Apa yang seharusnya tidak terjadi, akhirnya terjadi, tidak sengaja, dan juga tidak terelakkan. Malam itu Helen melebur dalam khilaf nya. Kesedihan yang mendorong hal itu terjadi. Malam panasnya dengan Rizal dilakukannya tanpa sadar. Ketika pagi menyambut mentari, bola mata Helen perlahan terbuka. Wanita itu memindai ruangan, memijat lembut keningnya yang terasa sakit."Aku dimana ini," lirihnya. Suaranya tercekat, kerongkongan dan mulutnya kering. Perlahan dia coba mengingat, saat tersadar ada beban di atas perutnya, memori wanita itu membawa pada kenyataan pahit.Wajahnya memucat sesaat setelah menoleh ke samping. 'Ini gak mungkin. Kenapa aku bisa tidur bersama Rizal?' batinnya memandangi wajah Rizal yang masih terlelap di sampingnya. Tubuh Rizal yang tanpa baju membuat Helen bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah terjadi diantara mereka.Hati-hati sekali, Helen memindahkan tangan Rizal, jangan sampai pria itu terbangun. Dia belum siap untuk memaki Rizal atas apa yang sudah ter
Seseorang yang tidak biasa melakukan dosa, sekali jatuh ke lubang nista, pasti tidak akan merasa tenang. Begitupun dengan Helen. Dia sudah tiba di rumahnya, Rizal yang mengantar sehabis dari hotel.Selama di perjalanan mereka hanya diam. Rizal ingin membahas yang terjadi pada mereka semalam, tapi Helen tampak tidak ingin membicarakannya, bahkan sepanjang jalan buang muka ke sisi berlawanan.Sesampainya di rumah, Helen menangis menjerit, melempar dan memecahkan barang-barang yang ada di dekatnya.Helen mengunci diri di kamarnya hingga sore. Melewatkan makan siang dan mandi sorenya. Lelah menangis dia pun tertidur dengan tangan masih mencengkram seprei. Ketukan di pintu berulang-ulang, membuatnya terjaga."Siapa?" tanya Helen serak. Suaranya hampir habis karena sejak tadi menangis dan menjerit."Maaf, Bu, tadi Bapak pesan, kalau Ibu sudah pulang, diminta bersiap-siap menghadiri acara jamuan nanti malam. Akan ada sopir yang menjemput Ibu," ucap Bi Inah dari balik pintu. Wanita masih engg
Helen berusaha sekuat mungkin untuk bisa bersikap biasa di depan Rizal, menganggap seolah tidak terjadi apapun diantara mereka."Helen, kamu masih ingat dengan Rizal? Dia sahabatku yang selama ini tinggal di luar negri. Kini dia sudah kembali dan mau belajar bisnis, buka perusahaan sendiri," terang Dewa ketika mereka bertiga sudah saling berhadapan.Hanya anggukan yang diberikan Helen. Dia tidak ingin terlalu banyak berinteraksi dengan Rizal."Helen, apa kabarmu? Kamu baik-baik saja?" tanya Rizal menatap wajah Helen yang pucat. Dia merasa khawatir pada gadis itu sejak perpisahan mereka terakhir."Baik. Hanya sedikit pusing. Dewa, apa kita bisa pulang sekarang? Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Tapi, kalau kamu memang masih mau di sini, aku bisa pulang duluan dengan sopir.""Kalau gak, biar aku yang antar Helen, Dewa," sambar Rizal membuat bola mata Helen membola padanya. Apa maksud pria itu berkata seperti itu, apa dia ingin Dewa curiga padanya?"Gak perlu. Aku yang akan menganta
Bukan hanya Reni, Diana juga sama terkejutnya melihat tamu yang sejak tadi mereka tunggu ternyata Reni, wanita yang datang bersama mantunya untuk meminta Leon.Keempatnya duduk saling berhadapan, diam tanpa ada yang berusaha memulai obrolan. Dinda yang melihat hal itu menganggap kalau ibunya hanya gugup hingga kehilangan kata-kata. Diana sejak tadi mengatakan kalau dirinya gugup, menunggu kedatangan ibu Naka. Wanita itu takut setelah mereka berharap akan hubungan ini, keluarga Naka kembali tidak setuju. Ternyata, inilah arti perasaan tidak enaknya tadi."Tante, terima kasih sudah menerima kami datang. Mama sangat bersemangat untuk bertemu dengan Tante sekaligus ingin membicarakan soal rencana pernikahan kami," ucap Naka memecah keheningan.Dinda pun ikut memberi pandangan pada ibunya lalu berganti pada Reni. Dia bingung kenapa kedua wanita paruh baya itu tidak saling sapa, seolah diantara mereka punya satu cerita yang tidak mengenakkan."Tante juga terkejut. Maaf kalau sejak tadi Tant
Keluarga Diraja benar-benar sibuk seminggu ini, guna menyiapkan acara pernikahan Naka dan Dinda. Helen dengan gembira ikut membantu, sementara Dewa, sudah bisa ditebak tidak peduli.Dewa lebih banyak menghabiskan waktunya seorang diri, jauh dari keluarga. Dia tidak ingin tahu soal pernikahan adiknya. Hatinya masih sakit dan pasti akan semakin sakit jika harus terlibat dan bertemu dengan Dinda.Sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertemu dengan Dinda. Gadis itu sudah mengirimkan surat pengunduran dirinya dan menitipkan pada Nita. "Kamu berhenti? Kok tiba-tiba?" tanya Nita dengan kening berkerut. Padahal baru Jumat kemarin Dinda menyiapkan berkas untuk meeting dengan perusahaan Jepang yang mengajak Dewa kerja sama."Iya. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan itu menyita hampir seluruh waktuku," jawab Dinda sembari tersenyum kecil.Anita tidak mengatakan apapun lagi. Dia memeluk Dinda. Meski dari awal Dinda bekerja di perusahaan itu Nita tidak langsung menyukai Dinda, tapi pada akh
Acara akan dimulai jam 10 pagi. Dinda sedang dirias di salah satu kamar di hotel yang tidak jauh dari gedung tempat mereka akan melangsungkan pernikahan. "Kenapa kamu ngeliatin Mama kayak gitu?" tanya Dinda tersenyum lembut pada Leon. Anak itu sudah rapi, tampan lagi dengan menggunakan stelan tuxedo."Bunda cantik," jawab Leon balas tersenyum. Dinda begitu gembira, anaknya memberi izin dirinya untuk menikah lagi. Terlebih saat mengetahui kalau Naka lah yang akan menjadi ayahnya.Biasanya, anak tidak akan suka kalau ibunya menikah, karena takut akan tersisih dan tak dicintai lagi. "Apa semua sudah siap?" Tanya Diana yang juga sudah siap dengan riasan dan pakaiannya. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun berwarna putih gading.Dinda mengangguk. Kembali jantungnya berdebar kencang. Semakin dekat ke ballroom hotel, semakin jantungnya terasa copot.Rombong Dinda sudah masuk ke dalam mobil dan segera bergerak menuju gedung. Dinda, Diana dan Leon bersama satu asisten Dinda, naik limosin y
Dinda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi Leon. Dewa bersedia mendonorkan darahnya untuk Leon. Pria itu tampaknya belum keluar dari ruangan tempat diambil darahnya."Din, kamu duduk. Tenang ya, Leon pasti dapat diselamatkan," ucap Helen mengajak Dinda duduk.Wanita itu menurut. Dia juga lelah, tapi tidak akan tenang sebelum mendengar dari dokter keadaan Leon.Tak lama Dewa muncul sambil memegang lengannya yang disumpal dengan kapas. Dia melirik sekilas ke arah Dinda yang sedang dirangkul oleh Naka. Dinda yang juga tengah melihatnya, ingin bangkit mengucapkan terima kasih, tapi melihat Dewa segera berlalu, dia membatalkan niatnya. Pria itu berjalan ke arah ayah dan mertuanya lalu duduk dengan mereka."Bagaimana keadaanmu?" Reni ikut mendatangi Dewa. Sedikit banyak dia khawatir pada anaknya itu. Awalnya dia bilang tidak enak badan makanya tidak bisa menghadiri pernikahan Naka dan Dinda."Aku baik, Ma. Lebih baik Mama temani Dinda, mungkin dia butuh sesuatu. Kelihatan lelah, bilan
Dinda sudah siuman setelah disuntik vitamin. Dia kelelahan hingga jatuh pingsan. Syukurlah, setelah kembali siuman, dokter juga memberikan kabar gembira pada mereka, bahwa operasi Leon sudah berhasil.Tak terbendung rasa gembira yang dirasakan Dinda. Wanita itu terus berdiri di depan ruangan Leon sampai dokter mengizinkannya untuk masuk dan melihat anaknya."Apa kami sudah bisa masuk dokter kami ingin melihat Leon," ucap Diana merangkul pundak Dinda, menjaga agar putrinya itu tidak kembali jatuh pingsan. Dokter yang baru saja keluar mengangguk sembari tersenyum. Dia juga merasa senang untuk keluarga itu karena sudah berhasil menyelamatkan Leon."Keluarga sudah boleh masuk dan melihat Leon, namun saya mohon agar bergantian hanya 2-3 orang saja yang boleh masuk ke dalam ruangan Saat ini Leon belum siuman, tapi sudah bisa dijenguk, tapi tolong jangan mengajaknya terlalu banyak bicara agar sakit di kepalanya tidak menyentak. Dia bisa mendengar, tapi masih sulit mencerna perkataan lawan bi
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me