"Saya bikinkan resep untuk Nona Septa dulu.”“Gak usah, Dokter. Dia trauma minum obat. Kalo ada yang berupa suntik, bisa dilakukan,”ucap Arga dengan tangan masih mengetuk-ngetuk pintu toilet.“Hanya ada vitamin yang bisa disuntikkan, Tuan. Yang lain secara oral. Pemeriksaan belum selesai. Tolong nanti sample urin dan cairan muntah taruh ini,”ucap Dokter Sebastian sambil menyodorkan dua buah botol kecil ke air.Arga menerima kedua botol. Dokter Sebastian berpamitan untuk kembali bertugas ke rumah sakit.“Saya antar ke tempat kerja Dokter atau langsung ke laboratorium rumah sakit?” tanya Arga.“Langsung ke laboratorium saja. Oh, ya, maaf. Surat rujukan ini dibawa saat ke laboratorium. Saya permisi, Pak. Semoga Nona Septa lekas membaik,” balas Dokter Sebastian sambil mengulurkan amplop putih berlogo tempat prakteknya.“Terima kasih, Dokter. Maaf, saya gak bisa antar sampe bawah.”“Gak apa, Tuan Arga. Selamat pagi.”“Selamat pagi, Dokter.”Pria berjas putih tersebut berlalu. Septa sudah ti
Septa segera menghubungi sopir untuk mengantar mereka ke rumah sakit. Sedang Pak Dokter berangkat terlebih dahulu. Mereka akan bertemu di rumah sakit. Sepuluh menit dari kepergian Pak Dokter, mobil jemputan telah datang.Arga hanya diam saja, meski melangkah berdampingan dengan Septa. Mereka bagai dua orang asing yang baru bertemu. Septa semakin menangis terisak-isak diperlakukan seperti ini oleh calon suaminya.“Saya," ucap Arga sembari celingukan. "Ya, duduk di depan saja." Tampak raut wajah kecewa Arga sembari membuka pintu. Ia langsung naik ke mobil di kursi dekat sopir.Septa seketika salah tingkah karenanya. Padahal sedari tadi, tangannya telah membuka pintu tengah untuk Arga. Pak Sopir yang melihat ekspresi jengkel di raut wajah Septa, ikut merasa prihatin.“Septa ke mana, ya?” tanya Arga yang tentu saja membuat kedua orang di dalam mobil jadi keheranan. Namun, Septa mencoba paham akan hal itu “Pak, Non Septa dari tadi bersama Bapak. Tuh ada di belakang,” ucap Pak Sopir mengha
“Maaf, Bu. Sudah ada pihak keluarga yang menunggu di dalam.”“Bagaimanapun, saya keluarga inti. Mana ada keluarga pasien di sini selain saya? Siapa dia?”“Pasien merasa nyaman dengan dia. Itu yang utama. Agar mempercepat proses penyembuhan.”“Ya udah. Terima kasih.”“Terima kasih kembali, Bu. Selamat siang.”Wanita ini adalah Mama Sarah—ibu tiri Arga—melengos lalumelangkah ke tempat tunggu dan duduk di salah satu kursi. Raut wajahnya tampak kesal.Wanita dengan rambut dicepol memakai baju terusan motif bunga sakura berbalut blazer warna merah maron segera melakukan panggilantelepon.Wanita ini terlihat semakin sewot karena nomor yang dihubungi sedang tak aktif meski telah dilakukan panggilan beberapa kali.“Maksudnya Arga ini gimana? Udah disempetin besuk. Ponsel gak aktif. Sengaja tak mau terhubung dengan keluarga lagi.”“Maaf, Bu. Pasien atas nama Bapak Arga memang tidak diperkenankan untuk memakai ponsel selama masa perawatan. Semoga bisa dimaklumin. Terima kasih,” jelas bagian inf
"Udah main rahasia-rahasiaangini. Mending Bibik pulang saja,” ujar Bibik tiba-tiba sambil tersenyum ke arahdua sejoli.“Bukan rahasia, kok, Bik. Nanti aku ceritain ke Bibik,” ucap Septa yang sukses mematik rasa penasaranArga.“Kamu ngomong apa?”Cuma ngomong kalo kamu akan segera sembuh. Gak usah khawatir, Sayang.Kemudian, Septa menyodorkan tulisan tersebut kepada Arga. Namun, sang pria masih saja tidak percaya.“Jujur!”Septa pun tak bisa menyembunyikan rasa gelinya dan hal itu membuat Bibik ikut tertawa. Arga yang melihat kedua orang dekat tertawa tanpa tahu penyebab karena gangguan pendengarannya segera melotot tidak terima.“Susah, Bik, ngomong dengan orang yang sombong telinganya,” ucap Septa dan semakin membuat Bibik tertawa lebar.Arga yang tampak tidak terima lalu mengetik sebuah pesan dan dikirimkan ke salah satu nomor kontak.“Liat aja kalian nanti saat akubbisa mendengar kembali,” ucap Arga sembari menatap ke arah Septa dan Bibik bergantian.Septa yang mendengar ucapan san
“Kenapa gak diangkat?”“Bisa jadi wanita itu, sengaja pinjam ponsel Papa. Dia tau, aku tak akan mau menerima telepon dari dia.”“Coba angkat aja! Siapa tau, memang papa Bos..”“Enggak mungkin. Papa sekarang lagi pemulihan dan tak diperbolehkan berhubungan dengan alat yang mengandung gelombang elektromagnetik.”“Kok kamu tau, Bos?”“Aku selalu berkomunikasi dengan dokter yang merawatnya. Oh, ya. Rekaman CCTV udah dikirim ke email?”“Udah semalam kata Pak Satpam. Coba aja cek email.”Arga segera mengambil ponsel lalu membuka email. Benar saja ada email masuk dari pos sekuriti. Pria berdarah latin ini membuka video terlampir. Matanya mengamati dengan saksama tayangan video.“Sebaiknya pake laptop aja. Biar tampilan lebih lebar.”“Boleh.”Septa segera mengambil laptop dari tas lalu meletakkan di atas pembaringan. Arga bergeser memberi ruang untuk Septa ikut duduk. Sang pria menghubungkan bluetooth kedua perangkat lalu mengirim video ke laptop.Kini di layar laptop terpampang jelas, rekaman
“Ya, karena kamu yang membuatku gila. Obatnya hanya ada di kamu.”“Gombal. Kebanyakan modus,” ucap Septa segera memeluk sang kekasih erat-erat.Dalam hatinya sangat bersyukur karena Arga tak mengalami cidera berat. Ia sempat syok melihat keadaan Arga yang kesakitan di bagian telinga. Hal tersebut telah berakibat pria tersebut tak bisa mendengar suara apa pun.Septa membayangkan, betapa malang pria yang sudah tak bisa mengenali wajah dan harus mengalami gangguan pendengaran. Tiba-tiba terdengar dering ponsel Arga di atas meja. Sapta membantu mengambilnya lalu memberikan kepada sang kekasih. Pria berdarah Latin ini segera menjawab panggilan masuk dan terpaksa dispeaker demi kesehatan“Selamat siang!”“Selamat siang, Pak. Saya ingin memberitahukan bahwa ada seorang anak mengaku sebagai pemilik drone dan minta maaf. Dia mau mengambil drone kembali.”Suara sekuriti di rumah terdengar jelas dari ponsel.“Tolong kasih tahu padanya, suruh ke kantor polisi dengan orang tua. Drone telah mencela
Septa sibuk berpikir sembari mengamati remaja laki-laki di dekatnya. Tampaknya seorang anak yang lugu dan pekerja keras karena di dalam kaleng telah terkumpul banyak recehan koin dan beberapa lembar uang kertas.“Namamu siapa, Dek?”“Galang, Kak.”“Baik, Galang. Nanti ikut Kakak ke rumah sakit dan di sana, kamu nyanyi di depan bos Kakak. Tiap satu lagu harganya 100 ribu. Setuju?”“Setuju, Kak. Alhamdulillah,” ucap Galang sembari mengusap raut wajah. Tampak kedua matanya berbinar-binar.Septa melihat tak ada kenakalan yang terpancar dari sorot wajah remaja usia belasan di sampingnya. Wanita muda ini berpikir ada sesuatu yang membuat Galang terpaksa melakukan hal ceroboh kemarin. Dari raut wajah, ia tampak seorang anak yang cerdas.“Kamu gak sekolah?” tanya Septa berusaha mengorek keterangan sedikit agar sang remaja tak curiga.“Berhenti sementara, Kak.”“Loh, kenapa?”“Cari duit dulu buat pengobatan Bapak.”“Sakit?”“Jatuh dari atap saat kerja.”“Kecelakaan?”Remaja ini pun mengangguk
"Udah, gak papa! Bapak cuma terbentur dikit. Kamu mau kerja dengan Bapak, kan?”Galang duduk kembali sembari mengusap mata dengan ujung kaus.“Siap, Pak! Saya akan kerja sebaik mungkin.”Arga dan Septa tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku remaja tanggung tersebut. Sampai waktunya Galang harus pulang.Remaja belasan tahun ini berpamitan kepada calon kedua majikan barunya. Arga segera merogoh dompet di laci lalu ia mengambil lima lembar uang merah.“Ini bayaran kamu menyanyi tadi,” ucap Arga seraya mengulurkan uang tersebut.“Banyak banget. Saya hanya menyanyi tiga lagu, Pak,”ucap Galang mengembalikan dua lembar uang.“Itu bonus karena kamu telah bernyanyi dengan baik.”“Terima kasih banyak, Pak,”balas remaja tersebut sembari mencium tangan Arga.Septa mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas lalumengurai genggaman Galang. Tangan remaja yang masih syok telah diperlakukan istimewa ini ditengadahkan oleh Septa lalu ditaruhlah amplop cokelat di atasnya.“Ini bantuan dari ka
Ting! Terdengar notif pesan diterima.[Oke. Aku siapkan semua. Kamu siap-siap di depan. Hitungan menit saja, kita bisa pergi dari sana.][Terima kasih, Bang.]Pesan terkirim dan Septa buru-buru menghapus semua percakapan. Clear. Sebuah senyum manis menghias bibir Septa. Hatinya bisa sedikit tentram sekarang. Dia tidak tahu rencana apa yang telah disusun oleh Ardan.Namun, dia butuh segera keluar dari kantor polisi ini. Perilaku bar-bar wartawan membuatnya semakin tertekan. Yang dia butuhkan sekarang adalah segera bisa keluar dari sini. Otak dan hatinya ingin segera disegarkan dan hanya dia yang tahu caranya.Satu jam kemudian Ardan mengajak Septa untuk keluar menuju lobby kantor. Tentu saja, wanita ini menolaknya mentah-mentah karena belum ada kabar dari Ronald. Ardan yang melihat Septa dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya memegang kedua bahu wanita tercinta."Kamu akan lihat gimana caranya agar para wartawan bisa pergi dari sini,"ucap Ardan dengan menatap Septa."Maksudnya apa?"tanya S
Ardan berusaha untuk menahan diri. Bagaimanapun, dirinya harus bersikap bijak dalam menghadapi wartawan. Dia paham taktik para pencari berita dengan cara menyulut emosi narasumber. Pada saat narasinya semakin emosi dalam meladeni pertanyaan wartawan dan biasanya dia tanpa sadar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu dipublikasikan. Di saat itulah para pencari berita mereka semua ucapan yang terlontar dari mulut narasumber. Ucapan dalam keadaan marah tersebut akhirnya tertuang pada ketikan mereka. Begitu berita jadi viral dibicarakan dalam masyarakat, otomatis kelanjutan beritanya akan terus dicari-cari. Hal ini mendongkrak penjualan bagi lapak atau platform penyedia layanan informasi online maupun offline. Para wartawan dapat keuntungan bonus dan juga promosi jabatan. Narasumber yang baru sadar akan kekhilafannya akan segera memberikan ultimatum terhadap para wartawan bahkan sibuk membuat siaran pers untuk klarifikasi. Tindakan itu bahkan menjadikan berita semakin dicari dan
Septa lalu melirik pada sebuah nakas di sebelah ranjang. Hmm, siapa yang taruh meja minimalis ini?Kamar Septa dan isinya selalu berwarna putih dan tidak pernah ada warna-warna monokrom seperti ini. Apalagi keberadaan sebuah meja kecil berbahan rotan. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah ke pinggang.Ada beban berat yang membebani area tersebut sejak dirinya bangun. Itu ternyata berasal dari lengan cokelat yang membelitnya. Kepala wanita berparas ayu ini langsung menoleh ke sebelahnya. Ada seorang lelaki sedang tidur lelap.Whaatt? Apa-apaan ini?!Lengan kuat eksotis. Lelaki asing dengan bagian atas tanpa penutup. Tarikan napas teratur. Septa seketika tercekat. Dia pun jadi berpikir yang tidak-tidak. Wanita ini sibuk memutar memori otak. Akhirnya satu kesimpulan diambil ....Septa tundukkan kepala lalu mengintip tubuhnya di balik selimut. Dia langsung syok antara kenyataan atau halusinasi.Kepalaku pengar. Apa yang aku minum tadi? Jadi setengah mimpi begini, keluhnya dalam hati.
"Syukurlah. Kasian Manda gak tau apa-apa soal mafia, jadi korban.""Tyson sampai hari ini belum bisa dipantau," ungkap Ardan. "Dia ini terkenal kejam dan licik dibandingkan Tuan Edzard dan William. Diduga dia ada di balik pengambilan organ dalam para pasien rumah sakit.""Padahal kurang sebulan lagi, Manda dan Tyson menikah. Kenyataannya kini, mereka jadi terlibat urusan mafia tiada berujung," ucap Septa penuh sesal. "Aku punya ide biar bisa tangkap Tyson.""Apa itu?"tanya Ardan penasaran."Kita suruh orang lain untuk jaga Manda. Tyson itu sebenarnya cinta banget sama Manda. Dia lakuin ini pasti karena sakit hati, Manda akan dinikahi Tuan Edzard."Ardan menaikkan kedua alis. Pria ini sedang berpikir sejenak lalu bertanya,"Maksudnya gimana?""Amanda dijaga orang lain, biar Tyson merasa aman untuk mendekatinya. Kita pantau mereka dari kejauhan dan tentu saja ada dokter serta perawat yang bisa kita ajak bekerja sama.""Bagus ide kamu, Sayang. Kita realisasikan," balas Ardan dan langsung
"Ah, akhirnya, semua aman. Saatnya kita pulang," ucap Ardan sambil meluruskan badan. Septa memijat pelan punggung kekasihnya. "Nanti di rumah aku pijatin sekujur badan.""Septa, perutku sakit sekali. Ada yang kosong di bagian perut kiri. Di situ timbul rasa sakit,"keluh Amanda dengan mendesis kesakitan."Jangan-jangan, ...." Ucapan Ardan tidak dilanjutkan karena keburu ada panggilan telepon."Halo, ada apa?"tanya Ardan kepada seseorang di ujung telepon."Pak, ada info, dokter yang menangani Nona Amanda adalah bagian dari komplotan pasar gelap.""Kamu kata siapa?""Ada seorang pria tua bikin laporan. Anaknya setelah operasi besar. Ginjalnya hilang satu.""Oke, terima kasih. Terjunkan tim untuk pantau target.""Baik, Pak."Hubungan telepon berakhir dan tentu saja dalam tatapan tajam kedua mata Septa. Ardan paham bahwa wanita tersebut ingin penjelasan. Pria ini segera merangkul bahu Septa. "Kita harus ke rumah sakit terpercaya untuk memeriksa organ dalam Nona Amanda.""Hei, apa yang ter
Tuan Edzard berusaha mengusir sengatan aneh yang hendak menggerakkan tangannya. Namun gagal, tangannya bahkan dengan lancang meraba puncak dada Amanda sembari bibir kasarnya mengecup ceruk leher si wanita lembut.Pria ini memainkan lidahnya sejenak dan kian intens meremas buah dada yang terasa penuh pada tangan besarnya. Detik berikutnya, pria ini melumat bagian itu lalu mengisap puncak kecoklatannya dan memberikan beberapa gigitan manja di sana."Tuan, jangan!"Permainan pelan itu kian memabukkan begitu pun Amanda tanpa sadar mendesah pelan saat Tuan Edzard menyibak baju Amanda pelan dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi.Door!Pyaarr!Tuan Edzard langsung merangkul Amanda lalu mengajak bersembunyi di balik sofa. Pria usia senja ini berbisik kepada Amanda. "Kamu masuk kamar dengan hati-hati. Saya akan lindungi kamu.""Baik, Tuan,"balas Amanda yang langsung mengikuti saran Tuan Edzard. Wanita ini masuk kamar yang berada di balik rumah tamu. Saat masuk kamar, telinga Amanda mas
"Selamat pagi juga, Tuan. Ya, kami memang dengar suara tembakan dari sebuah drone. Namun, tiba-tiba barang itu jatuh dan seketika terbakar,"jelas seorang sekuriti. Penjelasan sekuriti ini membuat Tuan Edzard terkejut, hingga semakin membuatnya penasaran. "Bolehkah saya melihat luar gerbang sebentar?"tanya Tuan Edzard merasa tidak enak hati karena sebelum menuju mansion, dia telah dipesan oleh Septa untuk tidak keluar lagi."Lebih baik Tuan pantau area luar gerbang dari tangkapan layar CCTV saja. Mohon maaf karena ini telah diinstruksikan oleh Nona Septa." "Baik. Saya mau lihat tangkapan rekaman CCTV."Sekuriti mendampingi Tuan Edzard untuk mengamati situasi di luar gerbang. Mereka melihat kedatangan sebuah drone yang diduga milik mafia, pesaing bisnis keluarga Edzard. Pada saat alat canggih tersebut hampir melewati atas gerbang secara mengejutkan ada sinar laser merah.Sinar tersebut menembaknya jatuh. Mata Tuan Edzard dan sekuriti dibuat terbelalak, saat melihat kejadian luar bias
Sejak hidupnya sering diteror mafia saingan bisnis William, Septa lebih nyaman tinggal di mansion bersama Mama dan abangnya. Ardan membuka kaca mobil lalu menghentikan mobil depan pos jaga. Kedua sekuriti tersenyum. Ardan segera menyapa mereka."Selamat pagi. Nanti ada tamu khusus, tolong dibantu kelancarannya.""Selamat pagi, Tuan Ardan. Baik, akan kami bantu."Ardan tersenyum lalu mengulurkan dua lembar uang merah kepada sekuriti. "Buat beli kopi.""Terima kasih, Tuan.""Sama-sama."Seorang sekuriti membuka pintu gerbang lalu mobil pun beranjak masuk halaman. Gerbang pun ditutup kembali. Ardan menoleh ke arah Septa lalu berucap,"Serius ini, aku benar-benar nginap di sini.""Iya, Sayang! Udah aku bilang tadi," balas Septa lalu tertawa manja sambil bersandar ke bahu pria sebelahnya.Mobil baru saja berhenti di carport, tiba-tiba ponsel Septa berdering. Wanita ini menegakkan tubuh lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Dia sedikit memicingkan mata karena pandangannya nanar efek dari alko
Ponsel Septa berdering. Ardan segera bangkit lalu mengambilkan untuk Septa. Tertera nama Tuan Edzard. Septa gegas menjawab panggilan."Selamat malam, Tuan.""Selamat malam. Maaf, mengganggu, Nona Septa," ucap pria tersebut dengan suara dalam.Ada apa, Tuan?"tanya Septa dengan rasa penasaran."Saya ingin titip Amanda di rumah Nona Septa demi keselamatannya. Silakan ajukan pembayaran per jam atau harian. Saya akan transfer sekarang. Sekitar seminggu agar kondisi tubuhnya cepat pulih. Boleh?"Septa yang mendapatkan tawaran dari Tuan Edzard langsung tersenyum lega. Ini namanya pria bertanggung jawab, kata hatinya."Boleh, dong, Tuan. Gak usah pake bayar. Amanda itu teman saya. Dengan keputusan bijak yang Tuan Edzard ambil, saya banyak terima kasih. Kalian sama-sama korban. Ronald sudah cerita banyak soal kejadian malam itu. Saya akan jaga Amanda. Sekarang dia di mana, Tuan?""Wah, sungguh luar biasa! Saya gak tahu kalo kalian berteman. Amanda sekarang ada di mansion, habis keluar dari rum