Waktu pemakaman Jeje tampaknya sudah tiba, Ucok yang dari tadi subuh menjaga mayat Jeje sendirian kini didatangi oleh para warga yang datang satu persatu ke rumah Jeje untuk membantunya. Mereka yang sudah tahu bahwa hari ini adalah pemakaman dari salah satu warga desanya, datang dengan segala peralatan yang mereka bawa, bahkan kayu yang menjadi tandu sementara untuk membawa mayat dari rumah hingga ke pemakaman mereka sudah siapkan.“Bang, Pak Dani mana kok tidak ada? Seharusnya kan dia yang mimpin proses pemakaman ini,” kata salah satu warga desa yang datang.Ucok yang ada disana, hanya menggelengkan kepala, dia hanya berkata untuk menunggu saja karena mungkin Pak Dani sedang mencari orang-orang yang akan menggali makam di pagi ini.“Tenang saja, Pak Dani bentar lagi datang, aku disuruh nunggu dulu disini, pasti nanti dia datang bersama Bu Maesaroh yang sekarang menginap di rumahnya,” kata Bang Ucok sambil sedikit tersenyum.Warga yang bertanya pun sepertinya mengerti, dia hanya menga
“Eh?”“Kakek-kakek siapa? Pak Dani?” kataku yang sedikit bingung atas apa yang diucapkan Ayu pada saat itu.Ayu dengan polosnya hanya menggelengkan kepala, seperti ada perasaan yang sedikit takut yang muncul dari mimik mukanya ketika aku lihat di pagi itu.Aku yang sudah berada diluar rumah tiba-tiba berbalik dan jongkok agar aku bisa berbicara kepadanya dengan lebih dekat.Aku angkat kedua tanganku dan aku pegang pundaknya yang mungil itu, sambil tersenyum, aku berbicara kepadanya dengan nada yang lembut, mencoba mencari jalan keluar agar dia tidak ketakutan lagi.“Yasudah, kalau misalkan Ayu tidak mau ikut, apakah Ayu berani sendirian di rumah?” kataku.Dengan polosnya dia mengangguk, bahkan dia sempat melepaskan tanganku dan berlari ke dalam kamar, membawa boneka besarnya dan membawanya ke hadapanku pada saat itu.“Aku berani Bunda, kan ini sudah siang, jadi tidak ada lagi hantu Ayah yang datang mengambilku.”“Aku dirumah aja Bun, bareng si Bani,” katanya sambil mengangkat boneka b
Proses pemakaman yang dilaksanakan di hari ini tampaknya tidak membutuhkan waktu yang lama, para warga yang tinggal di Desa Muara Ujung datang dan mengantarkan Jeje ke tempat peristirahatan yang terakhir, yaitu tanah lapang di dekat hutan yang menjadi pemakaman umum bagi warga Desa Muara Ujung.Isak tangis pun terdengar dari beberapa warga yang mengantarkan Jeje di hari itu, sang ibu yang kini harus tinggal sendirian di desa ini dan berjuang sendirian untuk hidup di tengah-tengah keterbatasan di desa ini.Para warga lain yang merasakan hal yang sama langsung mencoba memeluk Bu Maesaroh dan mencoba memberi semangat kepadanya sambil melihat Jeje diturunkan secara perlahan-lahan ke liang lahat.Adi dan Tono tampaknya ikut membantu menurunkan mayat Jeje ke tempat peristirahatan terakhirnya, dibantu Patrio dan Ucok yang memimpin proses pemakaman itu atas perintah Pak Dani yang kini sedang berada di dalam rumahnya bersama Ki Sakti.Sedangkan Supri, dia hanya duduk di sebuah pohon dan memand
“Sebenarnya, di desa kita ini ada kejadian apa sih?”“Kenapa sekarang-sekarang jadi banyak korban yang meninggal di desa ini?”“Apakah kita harus pulang lagi ke kampung, dan kembali hidup disana dengan hutang-hutang yang menumpuk dan belum terbayar?”Obrolan demi obrolan dari para warga desa terdengar, terutama tentang kejadian-kejadian yang menimpa Satria, Pak Ridwan, Jeje serta Iyo yang hanya sebagian orang yang tahu bahwa dia sudah tiada dan dimakamkan di Desa Muara Damar.Para warga yang saling bekerja bahu-membahu di kebun-kebun mereka kini penuh tanda tanya, sebenarnya ada apa dengan desa ini.Desa yang aman dan menjadi tempat bagi para warga di kehidupan barunya, desa yang nantinya bisa mereka manfaatkan dari tanah dua hektar yang mereka kelola untuk anak dan cucu mereka kelak. Juga desa yang menjadi tempat baru tanpa memandang latar belakang mereka yang berbeda-beda.Matahari yang meninggi kini terlihat semakin terik, beberapa orang yang langsung bekerja di ladang dan kebun-ke
KreaakkKreaakkSuara langkah kaki terdengar pelan, rasa penasaran yang dibaluti oleh rasa takut yang tiba-tiba muncul terasa oleh Pak Dani ketika ingin melangkahkan kakinya ke dalam kamar yang menjadi tempat tidurnya selama ini bersama istrinya sendiri.Entah mengapa, ada aura yang kuat yang tidak mengenakan muncul begitu saja dibalik tirai yang menjadi pembatas antara ruangan tengah dan kamar, dan hal itu membuat Pak Dani sempat ragu untuk melangkah sehingga dia sempat berhenti dan menoleh kembali ke arah Ki Sakti yang duduk disana dengan mulutnya yang terus-menerus bergumam.Tidak ada perkataan yang keluar dari Ki Sakti pada saat itu, yang ada hanyalah sebuah tangan yang diangkatnya untuk mempersilahkan Pak Dani masuk dengan anggukan kepalanya yang mengangguk secara perlahan kepadanya pada malam itu.Pak Dani hanya membalas anggukan Ki Sakti, dia menelan ludah sambil melihat tirai tipis itu dan berharap apa yang dia lakukan di dalam tidak akan membuat tubuhnya tidak sadarkan diri s
Beberapa tahun yang lalu, dimana negara ini masih bergejolak bagi orang-orang yang menentang mereka.Banyak sekali orang-orang yang memaksa harus meninggalkan tempat yang menjadi tempat kelahiran mereka untuk menyelamatkan diri.Orang-orang yang selama ini memberikan kritik terhadap aturan-aturan yang mereka berikan, membuat sebuah gerakan bawah tanah yang membahayakan negara sehingga harus di buru dalam senyap, tanpa diketahui oleh yang lain.Mereka yang awalnya berkumpul kini berpencar satu-persatu, mereka meninggalkan identitas mereka, meninggalkan keluarga mereka, bahkan meninggalkan orang tua mereka hanya untuk bersembunyi di suatu tempat yang bisa menyelamatkan mereka.Mereka berdalih bahwa mereka bekerja diluar pulau kepada keluarga mereka, kerabat mereka, bahkan kepada istri dan anak mereka, tanpa pernah memberitahu kapan mereka pulang.Negara ini luas, mereka berpencar ke segala arah. Mereka menetap di hutan-hutan, di gunung-gunung, di pelosok-pelosok desa yang tidak bisa dij
“Hahaha, tidaklah Albert, aku hanya menyembunyikan diriku saja untuk beberapa waktu.”“Kamu sendiri sudah tahu atas masalah yang aku hadapi selama ini kan?” kata Satria yang berkata kepada Albert sambil menyeruput kopi yang disediakan oleh pemilik kios itu.“Tapi…”“Apa benar mau kesana? Tempat itu sudah jadi reruntuhan, sudah menjadi puing-puing.”“Sudah tidak ada kehidupan lagi disana, disana hanya ada tumbuhan juga rumah-rumah yang hancur.”“Kami-kami ini tahu tragedi itu, tragedi atas perburuan mereka, kami tahu dari cerita mama-mama kami yang ikut dalam hal itu.”“Mereka semua habis Satria, habis!”“Bahkan kini banyak orang yang takut ke tempat itu karena dia takut menjadi salah satu dari mereka.”“Dan orang yang datang ke tempat itu dicurigai bahwa dia adalah bagian dari mereka.”“Jadi, janganlah!”“Nanti bisa mati disana.”Entah apa yang Albert bicarakan, namun tampaknya itu adalah sesuatu yang mengerikan, raut wajahnya tampak ketakutan, dia beberapa kali merinding tentang hal
Cahaya senter tipis terlihat di kegelapan malam, cahayanya yang sedikit redup masuk ke sela-sela pepohonan yang lebat dan rimbun disana. Cahaya itu bergerak secara perlahan, menemani Satria yang berjalan tanpa ada rasa takut di dalam hutan.Kegelapan di tengah-tengah hutan seperti ini tidak membuat nyalinya ciut, dia terus saja berjalan melangkahkan kakinya sambil melihat ke kiri dan ke kanan.Pikiran sempat melayang-layang mencoba mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana dia dan tim nya datang untuk meliput tempat ini namun hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan apa yang mereka cari meskipun mereka berkeliling hutan ini beberapa kali.“Bentar…”“Seharusnya ada jalan masuk disini.”Satria berhenti di antara dua batu yang menjulang tinggi dengan akar-akar pohon yang menjuntai dari atas, juga di tengah-tengahnya sudah dipenuhi dengan ilalang-ilalang yang menutupi jalanan setapak kecil dibawahnya.Batu itu sangatlah besar, namun terbelah menjadi dua bagian, seperti ada yang me