SEBELUM BERPISAH - MinderBu Salima bernapas lega melihat Rizal dan Amelia pulang membawa belanjaan."Apa tadi antri, kok kalian lama banget?" tanya Bu Salima ketika mereka ada di meja makan. Rizal menaruh belanjaan di sana."Kami langsung mampir belanja, Bu.""Terus hasil pemeriksaannya bagaimana?" Bu Salima mengangsurkan air hangat pada Amelia. Wanita itu duduk di kursi dekat menantunya yang tampak pucat. Sejak tadi pagi, Amelia memang beberapa kali muntah. Bu Salima menyarankan ke Rizal supaya membawa sang istri periksa ke klinik yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Perasaannya mengatakan kalau Amelia mungkin saja mengandung. "Alhamdulillah, Amelia positif hamil, Bu."Wajah Bu Salima langsung sumringah. Sekaligus terucap hamdalah dari bibir tuanya berulang kali. Doanya terkabul. Dia sangat berharap segera diberikan cucu. Supaya Rizal juga benar-benar bahagia dan pergi jauh dari masa lalunya.Amelia ikut terharu melihat netra ibu mertuanya berkaca-kaca. Dia pun tidak menya
"Nggak, Mbak. Sudah lama banget beliau nggak di sini. Pulang kalau ada acara keluarga atau pas lebaran.""Bapak, tahu di mana sekarang Pak Kuswoyo tinggal?""Nanti saja Mbak tanyakan pada keluarganya. Mbak, ini siapa dan dari mana?" Tatapan lelaki mulai menyelidik saat Agnes bertanya tentang Pak Kuswoyo secara detail."Saya dari Jawa Timur, Pak.""Jawa Timur? Jauhnya. Apa kamu anaknya Pak Kus?""Bukan. Baiklah, Pak. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya permisi dulu, Pak." Agnes menangkupkan kedua tangannya seraya membungkuk sebagai tanda hormat. Dijawab anggukan kepala oleh lelaki itu."Bagaimana?" tanya Herlina saat sang adik kembali ke mobil."Bener ini desa yang kita cari, Mbak." Agnes melajukan mobil sambil menceritakan percakapannya dengan bapak tadi. "Laki-laki tadi tahu kalau Pak Kus punya anak di Jawa Timur."Jantung Herlina makin berpacu hebat. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar. Agnes melajukan mobilnya dengan perlahan. Jalanan aspal itu sudah mulai rusak. Bany
"Kita ini bersaudara, Mbak. Harus saling mendukung dan membantu," jawab Agnes sambil tersenyum."Ya." Herlina mengangguk pelan. Dalam hati berdoa semoga kali ini ia bisa bertemu papa kandungnya. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari papa kandungnya, tetapi juga tentang menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri setelah bertahun-tahun tidak peduli pada lelaki yang telah mengukir jiwa raganya.Azan maghrib berkumandang sebelum mobil Agnes keluar dari desa. Gadis itu mengajak sang kakak mampir di sebuah masjid yang menaranya tampak dari jalan.Mobil belok kiri di sebuah pertigaan. 30 meter kemudian, mereka berhenti di halaman masjid yang halamannya ditumbuhi pohon sawo. Herlina turun dan memperhatikan sekeliling. Ini masjid besar yang dimaksud bapak di warung tadi. Tapi yang mana bekas tempat tinggal keluarga papanya?Beberapa jamaah yang berdatangan tampak asing memperhatikan Herlina dan Agnes. Dua gadis itu tersenyum ramah pada para warga yang memandang.Usai salat, Herlina dan Ag
SEBELUM BERPISAH- Titik Balik "Nes, ayo pergi!" Herlina menarik tangan adiknya. Namun Agnes masih diam. Memandang ke celah pagar."Mbak datang jauh-jauh dari Surabaya ke sini untuk mencari papamu, kan? Kenapa harus pergi setelah kita menemukannya." Agnes memandang lekat sang kakak. Wajah Herlina tampak pucat saat itu."Mbak, kan nggak sendirian. Ada aku. Ayolah!"Herlina melangkah meninggalkan sang adik. Masuk ke dalam mobil. Sedangkan Agnes masih mematung di depan pagar. Sebenarnya dia pun bisa merasakan bagaimana perasaan kakaknya. Ini persis yang ia alami ketika harus datang ke rumah papa dan mama tirinya. Merasa tidak pantas masuk ke rumah megah mereka.Setelah beberapa saat terdiam. Akhirnya Agnes menyusul sang kakak masuk ke dalam mobil."Kita sudah sampai sini, Mbak. Kenapa harus pergi. Kesempatan nggak akan datang dua kali. Mbak, kan nggak sendirian. Ada aku." Agnes berusaha untuk terus membujuk.Napas Herlina terasa berat. "Aku nggak yakin, Nes. Kayaknya aku nggak pantas ke
Herlina dan Agnes mempercepat langkah kemudian duduk menunggu. Terdengar suara tawa anak kecil jauh di belakang. Gambaran kebahagiaan terdengar begitu jelas.Dari tempatnya duduk, Herlina memandang ruang tamu yang begitu indah. Lantai marmer putih mengkilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal yang menggantung megah di tengah ruangan. Sofa berbahan kulit dengan warna krem diletakkan di tengah, dilengkapi meja kayu berukir halus. Dinding ruangan ada lukisan-lukisan klasik yang menambah kesan mewah.Dada Herlina berdegup kencang, saat melihat Pak Kuswoyo muncul dari arah dalam rumah. Memakai kacamata, rambutnya sebagian sudah memutih, tetapi tubuhnya masih tegap. Wajahnya menunjukkan sikap ramah, meskipun tatapannya penuh rasa penasaran."Assalamu'alaikum, Pak!" Agnes yang lebih dulu menyapa sambil menyalami dan mencium tangan."Wa'alaikumsalam," jawab Pak Kuswoyo kemudian mengalihkan perhatian pada Herlina. Memandang sambil mengingat seseorang. Namun tidak seberapa yakin. Laki
Meskipun Herlina dan Agnes ditawari untuk menginap, mereka dengan sopan menolak. Herlina merasa malu tinggal lebih lama di rumah itu. "Terima kasih, Pa, Bu, atas sambutannya. Tapi kami harus pulang malam ini," ujarnya sambil tersenyum kaku.Pak Kuswoyo tampak sedikit kecewa, tetapi ia tidak memaksa. "Baiklah, Nak. Tapi jangan sungkan untuk datang lagi. Rumah ini selalu terbuka untukmu," katanya tulus."Sebelum kembali ke Surabaya, saya akan mampir ke sini lagi.""Ya, papa tunggu."Keluarga Pak Kuswoyo mengantarkan mereka hingga ke pintu pagar. Melambaikan tangan saat mobil melaju meninggalkan depan rumah. Herlina menatap rumah megah itu dari kejauhan. "Mereka terlalu baik, Nes. Mbak malu," gumamnya dengan suara serak.Agnes memandang kakaknya. "Mbak, semua orang berhak mendapat kesempatan kedua. Kamu sudah memulainya hari ini. Itu yang terpenting," jawab Agnes. "Mereka semua baik dan ramah.""Iya."***L***Malam itu di kamar kos Agnes, Herlina berbaring sambil memandangi langit-langi
SEBELUM BERPISAH- Dokter KecilBu Karlina memperhatikan foto yang ditunjukkan oleh Herlina di layar ponselnya. Malam di pertemuan pertama, Herlina melakukan foto bersama keluarga papanya sebelum pulang ke kosan Agnes."Papa sudah punya cucu. Usia cucu perempuannya belum genap dua tahun," ujar Herlina. "Bu Fatimah sangat ramah, Ma. Nizam sepertinya pendiam. Kalau Aulia humble. Usia Aulia selisih dua tahunan dari Agnes. Nizam masih menyelesaikan S2-nya."Selama Herlina bercerita, Bu Karlina tidak menanggapi sepatah kata pun. Dia hanya memandang sang anak yang sedang bicara. Dalam hati mengakui, Pak Kuswoyo adalah lelaki yang baik. Sudah selayaknya mantan suaminya mendapatkan kebahagiaan untuk sekarang ini. Di masa tua dirinya berada di titik terendah, sedangkan mantan suaminya hidup tenang berkecukupan.Wanita itu meremas ujung dasternya. Tidak sanggup berkata-kata. Hatinya berdenyut nyeri. Di masa lalu ketika ia menikah dengan Pak Kuswoyo, semuanya serba sulit. Ekonomi pas-pasan dan k
Tanpa kata-kata, Bu Karlina meremas tangan Herlina dengan penuh kasih, seolah-olah ingin berkata bahwa ia mendukung apa keputusan anaknya. Apalagi sikap Herlina sudah banyak berubah padanya.Sementara Herlina sendiri, berpikir keras bagaimana mengumpulkan kembali keberanian untuk meminta maaf pada Hendy dan Elvira.Di luar jendela sana, langit mulai berubah jingga. Sinarnya menerobos ruang tamu dengan cahaya hangat. Sore itu untuk pertama kalinya, mereka berdua merasa ada harapan baru yang menyusup di antara keterpurukan dan rasa bersalah yang selama ini menghantui mereka.***L***Empat bulan kemudian ....Malam itu suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga rumah Hendy. Di sofa besar berwarna abu-abu, Hendy sedang berbaring.Sementara di atas meja ada koper mainan kecil berwarna biru dengan gambar stetoskop dan suntikan di depannya. Isinya perlengkapan medis mainan, mulai dari stetoskop plastik, termometer, palu refleks mini, dan bahkan sebuah jarum suntik mainan.Keenan tampak s
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san