Elvira masih sibuk menyelesaikan konsep untuk promosi awal tahun depan. Semua harus direncanakan dengan matang. Tema apa yang bisa menjadi trending topik nanti. Tadi sehabis meeting, dia sempat ngobrol dengan Ranty dan Angel.Wanita yang sarat mengandung itu menyerahkan semuanya pada Elvira dan Ranty. Dia sudah tidak sanggup berpikir berat, karena harus mempersiapkan mental untuk persalinan. Kehamilan kedua ini memang agak rewel dan sempat mengalami plasenta previa."Mbak Angel, masih periksa ke dokter Herlina?" tanya Elvira tadi. "Masih, El. Karena sejak awal dia yang tahu kondisiku. Kalau pindah ke dokter lain, pasti memulai semuanya dari awal. Mbak nggak mau ribet. Maaf, bukan berarti mbak nggak bersimpati dengan permasalahan kalian dengan dokter Herlina. Tapi kondisi mbak kali ini memang nggak memungkinkan untuk ganti dokter. Apalagi usia kehamilan mbak sudah trimester akhir." Angel tampak serba salah dihadapan Elvira."Nggak apa-apa, Mbak. Jangan merasa nggak enak hati. Permasal
"Kalau nggak malam ini atau besok, ayahku dan kakakku ingin bertamu ke rumah. Untuk bertemu denganmu, juga ibu.""Untuk apa?" Dahi Rizal mengernyit heran.Elvira menunduk sejenak, kemudian menatap pria di depannya. "Untuk meminta maaf dan mengucapkan terima kasih. Kamu sudah menolongku waktu itu. Keluargaku banyak salah. Mereka seharusnya sudah meminta maaf padamu sejak dulu.""Nggak usah dipikirkan, El. Aku sudah melupakannya," kata Rizal sambil tersenyum kecil. Namun, Elvira tahu itu hanya cara Rizal menyembunyikan rasa sakitnya."Aku tahu bagaimana sakitnya dihina dan direndahkan. Keluargaku tidak adil padamu, padahal kamu telah melakukan hal yang luar biasa untukku. Aku sungguh merasa bersalah, Zal."Rizal tersenyum. "Nggak usah merasa bersalah. Aku melakukannya karena aku peduli padamu ... sebagai teman dan rekan kerja.""Makasih banyak.""Sama-sama. Aku pamit dulu. Kutunggu kabarnya.""Ya. Nanti kukabari kalau sudah ngobrol sama Mbak Angel." Rizal bangkit dari duduknya dan mela
SEBELUM BERPISAH - Maaf"Zal, tinggalin dulu kerjaanmu. Kita temui tamunya." Bu Salima bicara dengan nada tenang. Wanita itu masih mengenakan mukena karena sedang murojaah saat keluarga Pak Azman datang."Iya, Bu."Bu Salima ke belakang untuk membuatkan minum.Setelah mematikan layar laptop, Rizal masih duduk diam di kursi. Luka dalam dada kembali berdarah-darah rasanya. Dia sudah berusaha berdamai dengan kenyataan. Namun disaat dia sedang berjuang mengendalikan perasaan pada Elvira, kenapa harus dikorek lagi oleh orang-orang yang membuatnya terpisah dari perempuan yang sangat ia cintai.Rizal menarik napas dalam-dalam. Sekali, dua kali, berulang-ulang kali hingga ia siap kembali untuk berdiri.Saat Rizal muncul, Pak Azman spontan bangkit dan memeluknya. Lelaki itu menangis hingga tubuhnya terguncang. Dia ingat saat menentang hubungan Elvira dan Rizal, ingat bagaimana Rizal masih sudi mengulurkan bantuan bahkan nyawa sebagai taruhannya. Rizal hanya mematung, tangannya diam di sisi tu
Rizal menarik napas panjang. Melonggarkan tenggorokan yang tersumbat emosi. "Tapi jangan khawatir, Pak Azman dan Mas Arman. Pada akhirnya saya pun sadar diri setelah melihat Elvira bahagia dengan suaminya. Dokter Hendy pria yang baik. Elvira memang lebih tepat bersamanya daripada bersama saya."Perkataan Rizal yang merendahkan diri sendiri itu kian menambah sesak hati Pak Azman. Lelaki itu menangis. Hasna kian tersedu-sedu. Bu Salima juga meneteskan air mata. "Kamu lelaki sejati, Zal. Tidak semua lelaki bisa bersikap sepertimu. Setelah dihina, dipisahkan dari gadis yang kamu cintai, tapi masih sudi menolong tanpa pamrih. Aku nggak meragukanmu. Sampai kamu mempertaruhkan nyawa untuk menolong Elvira." Amar yang bicara."Karena dia seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya, Mas. Walaupun dia bukan milik saya," jawab Rizal tanpa ragu."Saya bisa seperti sekarang ini karena termotivasi olehnya. Walaupun pada akhirnya, kami nggak bisa bersama," lanjut Rizal dengan nada pelan.Kesediha
Bu Salima menyeka air mata. "Jadi dokter yang datang beberapa kali ke rumah kita itu, suaminya Elvira, Zal?""Iya. Dia dokter Hendy. Dia selalu ke sini karena bertanggungjawab atas yang terjadi padaku." Rizal menceritakan serentetan peristiwa yang dialami oleh Elvira. Namun ia tidak bercerita saat melawan preman sendirian hingga terluka. Rizal bilang kalau sabetan itu tak sengaja. Supaya ibunya tidak khawatir."Dokter itu baik. Tapi wanita yang terobsesi padanya sungguh berbahaya. Terus El bagaimana?""Yang berniat jahat sudah tertangkap, Bu. Jadi Elvira sudah aman.""Ya Allah El," gumam Bu Salima lirih memanggil nama Elvira. Tak sedikit pun ia bilang kalau ini karma atas perbuatan keluarganya.Rizal mengeratkan rangkulan. "Dampingi aku terus, Bu. Jangan bosan untuk selalu mengingatkanku. Agar aku tidak lupa, kalau Elvira sudah menjadi istri pria lain."Selama ini aku bekerjasama dengan kantor Elvira. Jadi kami sering bertemu. Sebenarnya aku tersiksa, Bu. Tapi ini pekerjaan. Ikutkan h
SEBELUM BERPISAH - I Love You Hendy meraih ponselnya yang tadi di cabut dari charger. Ia menelepon seseorang seraya memperhatikan Elvira. "Tunggu sebentar, Mas," ucapnya singkat di telepon. Lantas meletakkan kembali ponselnya di atas meja."Siapa, Mas?" Elvira penasaran. Dia bertanya sambil mengunyah nasi."Selesaikan dulu makanmu, setelah itu kita baru keluar," ujar Hendy.Dua suapan lagi, Elvira selesai makan. Penasaran dengan kejutan apa yang hendak diberikan oleh suaminya. Hendy meraih lengan sang istri, usai Elvira minum air putih. Mengajaknya keluar rumah. Lelaki itu membuka pintu pagar dan sebuah mobil mini SUV warna putih susu memasuki garasi dan parkir di samping mobil hitam milik Hendy."Mini SUV ini, milik kamu," kata Hendy seraya memandang istrinya. Elvira terbeliak tidak percaya, karena ia sudah pernah menolak dibelikan kendaraan. Apa karena ia hamil, lantas Hendy memberikan surprise?Seorang laki-laki berperawakan sedang turun lantas memberikan kunci mobil pada Hendy.
"Terima kasih ya, Mas." Elvira memandang Hendy dengan tatapan redup. Hendy tersenyum. Meraih dagu Elvira lantas dikecupnya. Hendy menyentuh pipi Elvira, mengusapnya dengan pelan. Tatapannya dalam, seolah ingin menembus semua keraguan yang mungkin masih tersisa di hati istrinya. "El, malam ini kita merayakan kehamilanmu. Bukan hanya sebagai calon orang tua, tapi juga sebagai suami istri yang benar-benar saling memiliki."Elvira merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Kalimat sederhana itu, diucapkan dengan nada rendah namun penuh keyakinan. Raganya mulai menghangat saat Hendy menciumnya lebih dalam.Sebuah ciuman yang kian menuntut. Apa yang mereka kenakan sudah berpindah entah ke mana. Tangan besar Hendy melingkupi jemari mungilnya Elvira. Mereka menikmati malam itu disaat gerimis mulai turun di luar sana.Meski jauh di dalam hati Hendy, masih merasakan sisa-sisa kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan. Apa hati Elvira sudah berpindah sepenuhnya pada dirinya? Ia yakin kalau belum. Men
"Coba kalau dokter Hendy jahat, apa Mas nggak tambah nyesel misahin El sama Rizal. Rizal itu laki-laki yang tahu tanggungjawabnya sebagai lelaki. Dia bekerja keras agar bisa menafkahi dan memantaskan diri buat, El. Sayangnya kita nggak ngasih kesempatan ke dia."Semua sudah terjadi. Yang kusesali cuman cacian Mas pada mereka. Nggak habis pikir aku, Mas." Hasna bangkit dari kursi meja rias, hendak berbaring di ranjang. Namun Arman meraih dan memeluknya. "Maafkan aku, Ma.""Sudahlah, Mas. Aku mau tidur!" Hasna melepaskan tangan sang suami dengan paksa, kemudian berbaring di sisi ranjang yang lain.Arman diam membeku. Ya, dia sadar sudah keterlaluan selama ini. Terbayang jelas wajah Bu Salima yang teduh, tanpa kebencian dan dendam. Kemudian terbayang almarhumah ibunya juga. Arman menangis. Tubuhnya terguncang pelan. Hasna tahu, tapi dia memilih diam. Biar suaminya menyesal dan introspeksi diri.***L***Kabar kehamilan Elvira disambut suka cita oleh dua keluarga. Bu Putri meminta anak dan
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san