebelum menikah, Dewa mengatakan kalau mereka harus saling jujur. Landasan utama rumah tangga mereka adalah kejujuran. Mana buktinya?"Kamu sedang apa?" tangan kekar melingkar di pinggang Dinda, membuatnya tersentak dari lamunan panjang. Jantungnya berdebar cepat. Antara rasa panik dan kesal. Jangan sampai Dewa melihat wajahnya seperti ini, pasti akan menim
Meski sikap Dewa masih sama, tapi sejak dua malam lalu Dinda menangkap basah pria itu sudah bersikap aneh, Dinda memutuskan kalau dugaannya selama ini benar. Ingin berontak, tapi kenapa rasanya belum siap?Mereka sudah kembali ke rumah mereka. Semua itu atas desakan Diana terhadap Dinda. Semua itu Diana lakukan untuk menyelamatkan rumah tangga putrinya.Sudah hal biasa dalam biduk rumah tangga adanya perselisihan dan berakhir dengan pertengkaran. Namun, pertengkaran Dewa dan Dinda untuk pertama kali sejak berumah tangga beberapa hari lalu, membuat Diana mulai menasehati Dinda dengan tegas."Ajaklah suamimu untuk kembali tinggal di rumah kalian," nasehat Diana setelah Dewa pergi keluar rumah membawa amarahnya.Pria itu memilih untuk menenangkan diri ke luar, dari pada pertengkaran mereka semakin meluas. Masalahnya sepele. Dewa pulang malam dan lupa memberitahukan pada Dinda tentang rapat dengan kliennya. Dinda yang sudah dibayangi pikiran jelek pada Dewa dan Helen mengabaikan pria itu.
Jangankan Dinda dan yang lainnya, Dewa juga ikutan kaget dibuat Helen. Pria itu jadi merasa serba salah, terlebih pada Rizal. Bayangan saja, apa yang akan dipikirkan sahabatnya itu?Dewa juga tidak habis pikir, bagaimana mungkin Helen menginginkan dirinya yang memberikan nama pada anak mereka? Bukankah Dewa adalah orang lain? Seharusnya yang memberikan nama adalah keluarga inti, kalau bukan orang tua dari mereka berdua, ya dari Rizal."Suatu kehormatan kalau kamu memintaku memberikan nama pada bayi ini, tapi maaf, Helen, aku juga gak tahu mau kasih nama siapa. Harusnya Rizal atau Om dan Tante," jawab Dewa melihat satu persatu orang yang ada di di ruangan itu. Dewa bisa menangkap raut wajah kecewa dan tidak suka dari Rizal. Tentu saja harga dirinya tercoreng melihat sikap Helen yang sama sekali tidak menghargai dirinya di depan keluarga."Biar Tante yang gendong," Suci mengambil bayi mungil dari dekapan Dewa. Anak itu tertidur nyenyak, setelah perutnya terisi ASI.Dewa mengambil tempat
"Aku benar-benar gak ada hubungan apa-apa dengan Helen. Kenapa kamu bisa berpikir aku menjalin hubungan dengannya, sementara aku memilih bercerai dengannya karena sudah tidak punya perasaan lagi padanya!"Dinda diam. Penjelasan Dewa masuk akal juga, tapi semua yang dia lihat? Pertemuan rahasia dan kenapa Dewa bela-belain mendatangi Helen malam-malam dan saat hujan turun?Dinda duduk di tepi ranjang. Dia masih ogah bicara dengan Dewa. Kenapa rasanya sakit, ya? Dia pikir alasan Dewa bercerai dengan Helen dan menikahinya karena mencintainya."Din, percaya padaku. Sampai kapanpun, aku gak mungkin main gila dengan wanita lain!""Terus kenapa harus bohong? Kenapa gak langsung bilang, kalau sempat singgah ke rumah Helen?" Nada suara Dinda naik. Semakin dalam dia menimbang kalau Dewa tidak mencintainya, semakin kesal dan sakit hatinya pada pria itu.Kenapa dia harus jatuh cinta pada pria itu sementara Dewa tidak sebaliknya. Apa sedikitpun tidak ada cinta di hati Dewa untuknya?"Saat aku di J
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me