“Mbak, beli sayur kentangnya lima ribu sama tempe lima biji, ya,” ucap Rini yang tengah berdiri berjejal dengan beberapa ibu-ibu di rumah Sari – penjual sayur matang yang terletak tepat di seberang rumahnya.
“Lima ribu enggak dapat sayur kentang! Mending beli sayur bening aja, nih dapet seplastik! Lumayan kalo sekali makan airnya di kasih dua sendok, bisa buat sampe sore,” jawab Sari ketus sembari menyodorkan satu bungkus sayur bayam.“Tapi Bayu kepingin sayur kentang, Mbak. Dapet sedikit enggak apa-apa, kok.” “Kentang mentahnya aja udah mahal, apa lagi ini ditambah krecek sapi, apa mau kuahnya aja? Lagian enggak punya uang enggak usah sok-sokan kepengin sayur kentang. Kamu itu lebih baik makannya sama garam, biar irit. Jadi sisa uangnya bisa ditabung buat beli baju. Lihat tuh, seragam Bagus, lap mejaku aja lebih bersih dari baju anak kamu. Baru kelas satu kok bajunya udah jelek gitu, jangan-jangan itu bekas bapaknya jaman dulu,” ejek Sari menunjuk pada anak berseragam putih merah yang berdiri di samping Rini.Ya, seragam itu memang itu memang seragam bekas Ari, kakaknya yang sekarang sudah duduk di kelas lima. Walaupun warnanya sudah tak terlalu putih tapi menurutnya masih cukup baik untuk dipakai.“Aku mau makan sama sayur kentang, Ma,” rengek Bagus sambil terus menarik-narik ujung baju Rini.“Udah-udah, nih aku kasih segini! Udah sana pulang, nanti pelangganku pada kabur kalo Cuma ngurusin kamu sama anakmu yang ingusan itu.” Sari menyerahkan plastik berisi dua sendok sayur kentang dan tempe lima biji pesanan Rini.“Terima kasih, Mbak,” ucap Rini menyerahkan lima lembar uang dua ribuan yang langsung di sambar oleh Sari.“Kalo makan diirit-irit. Ingat besok juga masih makan,” sindir Sari setelah Rini berjalan beberapa langkah meninggalkan rumahnya. **Rini membuka pintu rumahnya yang sudah tak lagi pas dengan bingkainya. Kalo saja pintu itu bisa bicara, pasti ia sudah menangis karena sudah banyak sekali paku yang tertancap di badannya agar ia tetap berdiri di tempatnya. Di rumah tua peninggalan mertuanya inilah ia hidup dan membesarkan anak-anaknya. Ia bergegas menuju dapur dan mengambil dua piring nasi kemudian meletakkannya di depan Bagus dan Ari yang tengah duduk manis di ruang tengah. Wajah keduanya berbinar tatkala Rini menuangkan sayur kentang ke masing-masing piring mereka dan tak menunggu lama kedua kakak beradik itu langsung memakannya dengan lahap.Rini menatap nanar pada sayur kentang seharga lima ribu yang mungkin hanya dua sendok itu. Bukan sekali dua kali Rini di cibir oleh Sari perihal sayur yang di belinya. Entah mengapa tetangga depan rumahnya itu suka sekali meremehkannya, padahal berapa pun yang Sari berikan ia tak pernah protes.Hidup sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak yang hanya mengandalkan kiriman uang sebesar satu juta dari suaminya, membuatnya harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhannya. Bahkan ia rela bekerja apa saja untuk menambah uang belanja.“Ma, besok beli telur puyuh yang di tusuk-tusuk itu, ya,” ucap Bagus setelah semua nasi dalam piring masuk ke dalam perutnya.“Jangan aneh-aneh, makan sama tempe aja, mama lagi enggak punya duit. Lagian nanti tante Sari pasti ngomel-ngomel lagi kali mama belinya sayur yang enak terus,” timpal anak sulung Rini.Walaupun baru menginjak kelas lima sekolah dasar, Ari sudah mengerti keadaan orang tuanya. Bahkan ia sering kali melarang mamanya agar tidak membeli makanan di tempat Sari agar tidak selalu di hina.Orang tua mana yang tak ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, begitu juga Rini. Di tengah keterbatasannya ia ingin sesekali menuruti kemauan anaknya. Bagus – anak bungsunya yang memang terkenal suka makan enak, sering kali memintanya masak makanan yang bahannya saja sudah bikin kantong menjerit. Ayam, telur dan daging bagi Rini adalah makanan yang sangat mahal karena belum tentu sebulan sekali ia masak makanan itu. Untuk menuruti kemauan Bagus, Rini sesekali membeli lauk matang di tempat Sari walau hanya sepotong di bagi dua. Jangan ditanya mengapa ia lebih suka beli matang ketimbang mentahnya karena ia tak harus menambah bumbu, minyak dan lain sebagainya. Seminggu berlalu, sekarang adalah hari jum’at itu artinya jadwal Rini membeli makanan enak untuk anak-anaknya. Selain menu harian yang hanya sayur, tahu dan tempe, Rini memang menjadwalkan paling tidak seminggu sekali anaknya bisa makan enak."Mbak sate telurnya dua tusuk," ucapnya pada Sari. "Sepuluh ribu," jawab sari ketus sembari memberikan dua tusuk sate telur puyuh yang berisi empat telur masing-masing tusuk."Minta plastiknya, Mbak." "Halah, jalan dari sini ke situ doang minta plastik. Nih! Lumayan nanti bumbu yang nempel bisa buat lauk sama kamu." Sari melemparkan sebiji plastik bening yang sudah di remas.Rini mengembuskan nafas kasar. Entah apa salahnya hingga Sari terus saja menghina, padahal ia membeli bukan hutang atau minta."Eh, bawa apa kamu itu?" Langkah Rini terhenti tatkala wanita berdaster hijau mencegatnya."Sate telur, Mbak." Rini menunjukkan makanan di tangannya.“Oh, pantas saja uang yang dikirim Budi selalu habis, lah kamu makannya enak terus. Kamu itu harus pinter-pinter ngatur uang, kasihan adikku banting tulang di negeri orang, malah istrinya di sini enak-enakkan habisin uangnya,” cibir Farida kakak ipar Rini.“Ini Cuma seminggu sekali, Mbak. Kasihan anak-anak kalo makan tahu tempe terus.”“Halah, dasar kamunya aja pemboros. Lihat tuh istrinya si Eni yang suaminya kerja di luar negeri, dia pinter ngatur uang, nyatanya rumahnya bisa bagus, bisa beli motor keluaran terbaru, setiap tahun beli sawah. Lah kamu, hasilnya mana? Cuma numpuk di jamban.”“Rejeki orang kan beda-beda, Mbak. Lagi pula gajian Mas Budi sama suaminya Eni kan jelas beda. Mas Budi kan Cuma buruh, sedangkan suaminya Eni kerjanya di kapal,” jawab Rini pelan.“Makanya kamu jadi perempuan juga harus kreatif, kerja, jangan cuma jadi peliharaan doang yang kerjanya makan tidur.”Tak ingin memperpanjang urusan, Rini memilih untuk segera pulang. Lagi pula meladeni orang macam Farida enggak akan habis dua hari dua malam. Kakak iparnya itu memang termasuk geng sosialita di kampungnya yang suka menguliti hidup seseorang termasuk dirinya.**“Owalah, Rin, Rin, hidupmu kon ngenes terus, sih?” celetuk Wulan yang tengah berkunjung ke rumah Rini. “Ya mau gimana lagi,” jawab Rini santai sambil terus menikmati sarapannya yang sudah terlambat.Rini menuangkan air segelas penuh lalu meneguknya hingga tandas. Hari ini ia terpaksa sarapan dengan sayur sisa semalam, ia terpaksa harus lebih berhemat karena uang kiriman dari Budi tak kunjung datang. Biasanya suaminya rutin mengirim uang setiap tanggal lima, tapi sudah hampir tengah bulan kiriman itu tak kunjung datang. Untung saja seminggu ini ia bekerja di rumah Bu Riyati, seorang janda yang tinggal tepat di sebelah rumahnya.“Kamu itu bodoh apa gimana sih? Masa lakinya kerja di luar Cuma di kasih duit sejuta mau-mau aja. Jangan-jangan ada yang enggak beres sama si Budi. Apa jangan-jangan dia udah nikah lagi di sana. Dah lah mending cerai aja, lagi pula banyak kok laki-laki yang mau sama kamu,” cerocos Wulan sembari terus membenahi dandanannya.Wulan memang satu-satunya tetangga yang sudi berteman dekat dengan Rini. Wanita yang suka berdandan menor dengan make up murahan itu sering kali datang hanya untuk mengobrol dengan Rini.“Lihat tuh, si ina, dia ternyata jadi simpanannya juragan karyo, pantas saja duitnya banyak, apa-apa bisa beli. Udah dikirimi suaminya, dapar jatah juga dari pacarnya.” “Sory ya, aku bukan cewek kayak gitu. Walaupun miskin, tapi aku masih punya harga diri. Emang Ina enggak takut di labrak mak lampir istri juragan karyo?”“Halah, kalo pelakor dilabrak istri sah itu udah biasa, yang penting dari belakang lancar duitnya.”Rini tak menyahut omongan Wulan, ia sudah terbiasa dengan omongan wulan yang tak berfaedah yang sering kali menyarankan Rini untuk mencari lelaki lain dari pada menunggu Budi yang tak jelas duitnya. Tak terasa hampir satu jam mereka mengobrol sambil menikmati rujak pepaya mengkal yang di bawa Rini. Walaupun obrolan tak jauh-jauh dari ghibah, tapi tingkah absurd sahabatnya itu bisa sedikit mengalihkan pikiran Rini. Setelah Wulan pulang, Rini bergegas menuju dapur untuk memasak masakan siang sekaligus makan malam untuk anak- anaknya. Wajahnya terlihat semringah tatkala melihat seikat kangkung, dua papan tempe dan sebungkus kerupuk pemberian Wulan tergeletak di atas meja. Walaupun tingkahnya tak jelas dan terkesan centil, tapi Ibu dari tiga anak itu benar-benar sangat membantu Rini karena hampir setiap ia berkunjung ke rumahnya pasti membawa makanan, entah mentang atau matang.Namun Rini wajah Rini murung saat melihat botol minyak yang sudah kosong, juga bumbu-bumbu yang hanya tersisa beberapa biji. Ia juga menarik nafas dalam mengingat sudah hampir satu bulan gasnya belum di ganti, itu artinya sebentar lagi pasti akan habis. Rini mengurungkan niatnya memasak dan bergegas masuk ke kamar. Ia mengambil dompetnya di atas meja dan menghitung beberapa lembar uang sisa hasil upah bekerja di rumah Bu Riyati. Sebenarnya uang tersebut cukup untuk membeli bahan masakan, namun ia mengurungkan niatnya saat mengingat belum membayar iuran listrik juga beberapa kebutuhan sekolah anak-anaknya. Rini berbalik dan menyambar ponsel usang yang layarnya sudah retak di beberapa bagian, alat satu-satunya untuk berhubungan dengan suaminya. Ia melempar kasar ponselnya ke atas ranjang saat ia tak menemukan pesan yang ia harapkan, pesan pemberitahuan uang masuk dari bank. Yang lebih membuatnya pusing, suaminya belum membalas pesannya sejak dua hari yang lalu.Di tengah kekalutan hatinya Rini bangkit kemudian berjalan ke arah lemari. Ia mengambil sesuatu di bawah tumpukan bajunya tepatnya di rak paling bawah. Ia mengeluarkan sebuah tas kecil dan mengeluarkan semua isinya. Lebih dari sepuluh amplop berisi beberapa lembar uang merah yang di berikan seseorang padanya. Dengan tangan gemetar Rini mengambil uang dari salah satu amplop tersebut dan membukanya. Dinding matanya menebal tatkala ia menghitung ada lima belas lembar uang berwarna merah, itu artinya jumlahnya lebih dari jatah uang bulanan yang di berikan suaminya. Ia menarik nafas panjang sembari mendongak agar bulir bening dari matanya tak jatuh. Dengan keadaan seperti ini, mungkin sudah saatnya ia melanggar sumpahnya untuk tak pernah memakai uang itu.“Rin-Rini, kamu di dalam enggak?” Suara seorang wanita menggema dari pintu depan rumah Rini.“I-Iya, Sebentar!” Dengan sigap Rini langsung memasukkan kembali uang-uang tersebut ke dalam amplop dan meletakkannya di tempat semula. Rini menyambar hijabnya kemudian bergegas menemui wanita yang suaranya telah ia hafal. “Ada apa, Mbak?” tanya Rini pada Farida yang datang bersama anaknya perempuannya.“Rin, pinjam duit lima puluh ribu. Sila muntah-muntah terus, aku enggak pegang uang sama sekali buat ke dokter.” “Tapi, Mbak, aku juga enggak punya duit, lagi pula Mas Budi sampai sekarang belum kirim uang.”“Kamu perhitungan sama aku, hah? Gini-gini aku juga kakaknya Budi, masa iya mau pinjem uang adiknya aja enggak boleh. Apa kamu enggak kasihan sama Sila?” ucapnya dengan nada memelas.Ranti melirik pada bocah perempuan berwajah pucat dalam gendongan kakak iparnya. Tubuhnya yang kurus berbanding terbalik dengan mamanya yang tumbuh subur ke atas dan ke samping. Mata Rini melebar tatkala pan
“Mau beli apa, Rin?” bisik Santi - salah satu tetangga Rini yang sedang berjalan beriringan menuju rumah Sari.“Beli ayam goreng, Bu. Ari pengin makan ayam, tapi aku enggak sempat masak, buru-buru mau kerja.”“Kamu bawa duit berapa?” cegah Santi menghentikan langkahnya.Rini mengerutkan dahi mendengar pertanyaan wanita bergelar Bu RT itu. “Ini aku pinjami duitku dulu, kamu bisa balikin kapan-kapan. Kasihan aku kalo liat kamu yang dihina terus sama Sari,” ujar Santi menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.Hati Rini tiba-tiba menghangat, tak menyangka karena ternyata ada tetangga yang perhatian padanya.“Makasih, Bu RT. Alhamdulillah aku lagi ada sedikit rezeki, jadi bisa beli ayam goreng,” tolaknya lembut.“Oh, ya sudah kalo begitu. Kalo ada apa- apa bilang aja sama aku, ya. Jangan biarin si Sari menghina kamu terus. Tuman tau!” Rini mengangguk lalu berjalan kembali ke rumah Sari. Sebenarnya penjual sayur matang bukan Cuma Sari tapi berhubung rumah mereka berhadapan Rini menjad
Tak seperti hari-hari sebelumnya, kini Rini sudah tak berharap banyak dengan Budi. Dimulai dari terpaksa, ia sudah mulai terbiasa hidup dan mencari uang sendiri. Dia meyakini bahwa Tuhan pasti telah menakar rezekinya dari awal, nyatanya semakin hari pekerjaan Rini semakin banyak hingga tanpa mengambil jatah dari Budi pun ia dan anak-anaknya bisa makan.Rini mematut dirinya di depan cermin, ia tengah mengamati bintik-bintik hitam yang mulai timbul di wajahnya. Berhadapan dengan panas matahari dan debu setiap hari membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, terlebih lagi ia sudah lupa kapan terakhir kali membeli produk perawatan wajah. Benar-benar mengenaskan.“Assalamualaikum, Nduk.”“Waalaikum salam...” Mata Rini berbinar tatkala melihat wajah yang telah lama di rindukan. Sedetik kemudian ia mengambur pada pelukan wanita dan lelaki berusia senja yang baru saja turun dari becak motor.“Sehat, Bu, Pak.” Bergantian Rini mencium tangan mereka takdim.Setelah acara kangen-kangenan selesai
“Semua teman-teman Ari udah sunat, Ma. Aku kapan?” tanya Ari saat Rini baru saja pulang menghadiri hajatan salah satu tetangganya yang baru saja menyunati anaknya.“Sebentar lagi ya, Nak. Nunggu mama kumpulin uang dulu buat bikin selamatan,” jawab Rini pelan.Mungkin Ari sudah bosan dengan jawaban yang selalu terlontar dari mulut Rini saat anak sulungnya yang sebentar lagi akan menginjak kelas enam bertanya kapan ia di sunati.“Enggak usah pake selamatan segala, Ma. Kita langsung ke Pak Mantri aja. Aku enggak apa-apa kok enggak dapet amplop dari tetangga.”Mata Rini berkaca-kaca mendengar perkataan anak pertamanya itu. Rata-rata anak-anak di kampungnya minta sunat karena tergiur oleh amplop yang akan di berikan para tetangganya agar bisa membeli sepeda atau barang-barang yang diinginkannya. Sudah menjadi tradisi di kampunya, para tetangga akan memberikan uang saku kepada anak yang baru saja di sunat. Mau tak mau sebagai orang tua harus menyediakan makanan untuk suguhan dan memberikan
[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. [Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal
“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.“Kenapa?” tanya Rini heran.“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita berginc
“Dimana-mana orang pulang kerja di luar negeri itu beli sawah bukan jual sawah.”Nafas Rini memburu tatkala Budi berniat menjual sawah satu-satunya yang mereka miliki. Meskipun tak terlalu luas dan hanya panen setahun sekali, tapi cukup untuk mencukupi beras yang mereka makan.“Tapi kalo enggak ada duitnya aku enggak bisa pulang, Dek,” ucap suaminya dari balik telepon.Pagi tadi Wulan mengunjungi rumah Rini dan mengatakan jika Budi akan menelepon. Benar saja, baru saja Wulan pergi sebuah panggilan masuk.“Kamu gila ya, Mas? Kamu enggak tahu betapa tersiksanya aku saat orang-orang tanya hasil kerja kamu? Pokoknya aku enggak mau jual sawah itu,” ucap Rini geram.“Jangan ketus begitu, kamu pasti kangen sama aku, kan? Katanya pengen aku pulang.” “Kangen?” Rini mengernyit heran. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia merasakan rindu dengan lelaki yang lebih dari sepuluh tahun menikahinya.Awal-awal kepergian Budi, setiap hari ia merasa ada yang kurang dari hidupnya, bahkan setiap saat ing
"Mbak, beli sayur kentang dua puluh lima ribu, ayam goreng delapan biji, sate telur enam tusuk, kembaliannya tempe goreng." Sari terus menatap pada wanita yang sedang mengulurkan uang berwarna merah padanya. Matanya menyipit tatkala tetangga depan rumahnya yang biasanya datang berpakaian daster lusuh, kini memakai gamis model terbaru berwarna coklat susu lengkap dengan jilbab bermotif bunga."Rini?" Nafas Sari terasa berhenti saat melihat benda berkilau berwarna kuning melingkar di tangan dan jarinya.Hampir enam bulan setelah kepulangan Rini ke rumah orang tuanya, ia berubah drastis. Dengan bantuan Wulan, ia membenahi penampilannya agar terlihat fress. Bukan berarti lupa masalahnya dengan Budi, tapi hanya ingin membuktikan jika ia bisa bahagia tanpa Budi.Berita pernikahan Budi yang begitu cepat menyebar membuat banyak orang merasa iba pada Rini, namun tak sedikit pula yang menganggapnya bodoh karena dulu tak percaya dengan omongan orang lain. Namun Rini tak ambil pusing, yang terp
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men