Setelah itu Rizal mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia ingin melamar Amelia segera, tanpa menunggu terlalu lama. Baginya Amelia adalah jawaban atas doa-doa ibunya selama ini. Karena Rizal nyaris tidak pernah berdoa tentang jodoh setelah kehilangan Elvira. Dia hanya ingin menjadi orang sukses dunia akhirat.Dan dua bulan lalu, ia sengaja datang ke Jakarta khusus untuk bertemu papanya Amelia. Pak Andra sama sekali tidak keberatan. Dia sudah tahu banyak tentang Rizal dari cerita putrinya.Amelia juga mengenalkan dirinya pada keluarga dari pihak sang mama. Meski itu sebenarnya tidak penting bagi Amelia. Yang penting restu dari papa dan adiknya. Langkah Rizal semakin mudah. Dalam waktu dekat ia akan melamar Amalia sekaligus merencanakan pernikahan.***L***Malam itu Keenan sudah terlelap. Selimut bergambar dinosaurus menutupi tubuh kecilnya yang lincah. Elvira duduk di atas tempat tidur, menyandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan debara
SEBELUM BERPISAH- Malam di Nusa Dua"Sayang, sini. Mas mau ngasih tahu sesuatu." Hendy memanggil istrinya untuk diajak duduk di kursi teras belakang.Elvira mengikuti langkah suaminya. Saat itu Keenan sedang bermain dengan kakek dan neneknya sambil nonton kartun.Wanita itu memandangi layar ponsel yang memperlihatkan undangan digital dari Rizal. Di sana tertulis dengan jelas, undangan makan malam perayaan pernikahan Rizal dan Amelia. Di salah satu restoran ternama di Surabaya, minggu depan. Sepertinya tidak ada resepsi di Surabaya, hanya di Jakarta saja.Berbagai rasa menyeruak dalam dada. Akhirnya Rizal memutuskan menikah di usianya yang ketiga puluh tahun. Pria itu juga bisa menempatkan keputusan, dengan mengirimkan undangan pada Hendy, bukan padanya. Rizal menghargai keberadaan Hendy sebagai suaminya.Hendy yang duduk di samping melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Dia seolah bisa merasakan apa yang ada di benak Elvira. Elvira tersenyum tipis. "Aku bahagia untuk Rizal. Akhir
Namun perhatian Hendy sepertinya tidak sepenuhnya tertuju pada film. Alih-alih menatap adegan romantis yang tersaji di layar, ia justru lebih sibuk menggenggam tangan istrinya yang terpaku pada layar lebar. Memperhatikan wajah yang terlihat semakin cantik dalam temaram cahaya bioskop.Ketika akhirnya film selesai, Elvira dan Hendy turun ke lantai bawah. Mereka berjalan menuju supermarket. Hendy mendorong troli, sementara Elvira sibuk memilih barang yang hendak mereka beli."Mas, tadi niat nonton nggak, sih," tegur Elvira sambil memilih snack. Karena Hendy sibuk menggoda dirinya daripada menonton film yang diputar."Mas sebenarnya lebih suka nonton film action daripada romantis.""Lah, tadi kenapa ngajak nonton." Elvira memandang suaminya."Kamu kan suka film romantis. Lagian yang penting kita bisa kencan," bisik Hendy yang membuat Elvira mencubit perut suaminya. Hendy tidak kaget lagi. Sudah terbiasa dengan kebiasaan istrinya. Untung filmnya bagus, jadi waktu 115 menit tidak terbuang
Siang itu resepsi pernikahan mereka dirayakan dengan meriah di ballroom hotel berbintang lima. Musik lembut mengiringi tamu-tamu yang menghadiri acara. Rizal dan Amelia berdiri di atas pelaminan diapit orang tua masing-masing. Menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman kerja.Namun meski suasana penuh kebahagiaan, Rizal merasa sedikit kehilangan. Hanya ada ibunya, Pak Haji serta Bu Haji dari pihak keluarganya. Tanpa kehadiran sang ayah yang sudah lama berpulang.Keesokan harinya, jam enam pagi Rizal, Amelia, Bu Salima, Pak Haji, dan Bu Haji sudah berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Rizal dan Amelia langsung terbang ke Bali untuk berbulan madu. Sementara ibu dan dua tetangga mereka kembali ke Surabaya.***L***Langit Nusa Dua Bali siang itu agak mendung. Angin lembut dan sinar matahari memercikkan kilauan ke permukaan air laut. Rizal menggenggam erat tangan Amelia saat mereka melangkah ke villa tepi pantai, tempat mereka akan menghabiskan beberapa hari berbulan madu.Vill
SEBELUM BERPISAH- Malam Perayaan Rizal, Amelia, dan Bu Salima menyambut kedatangan keluarga Amelia yang baru tiba di restoran. Di antar oleh mobil, fasilitas dari pihak hotel.Keluarga inti Amelia datang dari Jakarta tadi pagi dan menginap di hotel yang tidak jauh dari restoran tempat acara. Seharian mereka berkumpul di rumah Bu Salima dan kembali ke hotel menjelang sore.Amelia dapat bingkisan kado dari ayah tirinya yang tidak mungkin bisa datang karena sakit. Ketika Bu Marina jatuh sakit, lelaki itu juga sakit. Lalu dibawa pulang dan dirawat oleh keponakannya sendiri.Tidak lama kemudian para tamu undangan juga berdatangan. Atasan, rekan kerja, para tetangga, juga Angel bersama suami dan dua anaknya.Ranty juga hadir bersama suami. Wanita itu langsung menyalami Rizal dengan mata berkaca-kaca. Dia terharu. "Selamat ya, Zal. Semoga kalian menjadi keluarga yang bahagia dunia akhirat."Rizal tersenyum menggenggam erat tangan sahabatnya. "Makasih banyak, Ran." Keduanya sama-sama terse
Terbesit cemburu, tapi baginya itu hal yang wajar. Semua sudah menjadi masa lalu. Suami Elvira juga terlihat smart dan family man. Seorang dokter pula. Tampan dan gagah.Keenan menyalami Bu Salima. Wanita sepuh itu pun langsung menciuminya. Ini kali pertama Bu Salima melihat anaknya Elvira."Selamat menempuh hidup baru, Mas Rizal. Semoga bahagia selalu.""Terima kasih banyak, Dok." Rizal tersenyum saat bertatap pandang dengan Hendy. Lantas ia mengalihkan perhatian pada Elvira yang melangkah di belakang suaminya."Zal, Happy wedding. Semoga menjadi pasangan dunia akhirat, langgeng sampai ke surga." Doa tulus Elvira untuk mantan terindahnya. Rizal menggenggam erat tangan itu. Jujur saja, dadanya terasa sesak meski tidak mengurangi kebahagiaannya. Tapi perasaan itu hanya dia yang tahu dan sungguh rumit. Senyum Elvira saat menatapnya sejenak, serasa kembali menggores bagian hatinya yang lain. Dia tidak ingin seperti ini, semua muncul begitu saja. Namun Rizal sangat tahu diri, ia sudah pu
"Gimana dengan rencanamu untuk kembali berkarir. Tadi malam Mbak Angel bilang, siap menerimamu sewaktu-waktu atau join kerjasama."Elvira tersenyum. "Entahlah, Ran. Bayangin ngurus dua bayi aja rasanya dah repot banget. Nggak tahu nanti kalau anak-anak dah pada sekolah.""Apalagi aku, El. Wis gak kepikiran untuk kembali mendesain. Di sana aku benar-benar mandiri dengan Mas Yogi. Apa-apa sendiri, jauh dari kerabat. Dijalani aja.""Yang penting kita tetap sehat, rukun dengan pasangan, dan saling pengertian, Ran.""Iya, kamu benar. Dulu kita mengira, karir adalah segalanya. Tapi setelah punya suami dan anak, pandangan kita sudah berbeda. Ya udah aku pulang dulu. Mau mampir minimarket untuk beli diaper." Ranty memeluk sahabatnya. Saat itu mereka sudah ada di teras. Elvira memperhatikan hingga motor Ranty menjauh.Dalam percakapan tadi, mereka sama sekali tidak menyinggung tentang Rizal dan dinner tadi malam. Ranty tidak ada niat mengungkit dan Elvira pun tidak membahas. ***L***Hujan rin
SEBELUM BERPISAH - Yang Tertunda"Maaf, jangan khawatir. Saya nggak berniat mengganggu." Bu Karlina menangkupkan kedua tangannya seraya agak membungkuk. Dia berhenti beberapa langkah dari meja tempat Elvira dan Hendy berada.Elvira tadi spontan merangkul Keenan yang duduk di baby chair di antara dirinya dan Hendy. Jantungnya berdegup kencang. Sedangkan Hendy berdiri lebih merapat pada istri dan anaknya."Saya hanya ingin meminta maaf," ujar Bu Karlina pelan. Tidak berani menatap mereka. "Tolong beri waktu saya sebentar saja," pintanya memohon.Sejenak Elvira dan Hendy saling pandang. Hingga isyarat yang diberikan oleh Elvira, membuat Hendy paham dan kembali duduk. "Silakan duduk, Bu."Wanita yang penampilannya jauh berbeda dari beberapa tahun lalu, menarik kursi lantas duduk. Menaruh barang bawaannya di lantai. Dia sungguh berbeda. Tidak sebersih dan seglamor dulu. Pakaiannya sederhana. Blouse dengan motif kembang-kembang dan celana kain warna hitam. Rambutnya di sanggul biasa. Tidak
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san