"Terima kasih ya, Mas." Elvira memandang Hendy dengan tatapan redup. Hendy tersenyum. Meraih dagu Elvira lantas dikecupnya. Hendy menyentuh pipi Elvira, mengusapnya dengan pelan. Tatapannya dalam, seolah ingin menembus semua keraguan yang mungkin masih tersisa di hati istrinya. "El, malam ini kita merayakan kehamilanmu. Bukan hanya sebagai calon orang tua, tapi juga sebagai suami istri yang benar-benar saling memiliki."Elvira merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Kalimat sederhana itu, diucapkan dengan nada rendah namun penuh keyakinan. Raganya mulai menghangat saat Hendy menciumnya lebih dalam.Sebuah ciuman yang kian menuntut. Apa yang mereka kenakan sudah berpindah entah ke mana. Tangan besar Hendy melingkupi jemari mungilnya Elvira. Mereka menikmati malam itu disaat gerimis mulai turun di luar sana.Meski jauh di dalam hati Hendy, masih merasakan sisa-sisa kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan. Apa hati Elvira sudah berpindah sepenuhnya pada dirinya? Ia yakin kalau belum. Men
"Coba kalau dokter Hendy jahat, apa Mas nggak tambah nyesel misahin El sama Rizal. Rizal itu laki-laki yang tahu tanggungjawabnya sebagai lelaki. Dia bekerja keras agar bisa menafkahi dan memantaskan diri buat, El. Sayangnya kita nggak ngasih kesempatan ke dia."Semua sudah terjadi. Yang kusesali cuman cacian Mas pada mereka. Nggak habis pikir aku, Mas." Hasna bangkit dari kursi meja rias, hendak berbaring di ranjang. Namun Arman meraih dan memeluknya. "Maafkan aku, Ma.""Sudahlah, Mas. Aku mau tidur!" Hasna melepaskan tangan sang suami dengan paksa, kemudian berbaring di sisi ranjang yang lain.Arman diam membeku. Ya, dia sadar sudah keterlaluan selama ini. Terbayang jelas wajah Bu Salima yang teduh, tanpa kebencian dan dendam. Kemudian terbayang almarhumah ibunya juga. Arman menangis. Tubuhnya terguncang pelan. Hasna tahu, tapi dia memilih diam. Biar suaminya menyesal dan introspeksi diri.***L***Kabar kehamilan Elvira disambut suka cita oleh dua keluarga. Bu Putri meminta anak dan
SEBELUM BERPISAH - Menjaga Hati Hendy berdiri di sisi meja operasi, menyiapkan alat-alat anestesi sambil memperhatikan monitor yang menampilkan tanda-tanda vital pasien. Di seberangnya, dokter Herlina tampak sibuk dengan persiapan terakhir sebagai dokter kandungan yang akan memimpin operasi caesar kali ini.Herlina jadi serba salah melihat Hendy bersikap tenang. Sekarang hubungan mereka terasa asing. Pria itu sudah tidak pernah berinteraksi dengan Herlina lagi selain masalah pekerjaan. Saat Herlina sibuk melakukan proses pembedahan, pikiran Hendy melayang ke Elvira. Delapan bulan lagi anaknya lahir. Caesar atau normal? Apa dia akan masuk ruangan ini sebagai tim medis sekaligus suami pasien? Atau hanya seorang suami yang menunggu istrinya melahirkan?Dia berdoa supaya Elvira nanti melahirkan secara normal saja. Mengingat sang istri susah minum obat.Belum apa-apa, pikiran Hendy sudah diliputi ketegangan. Dia sudah terbiasa menghadapi proses kelahiran di kamar operasi. Namun kelahir
Sore itu hujan turun cukup deras. Elvira sudah mandi, salat asar, dan menyusun pakaian yang baru diambilnya dari laundry ke dalam lemari.Sekarang waktunya ke dapur. Ingin masak ca kangkung sama menggoreng ikan bawal. Namun baru selesai mencuci ikan, ponsel yang ditaruh di atas meja berdering. "Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Kamu sudah di rumah?""Iya. Ini mau masak.""Honey, mas minta maaf. Sepertinya mas akan pulang telat malam ini. Sebab ada operasi darurat. Mas usahakan, setelah selesai langsung pulang.""Oh ... iya. Nggak apa-apa, Mas.""Kalau mas pulang nanti, pengen dibawain apa?""Nggak ada. Aku lagi nggak pengen apa-apa.""Beneran?""Iya.""Ya sudah kalau begitu. Mas tutup dulu, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Elvira memasukkan kembali sayuran ke dalam kulkas. Urung memasak daripada nanti tidak di makan. Hendy pasti pulang lewat dari jam sembilan malam. Nanti dirinya makan pakai sambal dan kerupuk saja.Sabar, El. Dia harus membiasakan diri seperti ini.
Rizal terharu. Dia mengangguk dan mengucapkan banyak terima kasih. Apa karena hal ini, Pak Bahtiar memintanya untuk menjemput di bandara?Pesanan di antar dan mereka langsung makan tanpa percakapan."Kamu kaget saya suruh jemput di bandara?" Pak Bahtiar bertanya seraya mengelap bibirnya menggunakan tisu."Jujur saja, iya Pak.""Ada hal yang ingin saya sampaikan ke kamu." Lelaki berkacamata itu mencondongkan tubuh agak ke depan. Terlihat sangat serius."Kamu punya pacar?" Pertanyaan yang sungguh mengagetkan bagi Rizal."Nggak, Pak.""Serius?""Iya." Pak Bahtiar manggut-manggut. Ia percaya pada Rizal. Dilihat dari wajahnya saja, dia laki-laki yang sangat jujur. "Saya ingin ngenalin kamu sama putri bungsu saya. Namanya Arsita."Rizal terkejut. Benarkah yang ia dengar? Lelaki kaya seperti Pak Bahtiar bilang terus terang, ingin mengenalkan sang anak padanya? Siapalah dirinya jika dibandingkan dengan Pak Bahtiar yang kaya raya. "Usia Arsita sama denganmu. Dua puluh enam tahun. Dia Sarjan
SEBELUM BERPISAH- DilemaUntuk apa Rizal mengirimkan fotonya dengan Elvira ke emailnya? Ini foto kapan? Terlihat foto saat mereka masih pacaran. Lalu saat mereka makan berdua di sebuah restoran. Kalau yang ini, jelas foto baru.Dada Hendy sempat bergemuruh hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Dahinya mengernyit tajam. Dia tidak percaya Rizal melakukan hal itu. Kalaupun mau mengambil Elvira kembali, pasti sudah dilakukan saat beberapa kali menolong istrinya kala itu. Bahkan dia merahasiakan darinya Elvira, saat Rizal membawanya ke klinik.Lagipula, foto saat di restoran diambil diam-diam dari tempat tersembunyi yang jaraknya lumayan. Baik Elvira atau pun Rizal tidak menyadarinya. Dari sini saja bisa ditebak, kalau bukan email asli lelaki itu.Lalu siapa yang menggunakan foto profil dan email dengan namanya rizal856@gmail.com. Hendy memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Kembali melangkah ke parkiran. Tidak perlu meladeni hal-hal begini. Hendy bisa menebak siapa yang melakukannya.
Hendy memeluk istrinya erat, seolah ingin memastikan bahwa Elvira sangat berharga. Kemudian mencium kening, lalu melanjutkan ke pipi, dan akhirnya bertemu dengan bibir Elvira. Ciuman yang lembut. Hendy melakukan dengan hati-hati, menyadari kondisi kehamilan Elvira yang perlu dijaga.Elvira memejamkan mata. Menikmati sentuhan sang suami yang membawanya kembali berkelana.Malam itu bukan hanya tentang keintiman, tetapi juga tentang cara untuk menguatkan hubungan antara mereka. Hendy merasa seluruh dunianya hanya berputar di sekitar perempuan ini saja sekarang.***L***Pagi itu gerimis turun. Akhir tahun selalunya seperti ini. Curah hujan sangat tinggi. Rizal masih duduk di bangku kayu setelah selesai membenahi motor bututnya. Motor yang penuh kenangan. Sang ibu membelikannya setelah menabung bertahun-tahun dan ditambahi uang upahnya menjadi kuli bangunan. Dengan motor itu, ia sering memboceng Elvira.Lelaki itu melamun memandang gerimis. "Semua sudah tak sama lagi," gumamnya dalam ha
Hendy menurunkan kopernya dari bagasi mobil, sementara di kejauhan tampak kerlap kerlip lampu di permukaan bukit-bukit Pandaan. Udara dingin pegunungan menyusup, menyejukkan, mengusir penat dari hiruk pikuk kota yang baru saja mereka tinggalkan. Sengaja Hendy mengajak istrinya staycation. Berangkat malam itu juga, sepulangnya dia dari rumah sakit. Semoga malam ini sampai besok tidak ada panggilan darurat. Kalau pun ada, dokter Edy sudah standby."Honey, kita masuk."Elvira yang asyik menikmati pemandangan malam kota Pandaan tersenyum. Lantas menyambut tangan suaminya yang terulur."Mas sengaja pilih tempat ini. Supaya kita bisa istirahat dan refreshing," kata Hendy, menaruh kopernya di sudut ruangan kamar hotel.Elvira duduk di sofa. Ia mengusap perutnya pelan. "Mas, baik sekali. Terima kasih.""Baru sadar ya, kalau suamimu ini baik dan ganteng." Hendy mendekat, duduk di sebelahnya, dan menggenggam tangan Elvira dengan lembut. Lalu mengusap perut istrinya. Hendy tidak akan pernah me
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san