"Kami mohon maaf. Janin tidak bisa diselamatkan karena pendarahan hebat yang menyebabkan beberapa jaringan rusak. Pasien ada trauma yang memerlukan penanganan terapi psikis lebih serius. Untuk beberapa waktu, hanya pihak keluarga yang tidak sedang bermasalah dengan pasien saja diperbolehkan menemani," ungkap dokter dengan ekspresi serius."Baik, Dok, akan saya perhatikan. Terima kasih atas penjelasannya,"balas Dion dengan dua mata berkaca-kaca. Dia tahu betul yang jadi penyebab rahim Septa bermasalah. Dia tidak akan kasih kesempatan William untuk mendekati Septa hingga benar-benar pulih kesehatannya.Dion keluar dari ruangan dokter lalu berjalan menuju ruang rawat inap Septa. Rumah sakit ini adalah salah satu aset yang tercantum dalam akte pelimpahan hak milik menjadi atas nama Septa. Pria ini merasa Septa adalah janda dengan aset kekayaan berlimpah.Namun, psikis adiknya tersakiti sedemikian parah. Apalagi kini rahimnya Septa ada bekas operasi karena trauma. Bisa jadi harus bedrest l
Namun, rupanya William belum menyerah juga. Karakter otoriternya mulai ditonjolkan, meski dengan cara halus. Bisa jadi, pria cerdas ini paham keluarga Septa mulai anti dengan dirinya.William berucap dengan suara lirih. "Tolong, titip Wiwi biar menunggu dalam kamar. Biar bisa jadi teman buat Septa."Bu Rita yang tahu bahwa ada niat tersembunyi dari William, akhirnya berkata,"Septa baru saja operasi dan perlu istirahat. Lebih baik Wiwi temani Oma ke kantin.""Asik. Wiwi mau,"ucap bocah tersebut girang."Yodah, gak ada masalah. Kita bisa ngobrol berdua, Bro,"ujar Dion sambil merangkul pundak William. Ajakan Dion seketika membuat William mati kutu. Pria terpaksa ikut langkah kaki Dion ke keluar dari rumah sakit. Mereka berjalan beriringan menuju kafe yang tidak jauh dari pintu masuk rumah sakit.Isi kepala Dion sudah penuh ide untuk membuat William masuk perangkap. Dia menginginkan William bisa masuk penjara agar Septa bisa urus akte cerai tanpa kendala. Kesehatan dan keselamatan Septa a
"Itu orang suruhan William. Biar saja, William jadi tertuduh dalam percobaan penculikan. Polisi sekarang sudah bergerak ke sana. Habis ini kita liburan bareng Septa.""Gak jadi urusan polisi?"tanya Bu Rita yang masih belum juga yakin akan keamanan mereka."Enggak, Ma. Kita hanya menyelamatkan Septa saja. Biar Mama bisa yakin, bentar. Aku telepon Ardan sekalian video call." Dion segera meminggirkan mobil ke bahu jalan. Kemudian pria ini melakukan panggilan keluar ke nomor kontak Ardan.Namun, nomor kontak tersebut tidak aktif. Dion mencobanya lagi dan tetap tidak terhubung. Wajah Dion mulai cemas. "Ada apa pula dengan Ardan?"Dion langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi ke arah rumah Ardan. Tiba-tiba ponselnya berbunyi."Biar Mama yang jawab," ucap Bu Rita yang gegas mengambil ponsel dari atas dashboard. Saat wanita ini menatap layar ponsel, ternyata nomor kontak Septa yang sedang menelepon. Dia buru-buru mengangkatnya."Ya, Sayang. Ada apa?"tanya Bu Rita diliputi kecemasan
Drrrt! Drrt!Ponsel Septa berbunyi. Wanita ini melihat nama penelepon yang tertera di layar. "Nomor siapa pula ini?""Halo! Selamat siang," jawab Septa kepada si penelepon."Tante! Wiwi ditinggal Papa. Wiwi takut." Terdengar suara bocah umur enam tahun di ujung telepon. Ada suara bising kendaraan dan seseorang. "Ayo, Bapak antar pulang kamu, Nak.""Wiwi pake handphone siapa?"tanya Septa lembut demi mendapat penjelasan si bocah. Dalam hati Septa telah terbesit kecurigaan atas siasat licik yang telah direncanakan oleh William."Handphone Wiwi, Tante." Ucapan bocah usia hampir 6 tahun tersebut terdengar polos."Wiwi sama siapa sekarang?""Ada Bapak naik motor.""Wiwi biar diantar bapak itu. Coba Tante ngomong ke dia!" Septa terpaksa menurunkan ego demi keselamatan si bocah. Dirinya benar-benar heran dengan perbuatan William yang mengorbankan anak kecil segala."Sebentar, Tante." Terdengar Wiwi menjauhkan ponsel. "Pak, Tante mau ngomong.""Halo, selamat siang, Nona," ucap seorang pria kem
"Om Dion!"panggil si bocah sembari turun dari motor.Wiwi berlari ke arah Dion disusul oleh si pria botak. Tiba-tiba dari arah samping sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju ke arahnya mereka.Ciiitt!Braakk!Kendaraan roda empat tersebut kabur dengan kecepatan tinggi dan tak lama kemudian terdengar bunyi sirine. Satu ke arah mobil pelaku tabrak lari dan satu ke arah korban."Brengsek!"maki si pria botak yang langsung mengejar mobil pelaku.Dion terkejut dan langsung berlari menghampiri tubuh Wiwi yang terkapar di jalan dengan bersimbah darah. Mobil patroli berhenti tepat di samping tempat kejadian perkara. Dion hanya mampu menatap tubuh Wiwi dengan menitikkan air mata.Dua polisi yang turun dari mobil patroli langsung mengamankan TKP. Mereka memeriksa keadaan korban dan langsung melakukan olah kejadian. Tak berselang lama,datang ambulans untuk mengeksekusi tubuh Wiwi. Ambulans beranjak pergi diikuti oleh mobil Dion. Beberapa meter dari TKP, ekor mata Dion menangkap keberadaan Willi
Saat di pintu keluar William dipertemukan dengan dokter ahli forensik yang telah melakukan perintahnya. William mendekat ke dokter tersebut lalu berbisik,"Bego, lu! Ngapain boarding barengan gue.""Gue udah ada janji sama keluarga. Mau susul mereka yang lagi liburan," ucap si dokter lirih."Besok, kan, bisa. Gerak-gerik lu udah dipantau. Harusnya lu stay dulu. Pulang ke rumah, tidur. Besok baru boarding.""Maaf, Bos."Asisten dokter forensik ini tertunduk. Gagal sudah rencana liburan panjang bersama keluarga. Apalagi sekarang dirinya sedang menunggu proses hukum. Karir yang dibangun mati-matian terancam hancur. Kedua pria langsung digelandang masuk mobil patroli. William berusaha menelepon pengacara. Begitu pun dengan si asisten dokter. Keduanya terancam hukuman berat bahkan bisa dihukum mati.Dion mengawasi kepergian mereka dengan senyum miris. Dia membayangkan jenazah Wiwi yang tanpa organ dalam, andai perbuatan biadab mereka tidak terendus. Dari kedua sudut mata Dion menitik buli
Apa yang kau cari Cecilia? Cinta? Gue punya cinta lebih tulus dari William. Harta? Lu kaga tau kalo karena harta, William bisa bertindak sesadis ini pada lu. Nyawa lu dan Wiwi jadi tumbal keserakahan William. Dion sibuk mengutuk keputusan Cecilia yang dianggap bodoh. Pria ini terluka, meskipun tak berdarah. Sulit untuknya percaya bahwa Cecilia berubah jadi wanita yang tak berpikir logis. Dia yang berpendidikan tinggi dari sebuah universitas ternama di Amerika jadi sembrono gara-gara terjebak kembali ke cinta masa lalu. Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, akhirnya iring-iringan mobil jenazah, mobil Dion dan kendaraan dari pihak kepolisian telah sampai tujuan. Dion buru-buru turun dari mobil karena ingin ikut serta mengangkat peti mati menuju liang lahat. Tampak Septa dan Bu Rita telah ikut hadir di pemakaman. Kedua orang ini berpayung dan berkaca mata hitam."Gilbert adalah wujud nyata seorang malaikat kecil. Dia memiliki hati yang lembut dan tak ada bandingnya. Seorang
Karangan bunga mengelilingi area pemakaman. Aroma bunga kenanga dan mawar dari karangan bunga menguar dengan lembut menyentuh tiap indera penciuman para kerabat dan keluarga. Di tutup peti Gilbert tertera lambang aliansi besar milik company yang dicetak dengan titanium murni.Mereka tidak pernah terpisahkan sejak saat itu. Dion sebenarnya keberatan dengan keberadaan simbol milik mereka. Namun, mengingat Gilbert adalah generasi keluarga tersebut, Dion pun terpaksa setuju .Telepon genggam Septa terus bergetar sepanjang upacara. Berbagai notifikasi menyerbu layar telepon genggamnya dan tidak satu pun dihiraukan. Pesan dan panggilan tidak terjawab berkali-kali tertimbun dalam fitur.Septa tidak peduli apa yang sedang menunggunya, atau siapa pun yang sedang mencarinya. Wanita ini sedang tidak mau repot-repot harus mengurus keterikatan aset William dengan bisnis kejam keluarga besar Tuan Edzard Abramovich.Septa masih ingat ketika ia harus terus dikejar ketakutan dan kepanikan setelah kebr
Ting! Terdengar notif pesan diterima.[Oke. Aku siapkan semua. Kamu siap-siap di depan. Hitungan menit saja, kita bisa pergi dari sana.][Terima kasih, Bang.]Pesan terkirim dan Septa buru-buru menghapus semua percakapan. Clear. Sebuah senyum manis menghias bibir Septa. Hatinya bisa sedikit tentram sekarang. Dia tidak tahu rencana apa yang telah disusun oleh Ardan.Namun, dia butuh segera keluar dari kantor polisi ini. Perilaku bar-bar wartawan membuatnya semakin tertekan. Yang dia butuhkan sekarang adalah segera bisa keluar dari sini. Otak dan hatinya ingin segera disegarkan dan hanya dia yang tahu caranya.Satu jam kemudian Ardan mengajak Septa untuk keluar menuju lobby kantor. Tentu saja, wanita ini menolaknya mentah-mentah karena belum ada kabar dari Ronald. Ardan yang melihat Septa dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya memegang kedua bahu wanita tercinta."Kamu akan lihat gimana caranya agar para wartawan bisa pergi dari sini,"ucap Ardan dengan menatap Septa."Maksudnya apa?"tanya S
Ardan berusaha untuk menahan diri. Bagaimanapun, dirinya harus bersikap bijak dalam menghadapi wartawan. Dia paham taktik para pencari berita dengan cara menyulut emosi narasumber. Pada saat narasinya semakin emosi dalam meladeni pertanyaan wartawan dan biasanya dia tanpa sadar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu dipublikasikan. Di saat itulah para pencari berita mereka semua ucapan yang terlontar dari mulut narasumber. Ucapan dalam keadaan marah tersebut akhirnya tertuang pada ketikan mereka. Begitu berita jadi viral dibicarakan dalam masyarakat, otomatis kelanjutan beritanya akan terus dicari-cari. Hal ini mendongkrak penjualan bagi lapak atau platform penyedia layanan informasi online maupun offline. Para wartawan dapat keuntungan bonus dan juga promosi jabatan. Narasumber yang baru sadar akan kekhilafannya akan segera memberikan ultimatum terhadap para wartawan bahkan sibuk membuat siaran pers untuk klarifikasi. Tindakan itu bahkan menjadikan berita semakin dicari dan
Septa lalu melirik pada sebuah nakas di sebelah ranjang. Hmm, siapa yang taruh meja minimalis ini?Kamar Septa dan isinya selalu berwarna putih dan tidak pernah ada warna-warna monokrom seperti ini. Apalagi keberadaan sebuah meja kecil berbahan rotan. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah ke pinggang.Ada beban berat yang membebani area tersebut sejak dirinya bangun. Itu ternyata berasal dari lengan cokelat yang membelitnya. Kepala wanita berparas ayu ini langsung menoleh ke sebelahnya. Ada seorang lelaki sedang tidur lelap.Whaatt? Apa-apaan ini?!Lengan kuat eksotis. Lelaki asing dengan bagian atas tanpa penutup. Tarikan napas teratur. Septa seketika tercekat. Dia pun jadi berpikir yang tidak-tidak. Wanita ini sibuk memutar memori otak. Akhirnya satu kesimpulan diambil ....Septa tundukkan kepala lalu mengintip tubuhnya di balik selimut. Dia langsung syok antara kenyataan atau halusinasi.Kepalaku pengar. Apa yang aku minum tadi? Jadi setengah mimpi begini, keluhnya dalam hati.
"Syukurlah. Kasian Manda gak tau apa-apa soal mafia, jadi korban.""Tyson sampai hari ini belum bisa dipantau," ungkap Ardan. "Dia ini terkenal kejam dan licik dibandingkan Tuan Edzard dan William. Diduga dia ada di balik pengambilan organ dalam para pasien rumah sakit.""Padahal kurang sebulan lagi, Manda dan Tyson menikah. Kenyataannya kini, mereka jadi terlibat urusan mafia tiada berujung," ucap Septa penuh sesal. "Aku punya ide biar bisa tangkap Tyson.""Apa itu?"tanya Ardan penasaran."Kita suruh orang lain untuk jaga Manda. Tyson itu sebenarnya cinta banget sama Manda. Dia lakuin ini pasti karena sakit hati, Manda akan dinikahi Tuan Edzard."Ardan menaikkan kedua alis. Pria ini sedang berpikir sejenak lalu bertanya,"Maksudnya gimana?""Amanda dijaga orang lain, biar Tyson merasa aman untuk mendekatinya. Kita pantau mereka dari kejauhan dan tentu saja ada dokter serta perawat yang bisa kita ajak bekerja sama.""Bagus ide kamu, Sayang. Kita realisasikan," balas Ardan dan langsung
"Ah, akhirnya, semua aman. Saatnya kita pulang," ucap Ardan sambil meluruskan badan. Septa memijat pelan punggung kekasihnya. "Nanti di rumah aku pijatin sekujur badan.""Septa, perutku sakit sekali. Ada yang kosong di bagian perut kiri. Di situ timbul rasa sakit,"keluh Amanda dengan mendesis kesakitan."Jangan-jangan, ...." Ucapan Ardan tidak dilanjutkan karena keburu ada panggilan telepon."Halo, ada apa?"tanya Ardan kepada seseorang di ujung telepon."Pak, ada info, dokter yang menangani Nona Amanda adalah bagian dari komplotan pasar gelap.""Kamu kata siapa?""Ada seorang pria tua bikin laporan. Anaknya setelah operasi besar. Ginjalnya hilang satu.""Oke, terima kasih. Terjunkan tim untuk pantau target.""Baik, Pak."Hubungan telepon berakhir dan tentu saja dalam tatapan tajam kedua mata Septa. Ardan paham bahwa wanita tersebut ingin penjelasan. Pria ini segera merangkul bahu Septa. "Kita harus ke rumah sakit terpercaya untuk memeriksa organ dalam Nona Amanda.""Hei, apa yang ter
Tuan Edzard berusaha mengusir sengatan aneh yang hendak menggerakkan tangannya. Namun gagal, tangannya bahkan dengan lancang meraba puncak dada Amanda sembari bibir kasarnya mengecup ceruk leher si wanita lembut.Pria ini memainkan lidahnya sejenak dan kian intens meremas buah dada yang terasa penuh pada tangan besarnya. Detik berikutnya, pria ini melumat bagian itu lalu mengisap puncak kecoklatannya dan memberikan beberapa gigitan manja di sana."Tuan, jangan!"Permainan pelan itu kian memabukkan begitu pun Amanda tanpa sadar mendesah pelan saat Tuan Edzard menyibak baju Amanda pelan dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi.Door!Pyaarr!Tuan Edzard langsung merangkul Amanda lalu mengajak bersembunyi di balik sofa. Pria usia senja ini berbisik kepada Amanda. "Kamu masuk kamar dengan hati-hati. Saya akan lindungi kamu.""Baik, Tuan,"balas Amanda yang langsung mengikuti saran Tuan Edzard. Wanita ini masuk kamar yang berada di balik rumah tamu. Saat masuk kamar, telinga Amanda mas
"Selamat pagi juga, Tuan. Ya, kami memang dengar suara tembakan dari sebuah drone. Namun, tiba-tiba barang itu jatuh dan seketika terbakar,"jelas seorang sekuriti. Penjelasan sekuriti ini membuat Tuan Edzard terkejut, hingga semakin membuatnya penasaran. "Bolehkah saya melihat luar gerbang sebentar?"tanya Tuan Edzard merasa tidak enak hati karena sebelum menuju mansion, dia telah dipesan oleh Septa untuk tidak keluar lagi."Lebih baik Tuan pantau area luar gerbang dari tangkapan layar CCTV saja. Mohon maaf karena ini telah diinstruksikan oleh Nona Septa." "Baik. Saya mau lihat tangkapan rekaman CCTV."Sekuriti mendampingi Tuan Edzard untuk mengamati situasi di luar gerbang. Mereka melihat kedatangan sebuah drone yang diduga milik mafia, pesaing bisnis keluarga Edzard. Pada saat alat canggih tersebut hampir melewati atas gerbang secara mengejutkan ada sinar laser merah.Sinar tersebut menembaknya jatuh. Mata Tuan Edzard dan sekuriti dibuat terbelalak, saat melihat kejadian luar bias
Sejak hidupnya sering diteror mafia saingan bisnis William, Septa lebih nyaman tinggal di mansion bersama Mama dan abangnya. Ardan membuka kaca mobil lalu menghentikan mobil depan pos jaga. Kedua sekuriti tersenyum. Ardan segera menyapa mereka."Selamat pagi. Nanti ada tamu khusus, tolong dibantu kelancarannya.""Selamat pagi, Tuan Ardan. Baik, akan kami bantu."Ardan tersenyum lalu mengulurkan dua lembar uang merah kepada sekuriti. "Buat beli kopi.""Terima kasih, Tuan.""Sama-sama."Seorang sekuriti membuka pintu gerbang lalu mobil pun beranjak masuk halaman. Gerbang pun ditutup kembali. Ardan menoleh ke arah Septa lalu berucap,"Serius ini, aku benar-benar nginap di sini.""Iya, Sayang! Udah aku bilang tadi," balas Septa lalu tertawa manja sambil bersandar ke bahu pria sebelahnya.Mobil baru saja berhenti di carport, tiba-tiba ponsel Septa berdering. Wanita ini menegakkan tubuh lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Dia sedikit memicingkan mata karena pandangannya nanar efek dari alko
Ponsel Septa berdering. Ardan segera bangkit lalu mengambilkan untuk Septa. Tertera nama Tuan Edzard. Septa gegas menjawab panggilan."Selamat malam, Tuan.""Selamat malam. Maaf, mengganggu, Nona Septa," ucap pria tersebut dengan suara dalam.Ada apa, Tuan?"tanya Septa dengan rasa penasaran."Saya ingin titip Amanda di rumah Nona Septa demi keselamatannya. Silakan ajukan pembayaran per jam atau harian. Saya akan transfer sekarang. Sekitar seminggu agar kondisi tubuhnya cepat pulih. Boleh?"Septa yang mendapatkan tawaran dari Tuan Edzard langsung tersenyum lega. Ini namanya pria bertanggung jawab, kata hatinya."Boleh, dong, Tuan. Gak usah pake bayar. Amanda itu teman saya. Dengan keputusan bijak yang Tuan Edzard ambil, saya banyak terima kasih. Kalian sama-sama korban. Ronald sudah cerita banyak soal kejadian malam itu. Saya akan jaga Amanda. Sekarang dia di mana, Tuan?""Wah, sungguh luar biasa! Saya gak tahu kalo kalian berteman. Amanda sekarang ada di mansion, habis keluar dari rum