"Kamu bukannya sekretaris Dewa? tegur Rizal saat tanpa sengaja bertemu Dinda di sebuah toko buku. Besok wanita itu akan pulang, jadi dia mampir ke toko buku, membeli beberapa buku yang dipesan ibunya, untuk keperluan sekolah.Mereka yang memang tinggal di pinggiran kota kesulitan jika harus mencari di sekitar daerah mereka.Dinda memicingkan mata, memperhatikan Rizal dengan seksama. Rasanya, dia memang pernah bertemu pria itu, tapi lupa dimana."Kamu lupa padaku? Aku Rizal, teman Dewa. Kita pernah ketemu di ruangan Dewa.""Oh, maaf, Pak..Saya benar-benar lupa. Bapak apa kabar? Lagi baru buku juga?" tanya Dinda basa basi."Iya, nih," ucapnya sembari mengangkat buku tebal yang ada di tangannya. Dinda sempat membaca, kiat sukses bagi pemula untuk berkecimpung di dunia bisnis."Wah, berat banget bacaannya, Pak," jawab Dinda tersenyum ramah. Meski Rizal terlihat ramah padanya, tapi entah mengapa sorot tajam pria itu terlihat begitu ingin mengulitinya. Jujur, Dinda merasa tidak nyaman."Bai
"Anda salah sangka, Pak. Saya bukan wanita seperti yang Anda tuduhkan!" seru Dinda meremas sisi roknya di bawah meja. Ketakutan, sudah pasti, tapi dia harus berani menghadapi Rizal. "Begitukah? Jadi aku salah? Lantas kenapa kamu gugup? pupil matanya menjelaskan ketakutan yang tersimpan. Riak wajahmu juga sudah menjelaskan kalau kamu takut rahasiamu terbongkar!""Maaf, sebaiknya saya pergi. Saya tidak ingin mendengar ucapan Bapak yang memojokkan saya." Dinda berdiri, bergegas meninggalkan tempat itu. Namun, tampaknya Rizal masih belum puas mengobrak-abrik ketenangan Dinda. Pria itu segera menahan langkahnya dengan memegangi pergelangan tangan Dinda."Meski kamu gak mengakui sekarang, tapi aku akan mencari bukti kalau ucapan ku benar. Kamu wanita gak punya perasaan. Padahal Helen begitu baik padamu, menganggapmu seperti sahabat, tapi ternyata kamu menusuknya dari belakang!""Lepaskan saya, Pak.""Aku akan lepaskan, tapi ingat, kalau kamu berani buka mengatakan tentang pertemuan ini pa
"Kesini kamu!" Dewa menyeret Dinda menjauh dari anggota keluarga. Dia masih belum percaya atas pengumuman yang barusan dikatakan ibunya.Dewa dan Helen diminta datang malam ini ke kediaman ayah dan ibunya, dia pikir ingin membahas rencana liburan akhir tahun nanti, tapi ternyata justru membahas perihal acara lamaran Naka."Pak, tangan saya sakit. Tolong lepasin.""Nanti kamu akan mendapatkan rasa sakit yang lebih dari ini, aku pastikan hal itu terjadi!"Dinda bergidik ngeri, sorot mata Dewa sangat menakutkan kalau sedang marah."Sekarang katakan, apa maksud semua ini?""Maksudnya?""Kamu gak usah pura-pura bego! Kenapa kamu mau bertunangan dengan Naka?""I-itu... Awuu... Sakit, Pak," rintih Dinda memelas, mencoba menarik tangannya tapi gagal, terlalu kuat tenaga pria itu."Kamu harus membatalkan niat menikahi Naka! Apa kamu sudah gila? Kamu lupa kamu siapa? Apa setelah denganku, kamu juga mau tidur dengan adik ku?"Pipi Dinda panas. Ucapan Dewa sama saja menghinanya, mengatakan diriny
Sudah lebih setengah jam Dewa menunggu di sekitar kosan Dinda. Dengan alasan ingin bertemu Rizal, Dewa pulang lebih dulu dari acara itu setelah mengirim pesan pada Dinda, kalau dia menunggu gadis itu di depan kosannya.Tak lama, mobil yang membawa Dinda pulang muncul. Mobil Naka. Setelah keributan di rumah karena status Dinda janda anak satu, Naka membawa Dinda pergi dari sana.Mobil berhenti tepat di depan pagar yang menjulang tinggi. Naka melirik Dinda. Sejak tadi gadis itu hanya diam saja. Mungkin sakit hati atas ucapan Soraya yang menghinanya."Din, kamu baik-baik aja, kan?" Ada kecemasan dalam nada suara Naka. Dia takut kalau karena perdebatan tadi, Dinda jadi menolak menikah dengannya."Aku baik. Aku masuk dulu, kamu langsung pulang. Udah malam."Naka menarik tangan Dinda erat, mencium punggung tangan gadis itu. Menumpukan setiap harapannya pada Dinda."Aku pulang, Din. Aku mohon jangan pernah meninggalkanku."Dinda tersentuh dengan ucapan Naka, sedikitpun dia tidak pernah merag
"Kenapa ibu kasih izin?" tanya Dinda yang mengusap wajahnya dengan tangan. Siang ini dia mendapat telepon dari Diana, memberitahu kalau Leon dibawa pergi oleh seorang wanita yang suka memberikan hadiah padanya. Diana hanya kenal wajah, parahnya lupa nama wanita itu.Diana terdiam. Wajar kalau Dinda marah. Mana ada yang memberikan izin anak pergi dengan orang yang tidak dikenal, meski sudah pernah bertamu ke rumah. Yang buat Dinda semakin terkejut, wanita itu sudah membawa Leon ke rumahnya."Ibu minta maaf, Dinda. Leon dua hari ini demam, begitu wanita itu datang dan mengajaknya pergi, Leon jadi bersemangat," terang Diana, bukan untuk bermaksud membela diri."Ibu, itu gak bisa dijadikan alasan. Aku minta maaf kalau harus bicara keras pada ibu, tapi aku mohon, jangan lagi izinkan Leon pergi, siapapun yang mengajak. Kalau begini, aku jadi gak konsen bekerja, Bu."Diana hanya menjawab kecil. Perkataan iya nya bahkan tidak jelas didengar Dinda.***Sementara di tempat lain, wanita yang dib
Tidak ada yang paling membuat hati seorang ibu hancur saat mendengar kalau anaknya, anak yang paling dia banggakan tidak akan mampu punya anak lagi.Reni bahkan sampai meneteskan airmata nya kala mendengar penuturan Helen. Kedua wanita menangis sambil menggenggam tangan."Kenapa kalian menangis?" tanya Leon yang sudah berdiri di depan mereka.Keduanya melepas pegangan, menghapus air mata dan mencoba tersenyum pada Leon. Helen menarik tangan Leon, membuatnya duduk di antara mereka."Terima kasih, Sayang, karena sudah mau menemani Tante Helen. Oma boleh memelukmu?"Leon yang tampak bingung hanya bisa mengangguk pasrah. Keduanya pun sepakat untuk membawa Leon jalan-jalan lagi. Setelah Reni mendengar keadaan Leon, wanita itu merasa Helen ada benar nya juga. Mungkin mereka bisa bicara dengan keluarga Leon dan mengatakan niat mereka.Pukul delapan malam, Helen mengantar Leon pulang, kali ini Reni ikut dengannya. Dia ingin melihat sendiri kondisi Leon dan berbincang dengan keluarganya."Maaf
"Terima kasih sudah mau menemani. Aku gak tahu harus cerita pada siapa," ucap Helen menunduk sedih. Kemarin malam dia ribut lagi dengan Dewa. Setelah pulang dari mengantar Leon dengan kesedihan besar karena Diana memintanya untuk menjaga jarak dengan Leon, Helen harus menemukan kenyataan pahit kalau dalam kantong celana Dewa ada sebuah karet pengaman.Hati Helen rasanya hancur berkeping-keping. Selama ini dia tidak berhubungan dengan Dewa hanya karena pria itu katanya sedang dalam proses pengobatan bersama dokter yang dia pilih sendiri.Helen bersabar dalam kesepian dan juga kekeringannya, tapi apa balasannya? Dewa justru bermain gila dengan wanita lain!Kalau bukan untuk berhubungan dengan wanita lain, lantas untuk apa dia mengantongi pengaman? Selama ini mereka bercinta tidak pernah menggunakannya."Jelaskan ini padaku!" Dewa melempar bungkusan berwarna hitam dengan model sepasang kekasih di depannya pada dada Dewa saat pria itu keluar dari kamar mandi.Air mata membasahi pipi Hele
Apa yang seharusnya tidak terjadi, akhirnya terjadi, tidak sengaja, dan juga tidak terelakkan. Malam itu Helen melebur dalam khilaf nya. Kesedihan yang mendorong hal itu terjadi. Malam panasnya dengan Rizal dilakukannya tanpa sadar. Ketika pagi menyambut mentari, bola mata Helen perlahan terbuka. Wanita itu memindai ruangan, memijat lembut keningnya yang terasa sakit."Aku dimana ini," lirihnya. Suaranya tercekat, kerongkongan dan mulutnya kering. Perlahan dia coba mengingat, saat tersadar ada beban di atas perutnya, memori wanita itu membawa pada kenyataan pahit.Wajahnya memucat sesaat setelah menoleh ke samping. 'Ini gak mungkin. Kenapa aku bisa tidur bersama Rizal?' batinnya memandangi wajah Rizal yang masih terlelap di sampingnya. Tubuh Rizal yang tanpa baju membuat Helen bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah terjadi diantara mereka.Hati-hati sekali, Helen memindahkan tangan Rizal, jangan sampai pria itu terbangun. Dia belum siap untuk memaki Rizal atas apa yang sudah ter
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me