Hendy memeluk istrinya erat, seolah ingin memastikan bahwa Elvira sangat berharga. Kemudian mencium kening, lalu melanjutkan ke pipi, dan akhirnya bertemu dengan bibir Elvira. Ciuman yang lembut. Hendy melakukan dengan hati-hati, menyadari kondisi kehamilan Elvira yang perlu dijaga.Elvira memejamkan mata. Menikmati sentuhan sang suami yang membawanya kembali berkelana.Malam itu bukan hanya tentang keintiman, tetapi juga tentang cara untuk menguatkan hubungan antara mereka. Hendy merasa seluruh dunianya hanya berputar di sekitar perempuan ini saja sekarang.***L***Pagi itu gerimis turun. Akhir tahun selalunya seperti ini. Curah hujan sangat tinggi. Rizal masih duduk di bangku kayu setelah selesai membenahi motor bututnya. Motor yang penuh kenangan. Sang ibu membelikannya setelah menabung bertahun-tahun dan ditambahi uang upahnya menjadi kuli bangunan. Dengan motor itu, ia sering memboceng Elvira.Lelaki itu melamun memandang gerimis. "Semua sudah tak sama lagi," gumamnya dalam ha
Hendy menurunkan kopernya dari bagasi mobil, sementara di kejauhan tampak kerlap kerlip lampu di permukaan bukit-bukit Pandaan. Udara dingin pegunungan menyusup, menyejukkan, mengusir penat dari hiruk pikuk kota yang baru saja mereka tinggalkan. Sengaja Hendy mengajak istrinya staycation. Berangkat malam itu juga, sepulangnya dia dari rumah sakit. Semoga malam ini sampai besok tidak ada panggilan darurat. Kalau pun ada, dokter Edy sudah standby."Honey, kita masuk."Elvira yang asyik menikmati pemandangan malam kota Pandaan tersenyum. Lantas menyambut tangan suaminya yang terulur."Mas sengaja pilih tempat ini. Supaya kita bisa istirahat dan refreshing," kata Hendy, menaruh kopernya di sudut ruangan kamar hotel.Elvira duduk di sofa. Ia mengusap perutnya pelan. "Mas, baik sekali. Terima kasih.""Baru sadar ya, kalau suamimu ini baik dan ganteng." Hendy mendekat, duduk di sebelahnya, dan menggenggam tangan Elvira dengan lembut. Lalu mengusap perut istrinya. Hendy tidak akan pernah me
SEBELUM BERPISAH - Keputusan "El," panggil Ranty membuka pintu ruangan sahabatnya. Kosong. Elvira ke mana?Tas Elvira juga tidak ada. Ranty tergesa keluar dan bertanya pada staf di resepsionis. "Mbak, ngelihat Mbak Elvira, nggak?""Oh, Mbak El-nya pulang, Mbak. Tadi tergesa-gesa. Bilang kalau lagi nggak enak badan. Saya baru saja mau ke ruang meeting untuk ngasih tahu ke Mbak Ranty dan Pak Rizal."Dahi Ranty mengernyit heran. Kenapa Elvira tidak pamit padanya. Atau ke ruang meeting sejenak untuk menemui Rizal. Padahal tadi dia sudah tahu kalau Rizal mau datang. Dan waktu datang tadi Elvira tampak sehat-sehat saja dan sempat ngobrol dengannya.Ranty melangkah ke ruang meeting. Rizal heran melihatnya datang sendirian. "Mana El, Ran.""Bentar." Ranty meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Elvira.[Ran, maafkan aku. Aku buru-buru pulang dan nggak sempat nemui kalian. Badanku lemas. Kamu saja yang nemui Rizal untuk membahas renovasi gedung di Sidoar
"Iya, Mas. Aku di rumah sekarang.""Kenapa? Kamu sakit?" Suara Hendy sarat rasa khawatir."Nggak. Emang lagi longgar saja. Makanya aku pulang. Nanti sibuk lagi di awal tahun." Elvira berbohong. Berusaha menyeimbangkan suaranya supaya Hendy tidak tahu kalau dirinya habis menangis. Eh, tapi bagaimana kalau Hendy bertanya pada Ranty?"Beneran karena itu?""Aku memang pengen istirahat di rumah. Pas nggak ada kerjaan juga. Jadi aku ngasih alasan pusing ke Ranty, Mas." Elvira tertawa kecil untuk hal yang sama sekali tidak lucu. Juga untuk menutupi kegundahannya karena membohongi Hendy."Kamu naik taksi tadi? Kenapa nggak nelepon Mas Asep saja untuk menjemput.""Nggak, Mas. Nanti kelamaan nunggu. Mesti ngambil mobil ke rumah dulu, baru menjemputku. Oh ya, aku mau masak. Bikin ayam kremes. Hari ini Mas pulang jam berapa?""Kalau sesuai jadwal. Sore mas sudah sampai di rumah.""Baiklah, kutunggu.""Oke. Nanti mas telepon lagi. Mas mau ke ICU sebentar, terus ke ruang bedah.""Iya.""Assalamu'al
Demi menjaga hubungan baiknya dengan Ranty, terpaksa ia berhenti kerja. Agar tidak sering bertemu Rizal juga. Sudah selayaknya ia menjauh, agar Rizal pun bisa membuka hati untuk insan baru. Soal impiannya, Elvira sudah mengikhlaskan. Seharian tadi dia berpikir dalam-dalam tentang hal itu.Tentang tanggungjawabnya pada pembangunan gedung baru, bisa ia limpahkan pada Ranty atau staf lain. Toh itu bukan pekerjaan yang susah. Hanya sekedar mengawasi dan berinteraksi dengan Rizal sebagai arsiteknya saja.Sekalipun ekspresi Elvira terlihat serius meyakinkannya, tapi Hendy tetap merasa ada sesuatu yang terjadi. Apa perlu ia menelepon Ranty untuk bertanya?"Mas masih ingat kalau kamu ingin memiliki brand tersendiri. Mas dukung kamu untuk merintis usaha sendiri. Mas akan mensupport secara materi juga.""Nggak semudah itu, Mas. Untuk buka usaha aku juga harus punya banyak pengalaman dan koneksi. Nanti, mungkin. Sekarang aku mau fokus sama rumah tangga kita."Hendy tersenyum bahagia. Meski keput
SEBELUM BERPISAH- Pertemuan Tahun BaruPutih, cantik, rambut terurai sebahu. Mengenakan blouse lengan panjang warna ungu dan celana jeans warna hitam. Arsita. Pak Bahtiar mengenalkan putri dan juga sang istri yang saat itu ikut serta.Gadis cantik dengan sapuan make up tipis di wajahnya itu tersenyum ramah pada Rizal.Mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Ketika Rizal datang, Pak Bahtiar sudah berada di sana. Tidak lama kemudian makanan yang di pesan Bu Bahtiar datang."Kamu mau minum apa, Zal?" tanya Pak Bahtiar."Es teh saja, Pak."Pak Bahtiar memanggil seorang pramusaji dan memesan minuman buat mereka."Mari, makan. Sambil ngobrol." Pak Bahtiar mempersilakan."Rizal, bener kamu anak tunggal?" tanya Bu Bahtiar."Sebenarnya saya punya adik perempuan, Bu. Tapi meninggal sesaat setelah dilahirkan.""Oh ...." Bu Bahtiar memandang Rizal dengan wajah ceria. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini, selalu dibicarakan bersama suaminya. Dia tertarik dengan kepribadian Rizal. Ternyata
Keduanya saling pandang dan tersenyum saat tubuh Elvira mendarat di sofa ruang keluarga. Hendy mengelap peluh yang membasahi pelipis istrinya. Lantas dia bangkit untuk mengambilkan air minum."Minum dulu!" Hendy membantu istrinya untuk minum, air sisa setengah gelas itu akhirnya ia habiskan dan meletakkan gelas kosong di meja depannya.Hendy mengambil remote TV dan menyalakannya. "Kapan jadi mengajukan surat pengunduran diri?" Hendy memandang Elvira yang fokus memandang layar bening. Meski pikirannya sedang tidak ke sana. "Dalam minggu ini, Mas. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dulu.""Bagaimana dengan projek pembangunan gedung baru?" Hendy yakin, ini salah satu pertimbangan kenapa istrinya memilih resign. Sebab Rizal terlibat di sana. Mungkin.Namun ia tidak akan mengorek lagi tentang pria itu. Elvira memilih mundur, tentu sudah menjadi nilai plus baginya. Berarti sang istri sudah berusaha untuk bertahan dalam pernikahan mereka. Hendy tidak akan mencari masalah dengan
Bu Salima membawakan secangkir kopi untuk Rizal yang kembali mengutak-atik motornya. Pulang dari bertemu dengan Arsita, Rizal kembali sibuk dengan motor tuanya."Bagaimana pertemuan tadi?" Bu Salima penasaran."Kami hanya ngobrol biasa, Bu. Bu Bahtiar juga ikut tadi. Mereka baik, ramah juga. Tanya-tanya tentang keluarga kita. Aku jawab apa adanya."Bu Salima diam sejenak. Memandang tangan Rizal yang sibuk membenahi motornya. "Bagaimana dengan Arsita?""Dia baik juga." Rizal menceritakan percakapannya dengan gadis itu. Bu Salima mengembalikan keputusan pada putranya. Dia tidak ingin memaksa, meski ingin sekali melihat Rizal segera membuka lembaran baru. Memang harus dipaksakan. Kalau menunggu sampai benar-benar bisa melupakan Elvira, terus kapan itu? Karena semuanya tidak akan gampang.Mungkin kehadiran gadis lain, perlahan akan membuat Rizal bisa meninggalkan masa lalunya. Sedangkan Rizal sendiri merasa sedang berdiri di persimpangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia d
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san